Sekian
tahun lalu saya pernah diskusi dengan seorang teman tentang fenomena pariwisata
di Pulau Bali. Bali merupakan tujuan
wisata paling menarik di Indonesia, baik untuk wisatawan dalam negeri maupun
wisatawan asing. Coba tanya anak-anak
muda, kalau diberi bonus untuk berwisata dalam negeri tanpa membayar pilih
kemana? Saya yakin, sebagian besar akan
menjawab ke Bali. Demikian juga kaum orang
tua.
Konon
banyak orang asing yang tahu tentang Bali dan bahkan pernah ke Bali. Tetapi mereka tidak tahu Indonesia. Paling tidak, baru tahu Indonesia ketika di
Bali. Mereka tidak tahu kalau Bali itu salah satu pulau di Indonesia. Kalau toh mereka tahu, ya hanya tahu Bali itu
di Indonesia. Mungkin mereka pernah ke
Bali, tetapi sama sekali tidak tertarik berkunjung ke wilayah lainnnya.
Topik
diskusi saya dengan seorang teman tadi, mengapa Bali menjadi tujuan wisata yang
begitu menarik. Apakah pemandangan
alamnya yang sangat bagus? Atau pantai Kuta yang konon bagus untuk serving? Atau
adanya tarian Bali yang banyak macamnya?
Atau adanya upaca Ngaben yang kolosal itu? Atau iklan wisata ke Bali begitu kuat,
sehingga orang yang semula tidak tertarik menjadi tertarik?
Dari
diskusi santai itu, saya sampai pada kesimpulan orang senang berwisata ke Bali
karena budaya Bali yang khas. Kalau
pemandangan alam, rasanya Sumatra Barat dan Papua tidak kalah dengan Bali. Pantainya indah? Rasanya juga tidak. Mungkin pantai di Jayapura dan Kupang tidak
kalah indah. Di Sulawesi Tenggara akan
temoat serving yang lebih bagus. Tariannya
beragam? Rasanya tari-tarian di Jawa
lebih banyak dibanding di Bali. Upacara
ngaben khas? Iya, tetapi toh upacara
ngaben tidak ada setiap saat. Orang tetap datang ke Bali, walupun waktu itu
tidak ada acara ngaben.
Lantas
mengapa kami, saya dengan teman tadi, sampai pada kesimpulan orang datang ke
Bali karena Budaya? Budaya Bali sangat
khas. Budaya Bali bersumber dari ajaran
Agama Hindu yang menyatu dengan adat-istiadat membuat kehidupan di Bali sangat
khas. Di setiap sudut desa ada pura.
Upacara keagamaan sangat banyak.
Tarian dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan, sehingga seringkali
mengadung ritual yang khas.
Budaya
seperti itu akhirnya membentuk tata cara bermasyarakat, pola pertanian, pola
kesenian dan segala aspek pola kehidupan menjadi sangat khas. Coba kita amati, lukisan, patung, pola
pertanian dan peternakan, cara memandang pohon besar, batu besar dan apa saja
selalu diwarnai dengan nilai-nilai keagamaan.
Mungkin
saja kita tidak menyadari itu. Ketika
kita ke Kuta kok ada pecalang yang menjaga pantai, sehingga menarik
perhatian. Kemana kita pergi selalu
ketemu pura besar maupun kecil.
Kemanapun kita pergi kita selalu ketemu orang Bali yang berpakaian khas,
karena ada upacara. Menurut kami, itulah
yang menyebabkan Bali menarik untuk dikunjungi.
Belum lagi, masyarakat Bali yang sangat terbuka dan tidak melarang
wisatawan untuk membaur dengan masyarakat dalam berbagai aktivitas. Dan itu ternyata merupakan salah satu nilai-nilai
religi.
Muncul
pertanyaan, jika Bali menjadi tujuan wisata karena budaya, apakah daerah lain
yang memiliki budaya khas juga menjadi tujuan wisata kuat? Jawabnya ya. Coba kita perhatian Jogya,
Toraja dan Pagaruyung. Ketiganya
merupakan tujuan wisata yang menarik.
Jika berwisata ke Jawa Tengah tentu kita akan ke Jogya, Prambanan dan
Borobudur. Jika kita ke Sumatar Barat,
tentu Pagaruyung merupakan tujuan wisata yang kuat. Jika kita ke Sulawesi Selatan, pasti ingin ke
Toraja. Jadi ketiganya menjadi tujuan wisata
kuat, karena budaya di daerah itu menghasilkan sesuatu yang khas.
Namun
beberapa bulan lalu, saya berubah pendapat.
Itu dimulai ketika suatu sore (mungkin dapat disebut juga malam), saya
bersama beberapa teman menyertasi Pak Nuh (Mendikbud) berkunjung ke
Tebuireng. Setelah silaturahim dengan
Gus Sholah (pemimpin pondok Tebuireng/adik almarhum Gus Dur) dan menikmati
suguhan makan malam, sekitar jam 10an kami diantar melihat makam Gus Dur.
Masya Allah penziarah sangat banyak.
Kata Gus Sholah, pada hari-hari biasa penziarah sekitar 2-3 ribu
orang. Kalau malam Jum’at dan Minggu
biasa sampai 10 ribu orang.
Saya
jadi berpikir, begitu kuatnya minat masyarakat berziarah. Sampai akhirnya
pemerintah mengatur dan memberikan fasilitas.
Dibuatkan pintu khusus, agar kehadiran penziarah tidak megganggu
aktivitas pondok pesantren. Konon juga sedang mulai dibangun fasilitas parkir
bis agar tidak mengganggu lalu lintas. Juga muncul penjualan makanan dan oleh-oleh,
sehingga menjadi aktivitas ekonomi yang sangat potensial.
Melihat
itu, saya jadi ingat kunjungan ziarah ke makam Walisonggo. Memang tidak sebanyak penziarah ke Gus
Dur. Namun rasanya juga cukup
banyak. Pada hal, tidak pernah ada iklan
atau pengemasan wisata ke lokasi seperti itu.
Kalau toh boleh dikatakan ada promosi, hanyalah di pengajian-pengajian
yang mengajak berziarah dengan alasan religius.
Jadi wisata religi tampaknya tidak kalah kuat menariknya.
Mirip
dengan itu, juga terjadi wisata religi yang lain, misalnya penziarah ke
Petilasan Jayabaya di Kediri, petilasan Raja Brawijaya di Trowulan Mojokerto,
Gunung Kawi di Malang, Gua Maria, dan tempat lain. Tentu dengan segmen pasar
yang berbeda. Tetapi logikanya sama,
yaitu mereka mengunjungi tempat tersebut karena terkait unsur religi yang
dipercayai.
Keyakinan
itu menjadi semakin kuat, saat saya mencermati jama’ah umrah di Madinah dan
Makah. Saya tidak punya data yang akurat. Tetapi dengan penuhnya masjid Nabawi saat
sholat fardu, saya menduga jumlah jama’ah tidak kurang dari 5 ribu orang. Dengan membudaknya jama’ah sholat di masjidil
Haram, saya menduga jumlah jama’ah bisa mencapa 8 ribu orang. Dan mereka itu umumnya juga melakukan wisata
religi, seperti ke Arafah, Jabal Nur, Jabal Tsur, Jabal Uhud, masjid Quba dan
sebagainya. Semua lokasi itu terkait
dengan sejarah Islam dan kemudian seakan menjadi bagian dari wisata religi.
Pada
hal tidak pernah ada promosi untuk umrah.
Juga tidak ada promosi untuk gunung-gunung batu tanpa pepohonan atau
padang pasir yang gersang. Secara
fisikal, lokasi tersebut jauh dari indah.
Saya yakin, mereka yang datang bukan ingin menikmati keindahan. Mereka berkunjung ke gunung-gunung tersebut
karena ingin “napak tilas” perjalanan Nabi Muhammad dan sejarah Islam. Jadi terkait dengan keyakinan keagamaan.
Kembali
pada kasus Bali, Jogya dan Toraja, budaya yang khas itu juga terkait dengan
religi. Budaya Bali dipengaruhi sangat
kuat oleh Agama Hindu. Toraja dengan
makam-makam yang khas juga dipengaruhi oleh “Agama Todolo”, yaitu kepercayaan
masyarakat Toraja tempo dulu. Candi
Borobudur merupakan salah satu produk Agama Buda. Candi Prambanan produk Agama Hindu. Budaya Jogya yang khas terkait dengan kraton
yang dipengruhi kuat oleh Agama Islam yang mengakomodasi ajaran-ajaran Kejawen.
Saya
membayangkan berapa devisa yang didapat Arab Saudi dengan kedatangan jama’ah
umrah. Belum jama’ah haji yang sangat
banyak dan bahkan pemerintah Arab Saudi membatasi. Jama’ah umrah dan haji seakan menjadi captive market bagi hotel, toko sovernir,
rumah makan dan tentu saja biro perjalanan.
Pada
hal, infra struktur layanan perhotelan, transportasi dan makanan tidaklah
istimewa. Bahkan dapat dikatakan kurang
memadai. Fasilitas dan layanan hotel
bintang 5 di Madinah dan Makah hanya setara dengan hotel bintang 3 di
Indonesia. Lalu lintas sangat
semrawut. Yang baik adalah jalan-jalan
lebar dan mulus. Namun karena perilaku berkendara semrawut, akhirnya sering
macet. Tapi toh, jumlah jama’ah umrah
terus meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar