Rabu
tanggal 6 Maret 2013 saya diminta mengisi acara rapat koordinasi kepala
sekolah/madrasah di lingkungan Lembaga Ma’arif Gresik. Semula yang akan mengisi Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Musliar Kasim.
Ketika beliau tidak dapat hadir, dilimpahkan kepada Mas Sukemi, Staf
Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media.
Ketika ternyata Mas Kemi juga tidak dapat hadir, lantas saya diminta
mewakili. Jadi saya datang sebagai
“pemain pengganti yang kedua”.
Topik
yang harus saya sampaikan tentang Kurikulum 2013 dan Mas Kemi sudah meng-email
paparan yang harus saya sampaikan.
Tentang materi yang saya sampaikan, rasanya tidak penting saya bagi di tulisan
ini. Materinya standar dan sudah sering
dibahas dalam berbagai forum. Namun ada
dua hal penting yang muncul dalam sesi tanya jawab, yang rasanya penting untuk
dibagi melalui tulisan pendek ini.
Pertama, salah seorang peserta bertanya: “Kurikulum diubah
untuk memenuhi tantangan zaman”. “Apakah
Kurikulum 2013 ini sudah memenuhi tantangan zaman?”. “Apa sebenarnya tantangan zaman yang paling
besar dihadapi oleh sekolah?”. Menurut
saya kepala sekolah yang bertanya itu cerdas dan mau bepikir ke depan. Oleh karena itu, saya berusaha menjawab dengan
metaphora dengan harapan memicu dia dan peserta lainnya berpikir keras.
Saya
bertanya kepada peserta: “Kalau saya ingin tahu berapa penduduk Kabupaten
Gresik, kemana informasi itu dicari?”.
Banyak yang menjawab dan yang paling banyak menyebut “ke Kantor
Statistik”. Saya jawab: “kesuwen
(terlalu lama)”. Saya sambung dengan
komentar: “Tadi waktu mau mulai acara, moderator minta saya menuliskan CV”. “Dalam hati saya bilang, ini cara kuno”. Lantas saya tanya lagi: “Jadi kemana mencari
informasi jumlah penduduk Kabupaten Gresik?”.
Ada yang menjawab: “Buka Google.”
Walaupun
hanya satu atau dua orang yang menjawab itu, tetapi saya gembira. Artinya guru sudah mulai tahu bahwa Google
dapat memberi informasi tentang berbagai hal.
Oleh karena itu, saya mengacungkan
jempol ke arah peserta yang menjawab tadi.
Saya sambung dengan komentar: “Kalau panjenengan (Anda) membuka Google
dan mengetik nama saya, akan muncul informasi tentang saya.” “Bahkan ada fotonya dalam berbagai
acara”. “Jadi dari pada minta saya
menulis CV, lebih baik buka Google akan dapat CV lebih lengkap.”
“Kalau
segala informasi dapat diperoleh di Google, lantas apa ya tugas guru?” Mendapat pertanyaan seperti itu para peserta
justru tertawa. Itulah sebenarnya
tantangan pendidikan, khususnya sekolah di era mendatang. Pola pembelajaran yang terfokus memberikan
dan menjelaskan informasi sudah tidak relevan, karena tugas itu sudah diambil
alih internet. Jadi tugas mengajarkan
kognitif level 1 (knowledge-remembering-mengetahui-mengingat) dan bahkan level
2 (comprehension-understanding-memahami) dari Bloom sudah diambil alih internet.
Oleh karena itu, tugas guru adalah kognitif level berikutnya.
Sekitar
tahun 2002-an saya pernah menulis artikel yang intinya, pada akhirnya dalam
kehidupan tugas manusia itu adalah memecahkan masalah. Dan untuk itu, tahapan yang perlu dilakukan
adalah menggali informasi, mengolah informasi sehingga menjadi masalah yang utuh,
merancang berbagai alternatif solusi dan terakhir mengambil keputusan mana yang
paling tepat untuk dilakukan. Jadi
itulah yang perlu diajarkan atau dikembangkan kepada siswa. Bukankah pada akhirnya setelah lulus siswa
akan memasuki kehidupan di masyarakat yang isinya seperti itu.
Jika
internet saat ini sudah menyediakan berbagai informasi, maka tugas sekolah/guru
adalah memandu menggali informasi. Nah,
mengolah informasi yang berasal dari berbagai sumber itu tidak dapat dilakukan
oleh internet. Dan itulah menurut saya
yang menjadi tugas sekolah/guru. Juga
tahapan berikutnya, yaitu memandu siswa merancang berbagai alternatif solusi
serta memilih mana yang paling tepat.
Jika
itu dikaitkan dengan pertanyaan pemandu berpikir, pertanyaan “apa”, “berapa”, “dimana”
dan “kapan” sudah dijawab oleh internet.
Yang harus dipandu guru adalah mencari jawaban dari pertanyaan
“bagaimana”, “mengapa”, dan “apa yang
akan terjadi kalau…..”. Dalam bahasa
psikologi belajar, mungkin disebut berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
Uraian
di atas bukan dimaksudkan bahwa pendidikan hanya mencakup domain kognitif
saja. Tentu mencakup kompetensi secara
utuh mencakup kognitif, afektif dan psikomotor.
Mencakup pikiran, hati dan tangan.
Tugas sekolah/guru adalah mengintegrasikan ketiga domain dalam satu
kesatuan yang utuh, misalnya dalam suatu tugas kelompok.
Pertanyaan
atau komentar kedua yang juga penting untuk dibagi, adalah: “Jika
silabus, buku guru dan buku siswa dibuat oleh pemerintah, apakah itu tidak
memasung kreativitas guru?”. Menurut
saya, ini juga pertanyaan yang bagus. Tampaknya
saat ini, si penanya berkreasi untuk menyusun model rpp, silabus dan buku yang
cocok dengan siswa dan sekolahnya. Nah, dia
kemudian khawatir kreativitas itu terpasung dengan adanya rpp, silabus dan buku
dari pemerintah.
Kekhawatiran
yang wajar dan bahkan positif. Namun
tampaknya yang bersangkutan belum faham bahwa rpp, silabus dan buku yang
disusun pemerintah itu adalah pedoman dasar.
Setiap guru boleh memodifikasi sesuai dengan kondisi sekolah dan
siswanya. Namun, bagi yang belum atau
tidak mampu memodifikasi, silahkan digunakan.
Guru kita beragam. Bagi yang
belum mampu, ya gunakan saja. Bagi yang
mampu, ya silahkan menyusun sendiri.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar