Saya
sudah sering ketemu orang yang berangkat umrah di bandara. Bahkan saat pergi ke Eropa Februari lalu,
saya satu pesawat dengan rombongan umrah selama perjalanan dari Jakarta ke
Abudabi, baik berangkat maupun pulangnya.
Saya amati pada umumnya jamaah yang akan umrah terlihat khas. Tidak hanya pakaiannya yang biasanya serba
putih atau seragam batik dengan tanda Lembaga Bimbingan Haji/Umrah tertentu. Namun perilakunya juga tampak sabar dan
santun. Mengapa ya?
Pertanyaan
itu sedikit terjawab, saat saya mengikuti manasik minggu tanggal 10 Maret lalu.
Ustad Agus Mustofa, pengarang serial buku Tasawuf Modern, yang memandu manasik
itu menjelaskan bahkan menyakinkan peserta bahwa ibadah umrah adalah praktek
dan bukan teori. Artinya mempraktekkan ibadah
dan bukan sekedar menteorikan. Untuk
itu, niat menjadi awal ibadah yang harus dipegang teguh. Kalau niatnya jalan-jalan nanti dapatnya ya
pengalaman jalan-jalan. Kalau niatnya
ziarah ya dapatnya pengalaman ziarah.
Kalau niatnya memenuhi panggilan Sang Khalik, insya Allah menjadi
tamuNya. Kalau niatnya ingin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, insya Allah
ya akan dekat denganNya.
Ustad
Agus Mustofa menjelaskan hidup adalah proses belajar dan banyak ujian. Demikian pula selama perjalan umrah akan
banyak ujian. Orang yang menjalankan
ibadah umrah akan menemuhi berbagai kejadian, bertemu dengan berbagai orang,
dan semua itu merupakan proses belajar dan proses ujian. Bejalar tentang ayat-ayat Illahi yang digelar
dimuka bumi dan ujian untuk menghadapi berbagai peristiwa. Bukankah setiap kenaikan kelas atau kenaikan
jabatan ada ujian? Mungkin ujian seperti
itu juga untuk menguji apakah kita sudah waktunya naik kelas dalam keber-agama-an
kita.
Ujian
tentang kesabaran, kerelaan, ketawakalan dan keikhlasan. Kita akan diuji apakah sabar ketika menerima
berbagai cobaan. Apakah memiliki
kerelaan untuk berbagi. Apakah memiliki
kerelaan untuk berkorban. Apakah
memiliki kerelaan untuk membantu orang lain.
Apakah tetap tawakal ketika apa yang diinginkan tidak tercapai. Apakah tetap tawakal ketika menghadapi
cobaan. Apakah dapat dapat ikhlas
berserah diri, ketika Sang Maha Agung membeikan takdirNya.
Mendengarkan
tausiah itu, saya berpikir mungkin itu yang menyebabkan perilaku jamaah umrah
tampak khas. Mungkin niat yang kuat
untuk ibadah membuat mereka sabar dan santun.
Mungkin niat yang kuat membuat mereka tidak mudah ketika menghadapi
hal-hal yang kurang mengenakkan. Saya
teringat ketika pesawat Garuda terlambat lebih 5 jam di Muskat Oman, saat saya
ke Eropa Februari lalu. Banyak penumpang
mengeluh, bahkan menggerutu karena kelapasan.
Namun saya amati jamahan umrah tampak tenang-tenang saja.
Saya
menjadi semakin yakin akan logika itu, ketika ikut rombongan jamaah umrah. Berangkat dari Juanda jum’at pukul 14.35 dan
transit di Jakarta untuk berangkat Ke Madinah pukul 20.30. Kami dianjurkan memakai baju putih dan celama
gelap. Menenteng tas kecil warna hijau
untuk tempat paspor dan barang-barang penting lainnya. Saya merasakan dorongan untuk berperilaku
“baik” sangat kuat, karena sedang dalam perjalanan ibadah. Apakah itu juga terjadi pada jamaah
lainnya? Saya tidak tahu. Namun
pengamatan saya selama di Madinah, khususnya ketika di Masjid Nabawi tampak
sekali jamaah mampu menahan diri.
Ketika
sedang sholat atau berdo’a dan dilangkahi orang, pada umumnya tenang saja. Demikian pula digiring askar untuk bergeser
juga manut saja. Bahkan ketika menunggu sholat Isya ada anak seumuran SD
(mungkin berumur 8 tahubn) mengambilkan minum untuk diberikan semua jamaah di
sekitarnya. Tentu dia tidak kenal siapa yang diberi, tetapi dia dengan senyum
memberikan ke semua orang disekitarnya.
Mengapa begitu, mungkin teman psikolog atau yang memperlajari neuropsychology yang dapat menjelaskan.
Saya
menduga, niat yang kuat akan menjadi komitmen dan akhirnya menjadi inner driver untuk mengerjakan sesuatu.
Niat yang kuat tadi seakan juga menjadi kontrol diri ketika menghadapi ujian
atau peristiwa yang “kurang menyenangkan”.
Niat yang kuat mungkin menjadi pegangan alam bawah sadar untuk
mengontrol perilaku kita.
Memang
semua itu baru dugaan saya. Sekali lagi para psikolog yang paling berwenang
untuk menjelaskan. Dan jika benar, pemaknaan
prinsip dalam ibadah “innamal a’malu bin niyat”, mungkin dapat diperluas Bukan hanya terkait dengan syah tidaknya
ibadah, tetapi juga berhasil tidaknya sutau kegiatan. Niat yang kuat menjadi inner driver seseorang untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk
mencapainya. Dan jika hipotesis ini
betul, para orang tua dan guru dapat menggunakannya menumbuhkan motivasi
belajar dan motivasi kerja anak-anak. Dan
semoga dorongan berbuat baik itu uterus berlanjut dalam kehidupan keseharian. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar