Beberapa hari lalu
anak bungsu saya menilpun dan bercerita kalau Freya-anaknya- telah lulus tes
psikologi di sebuah TK. Freya diterima
masuk Play Group (PG) mulai bulan Juli 2018, karena sekarang baru berusia 2
tahun 7 bulan. Sekolah sangat bagus
dengan sarana yang lengkap, dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, ada
pelajaran serta bimbingan ngaji. Saya
juga dikirimi rekaman bagaimana saat Freya menjalani tes psikologi dengan
menonton beberapa kegiatan siswa di sana.
Kesan saya sekolahnya bagus. Freya tampak senang sekali bermain di
sekolah itu.
Anaknya bertanya
apakah worthed bersekolah disitu, karena biayanya mahal sekali. Untuk masuk PG sampai dengan selesai TK,
siswa dikenakan uang pangkal 33 juta, uang sekolah per tahun 2,5 juta dan uang
sekolah per bulan 1,6 juta. Karena sudah
lulus tes psikologi, orangtua Freya diharapkan segera melunasi biaya tersebut.
Itulah yang membuat anak saya bingung. Sekolahnya memang bagus, tetapi biayanya
kok mahal sekali.
Walaupun sudah tahu
kalau biaya sekolah mahal, mendengar berita tersebut saya kaget juga. Begitu mahalkah biaya sekolah sekarang
ini? Lantas siapa yang dapat memasukkan
ke sekolah semacam itu? Ternyata menurut
anak saya yang mendaftarkan sangat banyak.
Apakah ada sekolah yang lebih mahal?
Ternyata ada. Sekolah lain ada
yang uang pangkalnya 60 juta. Apa ada
yang masuk ke sekolah mahal seperti itu?
Ternyata banyak.
Sebenarnya informasi
seperti itu bukankah baru. Pada akhir
tahun 1980 tulisan saya tentang itu menjadi perdebatan. Beberapa teman menuduh saya mendorong orang
untuk membisniskan pendidikan. Untung ada yang membela, dengan menyebutkan pada
saatnya pendidikan memang akan menjadi noble
business. Artinya pendidikan
dikelola secara bisnis tetapi dengan tujuan mulia. Pendirian sekolah bukan semata-mata mencari
keuntungan seperti bisnis pada umumnya, tetapi untuk menyiapkan anak didik
menghadapi masa depan. Dan tentu saja, sebagai entitas bisnis sekolah semacam
itu harus ada “keuntungan” untuk mengembangkan diri.
Sejak tahun 2000 awal
saya mengamati banyak SD Negeri yang kekurangan murid. Mungkin karena KB yang sukses, sehingga
populasi anak usia SD menurut. Namun,
muncul gejala lain, yaitu munculnya SD swasta dengan berbagai label, berbiaya
mahal tetapi dibanjiri pendaftar. Tampaknya orangtua sekarang ingin betul
mendapatkan pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Oleh karena itu walaupun ada SD yang gratis,
tetapi memiliki SD yang mahal karena diyakini memiliki kualitas yang baik. Gejala seperti itu tampaknya telah sampau
jenjang SMA. Kita dapat mengamati banyak
SMA swasta yang mahal tetapi diminati orangtua, sementara SMA negeri banyak
yang peminatnya sedikit.
Merenungkan fenomena
itu dalam hati saya gembira tetapi juga khawatir. Gembira karena semakin banyak orang yang
menyadari bahwa pendidikan merupakan inverstasi penting bagi anak-anak kita,
bagi generasi mendatang. Oleh karena itu
semakin banyak orangtua yang rela mengeluarkan biaya mahal untuk menyekolahnya
anaknya. Bahkan jika di daerahnya tidak
ada sekolah yang dianggap baik, banyak orangtua mengirim anaknya untuk bersekolah
di kota atau daerah lain.
Fenomena seperti itu
kemudian ditangkap oleh orang untuk mendirikan sekolah yang salah satunya
seperti TK tempat cucunya saya-Freya-didaftarkan. Semoga saja, pendirian sekolah seperti itu,
betul-betul sebagai bentuk noble business
seperti dijelaskan teman pada tahun 1980an.
Bukan merupakan bisnis biasa yang mengejar keuntungan. Semoga saja , pendirian sekolah-sekolah
seperti itu merupakan bagian dari peran serta masyarakat untuk ikut
mencerdaskan bangsa, menyiapkan generasi muda Indonesia.
Namun juga ada yang
merisaukan. Kalau karena biaya mahal
maka tentu hanya mereka yang kaya yang mampu masuk ke sekolah seperti itu. Lantas bagaimana bagi anak-anak keluarga yang
kurang mampu? Jangan sampai, anak-anak
keluarga kaya mendapatkan pendidikan baik sehingga pandai, diberi modal cukup,
sehingga pada akhirnya memiliki pekerjaan bagus dan menjadi kaya seperti
orangtuanya. Sementara itu anak-anak
keluarga kurang mampu, bersekolah di sekolah yang kurang baik, akhirnya kurang
pandai dan tidak memiliki modal yang cukup, akhirnya hidup miskin seperti
orangtuanya.
Lantas? Menurut saya, disitulah peran pemerintah
untuk mengurangi atau mempersempit gap/kesenjangan tersebut. Pemerintah seharusnya membantu orangtua
kurang mampu agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik. Misalnya mengupayakan agar sekolah negeri
yang gratis itu bermutu baik, sehingga dapat dinikmati oleh anak-anak keluarga
kurang mampu. BOS dan biaya lainnya
diarahkan untuk membantu sekolah tempat anak-anak keluarga kurang mampu. Sementara biarkan keluarga kaya dan sekolah
tempat anak-anak mereka bersekolah “membiayai” dirinya sendiri.
Apakah jika itu
dilaksanakan, pemerintah tidak dianggap tidak adil? Menurut saya, adil itu tidak berarti sama
rata, semua orang menerima hal yang sama.
Adil adalah semua orang menerima hak dan kuwajiban sesuai dengan
kemampuannya. Seperti halnya di
keluarga, anak yang masik bayi disuapi, dimandikan, sementera kakaknya yang
sudah agar besar makan dan mandi sendiri.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar