Suatu siang saya
sedang membaca Al Qur’an di kator. Hari
itu Jum’at siang saya harus menunggu jam mengajar pukul 16.00-17.45. Sebelumnya saya mengajar pukul 09.00-11.00.
Selesai mengajar. Sholat Jum’at, makan siang terus istirahat di kantor. Tidak dapat pulanh, karena sorenya mengajar
lagi. Nah, di jeda waktu itulah saya
membaca Al Qur’an.
Ketika itu ada teman
senior yang wawasan keislamannya sangat bagus datang. Dia bertanya “sampeyan itu menganji atau
membunyikan huruf arab?”. Saya bingung
mendapatkan pertanyaan itu, sehingga hanya diam saja. Dia lantas menjelaskan, bahwa mengajai itu
makna mempelajari dan mencerna apa yang dibaca.
Berarti orang membaca Al Qur’an dapat disebut mengaji kalau yang bersangkutan
sedang mehamani isi apa yang dibaca da kemudian berusaha mencerna lebih
lanjut. Kalau hanya sekedar “membaca”
dan tidak mengerti isinya, itu sama dengan membunyikan huruf arab.
Peristiwa itu teringat
kembali, ketika kemarin saya mengajar di S2 dan jadwalnya mahasiswa presentasi
hari hasil bacaan referensi yang saya berikat.
Ketika presentasi yang bersangkutan membaca ppt yang ditayangkan dan
ppt-nya berupa tulisan yang diambil dari referensi. Saya ragu apakah ayng bersangkutan memahami
apa yang dia baca. Oleh karena itu, saya
minta menjelaskan dengan bahasa sendiri, walaupun tetap boleh melihat layar
laptopnya. Ternyata yang bersangkutan
tidak dapat.
Saya mencoba memandu
dengan mengajukan pertanyaan penggali (probing question), tetapi yang
bersangkutan seperti “membisu seribu bahasa”.
Saya mencoba menanyakan kepada mahasiswa yang lain, ternyata hanya satu,
dua yang memberi respon dan alhamdulillan cukup baik pemahamannya. Saya minta semua mahasiswa, termasuk yang
presentasi membuka artikel jurnal yang dibahas dan saya beri waktu 30 menit
untuk nanti menjelaskan.
Ternyata haya 4 orang
yang mengacungkan tangan tanda siap menjelaskan apa yang dia baca. Yang lain mengatakan
susah memahaminya. “Bahasa Inggris sih
pak”. Bergitu komentar salaj seorang
mahasiswa. Jadi tampaknya selama ini
saya keliru. Saya mengira mahasiswa
memahami isi bacaan yang dipresentasikan.
Meminjam istilah teman senior tadi, ternyata banyak mahasiswa hanya “membunyian
huruf-hurif dari jurnal yang ditugaskan” tanpa memahami isinya. Oleh karena itu, ketika presentasi mereka
hanya mengutip kalimat-kalimat yang ada di jurnal. Kalaui toh diterjemahkan, merupakan
terjemahan apa adanya kalimat yang dikutip.
Saya sedih, tampaknya tugas membaca menjadi tugas membunyikan huruf,
bukan mengkaji isi bacaan dan bukan reading comprehension, yang biasa digunakan
oleh prodi Bahasa Inggris.
Apakah itu hanya
terjadi di kelas yang saja ajar? Pada
hal S2? Saya tidak tahu dan belum
mendapat konformasi dari teman lain.
Namun saya sungguh sedih.
Pendidikan di pascasarjana (S2 maupun S3) sebagian besar waktunya adalah
untuk membaca. Membaca untuk memahami
suatu konsep, teori dan hasil-hasil penelitian mutakhr untuk landasan membangun
kerangka pikir penelitian tesis atau disertasi.
Nah kalau ternyata mahasiswa kesulitan membaca dalam artinya mengaji dan
hanya melakuka kegiatan membaca dalam pengertian membunyikan huruf, lantas
bagaimana mereka mampu membangun kerangka pikir penelitian tesis/disertasnya?
Memang membaca dalam
arti mengaji atau reading comprehension harus dilatih sejak dini. Itulah yang saya titipkan kepada teman-teman
yang giat melakukan gerakan literasi.
Jangan sampai literasi hanya sampai membunyikan huruf tetapi harus
sampai pada taraf mengaji atau reading comprehension.
Membuat resume bacaan
atau memaparkan hasil bacaan adalah salah satu cara untuk membiasanya anak-anak
membaca yang sebenarnya. Merangkum dalam
pengertian membaca naskah, memahami artinya dan kemudian menuliskan pemahaman
itu dalam bahasa sendiri. Pada anak-anak
SD kelas awal yang belum pandai meulis, kegiatan merangkum dapat diganti dengan
mencerikan hasil bacaan secara lisan.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar