Sebagai
guru besar, saya memiliki kuwajiban membimbing mahasiswa S1/S2/S3 saat menyusun
skripsi, tesis dan disertasi. Saya juga
sering menguji kelayakan proposal tesis dan disertasi, serta menguji tesis dan
disertasi sebagai bagian akhir mahasiswa menempuh program S2/S3. Kadang-kadang saya juga diminta menguji
kelayakan proposal tesis atau disertasi di beberapa universitas lain. Ketika memberi kuliah saya juga selalu
memberi tugas kepada mahasiswa untuk menyusun makalah.
Dari
pengalaman tersebut, salah satu kekurangan mahasiswa, baik jenjang S1, S2
maupun S3 adalah kemampuan menyusun kalimat. Awalnya saya mengira kalau itu penilaian
subyektif saya, tetapi saat berdiskusi dengan sesama dosen penguji mereka juga
memiliki penilaian yang sama. Bahkan
seringkali, ketika ujian kelayakan proposal dosen penguji berseloroh: “Kalimat
ini seperti tidak selesai”. “Kalimat ini membuat kita sakit kepala”. “Kalimat
ini kok tidak punya subyek ya”. Dan
sebagainya. Intinya banyak kalimat dalam
proposal tersebut yang terasa janggal, sulit dimengerti dan tidak memenuhi
kaidah bahasa Indonesia.
Pada
awalnya saya mengira kalau kejadian seperti itu hanya pada mahasiswa S1. Maklum
belum terbiasa harus membuat karya tulis ilmiah. Tetapi ternyata juga terjadi pada
mahasiswa S2 dan bahkan beberapa mahasiswa S3.
Saya juga pernah menguji kelayakan disertasi mahasiswa S3 dari PTN lain,
ternyata bahasanya juga sulit difahami. Berarti masalah iyu tidak hanya terjadi
di Unesa. Dan akhir-akhir ini saya juga
membimbing tesis beberapa guru yang sedang kuliah di program S2 Unesa. Ya ampun, beberapa juga cukup parah
kalimatnya.
Mengapa
ya? Bukankah mereka itu sudah mendapat
pelajaran Bahasa Indonesia mulai dari SD, SMP, SMA, S1 dan sebagainya? Bukankah mereka sudah ujian matapelajaran
Bahasa Indonesia dan lulus UN SMP, UN SMA.
Bukankah mereka juga menempuh matakuliah bahasa Indonesia di perguruan
tinggi? Bukankah guru yang sedang
menempuh S2 setiap hari mengajar dan tentunya menggunakan bahasa Indonesia
sebagai pengantar?
Saya
sempat berseloroh kepada teman-teman dosen jurusan Bahasa Indonesia, mungkin
ini perlu diteliti. Dikaji secara
diagnostik untuk dicari penyebabnya.
Konon keruntutan struktur tulisan dan ucapan, menggambarkan keruntutan
cara berpikir. Orang yang bicaranya
runtut berarti jalan pikirannya juga runtut.
Orang yang tulisannya runtut berarti jalan pikirannya runtut. Berdasar asumsi itu, berarti banyak mahasiswa
S1/S2 dan bahkan ada mahasiswa S3 yang berpikirnya tidak runtut. Dan jika itu benar, merupakan pekerjaan besar
untuk mengevaluasi pendidikan kita.
Bukankah salah satu tugas pendidikan adalah membangun kemampuan berpikir
logis. Berarti harus runtut.
Ada
teman memberi komentar karena pelajaran mengarang tidak lagi banyak dilakukan
di sekolah. Dengan begitu
siswa/mahasiswa tidak terbiasa membuat karangan. Namun, bukankah ada pelajaran bahasa
Indonesia yang tentunya ada pokok bahasan “menulis”?. Bukankah siswa dan mahasiswa juga membuat
laporan saat praktikum? Bukankah mereka
juga membuat laporan ketika melakukan kegiatan ekstra kurikuler?
Seorang
teman yang kebetulan guru Bahasa Indonesia memberi penjelasan. Walaupun terkesan membela diri, namun
penjelasannya patut direnungkan. Teman
tersebut menjelaskan bahwa, memang ada pokok bahasan menulis, tetapi itu hanya
bagian kecil dari apa yang dibahas dalam matapelajaran bahasa Indonesia. Dan itu tidak mendapat penekanan karena tidak
ada dalam ujian, baik Ujian Nasional, Ujian Sekolah dan bahkan dalam
ulangan-ulangan di akhir semester.
Memang
dalam ulangan atau Ujian Sekolah, ada bagian soal yang siswa harus membuat
isian dalam bentuk kalimat. Namun hanya
kalimat-kalimat pendek dan tidak berupa rangkaian suatu alur cerita. Itulah sangat sedikit proporsinya dalam
keseluruhan soal. Memang dalam ulangan,
UJian Sekolah maupun Ujian Nasional, ada soal-soal “membaca”. Namun biasanya bentuk soal dari bacaan itu
berupa pilihan ganda.
Tidak
puas dengan informasi tersebut, saya mencoba mencari tahu ke guru Kimia. Jawabannya hampir sama. Laporan praktikum Kimia tidak banyak membuat
kalimat. Biasanya sudah ada format yang
disediakan dan mahasiswa tinggal mengisi.
Mengapa begitu? Guru Kimia
menjelaskan, yang dipentingkan apakah tahapan praktikum yang dilakukan
betul. Apakah hasil pengamatan dan
pengukurannya betul. Dan, apakah
kesimpulan yang dibuat betul. Jadi
penyusunan kalimat tidak menjadi perhatian dalam laporan seperti itu.
Belum
puas, saya mencoba bertanya dengan guru PPKn.
Apakah dalam matapelajaran PPKn tidak ada tugas membuat laporan atau
sejenis, yang memaksa siswa menuliskan kegiatan dengan cukup intens? Kembali jawaban yang saya peroleh tidak
memuaskan. Ada tetapi tidak banyak. Yang banyak, siswa harus membaca sehingga
mengerti. Kalau ulangan, sebagian besar
bentuk soal berupa pilihan ganda. Kalau toh ada yang isian hanya sangat
sedikit. Ujian Sekolah dan UN soalnya
semua pilihan ganda.
Mendapat
gambaran dari tiga guru tersebut saya bepikir, apakah karena soal dalam
ulangan, Ujian Sekolah dan Ujian Nasional bentuknya pilihan ganda ya? Apakah karena soalnya seperti itu, guru tidak
mementingkan siswa membuat karangan, membuat laporan yang lengkap dan sejenis
itu?
Saya
jadi teringat peristiwa tahun 1992-an.
Saat itu saya menjadi anggota Tim Peneliti (diketuai Prof Mohamad Nur)
melakukan penelitian pola pembelajaran di SMA.
Saya bertugas ke Pekanbaru dan kebetulan mengamati pembelajaran Kimia
dan dilanjutkan berdiskusi dengan gurunya.
Nah, saat diskusi saya menanyakan, mengapa praktikum tidak intens pada
hal labnya lengkap. Jawabannya sungguh
mengejutkan. Pak, kami menyiapkan
anak-anak agar sukses dalam UN (seingat saya waktu itu namanya Ebtanas). Soal-soal UN tidak terkait banyak dengan
praktikum. Lantas apa perlu saya menghabiskan
waktu banyak untuk praktikum.
Jangan-jangan, nanti siswa malah gagal dalam Unas.
Kalau,
argument empat guru tadi dirangkai tampak sekali bahwa ungkapan “teaching for the test” terjadi di
Indonesia. Artinya, guru akan mengajar
apa yang nanti diujikan. Bentuk dan
jenis soal akan menggiring pola pembelajaran.
Dan tampaknya bentuk dan jenis soal-soal UN menjadi kiblat penyusunan
Ujian Sekolah maupun ulangan di akhir semester.
Sudah saatnya kita memikirkan bentuk soal UN, US maupun ulangan agar mampu
mendorong siswa terbiasa menulis.
Bukankah komunikasi bagian penting dalam kehidupan, dan tentunya
termasuk komunikasi dalam bentuk tulisan.
Bukankah menulis dapat mengasah keruntutan berpikir. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar