Antrean
calon jamaah haji semakin panjang dari tahun ke tahun. Di awal tahun 2000-an, calon jamaah haji hanya
menunggu sekitar 2 tahun untuk dapat berangkat.
Artinya jika kita mendaftar tahun 2001, kita akan dapat berangkat tahun 2003. Konon untuk daerah Surabaya, sekarang masa
tunggu 12 tahun. Jadi kalau kita mendaftar haji pada tahun 2013 ini, kita baru
dapat berangkat tahun 2025. Ya ampun
lama sekali.
Mungkin
itu yang menjadi salah satu penyebab banyaknya orang melaksanakan umrah. Tentu ada sebab lain, misalnya “derajat
keislaman” masyarakat semakin baik dan kemampuan ekonomi masyarakat juga
semakin meningkat. Dua faktor itu, saya tarik
dari gambaran di kampus secara sederhana.
Kalau ada wisuda di Unesa, diantara sekitar 1.750-an wisudawan
perempuan, hanya sekitar 10% yang tidak memakai jilbab. Di saat perkuliahan
juga seperti itu. Sebagian besar
mahasiswi memakai jibab. Sepertinya jilbab sudah menjadi bagian dari pakaian
mereka. Mudah-mudahan itu indikator derajat keislamannya semakin naik.
Pada
saat acara wisuda, jumlah mobil pengantar tidak dapat dihitung lagi. Kampus penuh sesak dan sering macet di pintu
masuk atau pintu keluar. Jika di masa
lalu banyak bemo yang disewa, kini rata-rata mobil yang datang itu jenis
Kijang, Avansa, Escudo dan sebagainya. Tidak
terlihat lagi “bemo pelat kuning” yang disewa untuk mengantar wisudawan. Bahkan saya kaget ketika ada mahasiswa S1 kuliah
membawa mobil sendiri. Semoga itu
indikator ekonomi orangtua mahasiswa semakin baik.
Meningkatnya
jumlah orang yang ingin haji dan umrah tampaknya mengundang “dunia bisnis”
memasukinya. “Ada gula semutpun datang”,
mungkin pameo itu cocok. Sekarang banyak
travel biro yang melayani ibadah haji plus dan ibadah umrah. Pada awalnya travel biro biasa, tetapi
sekarang juga melayani ibadah haji plus dan ibadah umrah juga. Bahkan ada yang “bergeser” layanan ibadah
haji plus dan umrah menjadi garapan utamanya.
Di
samping travel biro, sekarang banyak pengajian atau masjid yang juga memberikan
bimbingan ibadah haji dan umrah.
Biasanya disebut KBIH. Nah,
antara KBIH dan travel biro kini bekerja sama.
Sepertinya ada semacam pembagian tugas, urusan perjalanan dan sebagainya
menjadi tanggung jawab travel biro, sedangkan urusan memandu jama’ah selama
menjalankan ibadah haji atau umrah menjadi tanggung jawab KBIH. Soal pembagian yang lain, saya tidak tahu dan
juga tidak ingin tahu.
Apakah
itu tidak boleh? Boleh, bahkan baik,
karena melayani orang beribadah tentunya mendapat “nilai ibadah” pula. Demikian
pula pembagian tugas, sesuai dengan kompetensi masing-masing. Semoga niat yang lebih kuat adalah melayani
orang lain beribadah dan bukan sekeder bisnis seperti biasanya. Nah, sepertinya
disitulah masalah yang muncul.
Bergabungnya “dua lembaga” sepertinya tidak diikuti dengan manajemen
yang baik. Tidak begitu jelas, siapa
yang menjadi penanggung jawab utama dan siapa yang sebagai pendukung.
Dari
cerita beberapa teman yang melakasanakan ibadah umrah muncul fenomena yang
perlu mendapat perhatian. Bukan untuk
mencela atau menyalahkan, tetapi agar lebih profesional. Layanan perjalanan
yang kurang baik atau tidak sesuai dengan “janji” brosur dapat menyebabkan
jama’ah “nggerundel” dan tidak lagi tenang hatinya saat menjalankan
ibadah. Misalnya perjalanan yang tidak
sesuai dengan jadwal di brosur, kondisi hotel dan makanan yang tidak seperti
yang diinformasikan, dan sebagainya.
Pada
saat hal seperti itu terjadi, biasanya pihak KBIH atau pembimbing ibadah meminta
agar jama’ah sabar dan tawakal. Bukankah
ibadah haji dan umrah adalah ibadah yang melatih dan menuntut kesabaran. Ibadah yang menunut kita berserah diri secara
total kepada Sang Khalik. Ibadah yang meladani Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Nasehat itu betul, tetapi tentunya tidak
boleh dipakai sebagai “tameng” ketidakprofesionalan” pelaksanaan travel biro.
Pada
saat hal itu terjadi, sepertinya pihak travel tidak banyak berperan. Dan bahkan
seakan berlindung dibalik “otoritas” pembimbing ibadah. Pada hal, semestinya hal itu menjadi tanggung
jawab pihak travel biro. Ketidak sesuaian jadwal penerbangan sangat mungkin
karena kurang lincahnya travel biro mengurus atau kurang cepatnya
menginformasikan kepada jama’ah sehingga mereka kaget. Ketidak sesuaikan kondisi
hotel dan makanan sepertinya terjadi karena brosur “terlalu melebihkan” atau
tidak menjelaskan bahwa beda standar antara di Indonesia dan Makah dan
Madinah. Misalnya, ketika brosur
menyebutkan hotelnya “bintang 5” atau “bintang 4” dan tidak diberi penjelasan
apa-apa, maka jama’ah akan membayangkan sekelas hotel Sangrila, hotel Hilton,
hotel Mencure dan selevel itu. Pada hal
kenyataannya tidak.
Pihak
pembimbing haji dan umrah seringkali tidak memahami masalah seperti tadi,
mungkin merasa bukan tanggungjawabnya.
Pada hal, prakteknya pembimbing jama’ah itulah yang setiap saat
berhadapan dan memberi penjelasan kepada jama’ah. Biasanya jama’ah tidak “berani” komplain,
karena ingat nasehat pembimbing yang harus sabar dan tawakal. Namun, dari beberapa cerita teman, banyak
yang sebenarnya nggrudel.