Suatu
saat Gubernur Jawa Timur yang akrap dipanggil Pak De Karwo menjelaskan bahwa
proporsi orang miskin di Jawa Timur turun dari 16,68% pada tahun 2009 menjadi
13,08% pada tahun 2012. Namun beliau
mengingatkan setelah mencapai angka sekitar 10% akan sangat sulit untuk
menurunkan. Mengapa? Kata Pak De Karwo karena itu terkait dengan
masalah budaya. Lantas beliau memberi
ilustrasi.
Ada
petani yang namanya Pak “X”. Dia
termasuk petani miskin yang ingin diberdayakan agar terbebas dari
kemiskinan. Petugas dari Pempop Jatim
menjelaskan banyak hal yang dia harus lakukan agar tidak lagi miskin dan bisa
hidup bahagia. Pak “X” bertanya: “Apa
sih yang disebut hidup bahagia?”.
Pertugas Pemprop menjawab: “Ya biar hidupnya senang, pagi-pagi dapat
minum kopi sambil merokok dan tidak dikejar-kejar juragan untuk kerja di
sawah”. Mendengar jawaban itu, Pak “X”
menjawab ringan: “Lha kalau itu, sekarang setiap pagi saya sudah minum kopi dan
merokok”. “Saya juga sering tidak mau
disuruh kerja oleh juragan”………..
Mendengar
uraian itu, saya teringat cerita Mas Widi Pratikto. Beliau adalah guru besar ITS yang pernah
menjadi Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan juga pernah menjadi Sekjen
Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada
saat menjabat Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pernah bercerita tentang
kegiatan lucu saat melakukan pemberdayaan nelayan di pantai utara Pulau Jawa,
Departemen
Kelautan dan Perikanan menemukan bahwa kehidupan para nelayan di pantai utara
Pulau Jawa pada umumnya miskin dan terjerat tengkulak. Oleh karena itu dilakukan upaya pemberdayaan. Dimulailah dengan survai tentang pola hidup
mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa
konsumsi rokok di masyarakat nelayan miskin sangat tinggi. Sebagian besar penghasilannya untuk rokok. Oleh karena itu dilakukan upaya untuk
mencegah rokok, paling tidak mengurangi konsumsi rokok.
Nah,
ceritanya terjadi dialog kurang lebih sebagai berikut: “Pak, panjenengan kan
penghasilannya kecil”. “Mbok rokoknya dikurangi atau tidak perlu merokok, biar
bisa untuk kebutuhan keluarga yang lain”. “Biar ditabung untuk membeli jaring yang baru”. Begitu kurang lebih nasihat petugas. Sang nelayan menjawab: “Bu, saya tidak punya
apa-apa”. “Jadi semua ini milik juragan”.
“Jadi penghasilan saya ya kecil sekali”. “Saya tidak bisa ini dan itu
seperti orang kaya”. “Saya hanya bisa
menikmati rokok”. “Kalau merokok juga
tidak boleh, terus apa kenikmatan yang boleh saya dapat?”.
Dua
cerita di atas menunjukkan ada perbedaan tolok ukur tentang kebahagiaan dan
kenikmatan hidup. Paling tidak
perbedaan kebiasaan hidup yang itu telah menjadi “kenikmatan”. Saya juga pernah mengalami hal lucu seperti
itu. Kira-kita tahun 1980-an, almarhum
ayah saya diundang oleh pabrik makanan ternak, karena menjadi juara 1 peternak
kecil se Jawa Timur. Waktu itu memang
ayah berternak ayam petelor. Ingat saya
jumlah ayamnya hanya sekitar 300 ekor.
Selama
dua hari ayah saya mengikuti “pembinaan” dan diberi penginapan di hotel
Mojopahit Surabaya. Tiba-tiba pagi sekali ayah kerumah. Saya bertanya dalam bahasa Jawa, yang
kira-kira terjemahannya: “Lho Bapak, kok pagi-pagi ada apa?”. “Kan masih ada acara hari ini?”. Beliau menjawab: “Mau mandi tidak ada
ciduknya”. “Masak disuruh beredam
seperti kerbau”. “Mau ke belakang sudah”.
Jadi,
mandi dengan bath tube yang oleh
“orang modern” dianggap nikmat oleh almarhum ayah saya dinilai seperti mandinya
kerbau. Closet duduk yang katanya modern
dianggap tidak enak. Sekali lagi,
tampaknya baik dan tidak baik, nikmat dan tidak nikmat, itu sangat
subyektif. Tidak dapat digeneralisasi,
yang baik untuk si A tentu baik untuk si B.
Yang dianggap nikmat oleh si A belum tentu dianggap nikmat oleh si
B. Apa memang begitu?
Namun
saat berkunjung ke besan yang tinggal di Orkney Scotland, saya mendapat
informasi bahwa orang yang tinggal di Orkney merupakan the most happiest people di
Inggris Raya. Jadi orang-orang yang tinggal di Orkney paling bahagia dibanding
penduduk Inggris lainnya. Nah, kalau
begitu ada ukuran universal kebahagian hidup?
Buktinya dapat mengukur tingkat kebahagiaan orang. Mungkin semacam
indeks kebahagiaan orang. Apa yang
ukurannya?
Jujur
saya tidak tahu. Mungkin teman-teman
ahli sosiologi atau teman-teman yang mendalami agama atau mendalami religi yang
tahu. Seingat saya Robin Sarma,
pengarang buku “The Monk Who Sold His Ferary” menyinggung tentang kebahagiaan
hidup. Buku-buku keagamaan juga banyak
yang mengupas hal itu. Tentu dari perspektif
masing-masing. Namun, sangat mungkin ada
faktor-faktor yang bersifat universal.
Jika itu dapat ditemukan, akan dapat dipakai pedoman untuk membuat
masyarakat bahagia.
Ketika
tinggal selama tiga hari di Orkney, saya mencoba mencari apa yang menyebabkan
penduduknya sangat bahagia. Berikut ini
dugaannya saya. Pertama, secara ekonomi kecukupan.
Menantu saya yang asli Orkney bercerita pada umumnya orang Orkney punya
pekerjaan yang pasti dan secara ekonomi berkecukupan. Dari rumah yang ada di sana tampak tidak
mewah, tetapi lingkungannya asri dan tenang.
Rumahnya juga terawat baik, sehingga dapat diduga mereka punya uang
untuk merawatnya.
Kedua, tersedia layanan kesehatan yang terjangkau. Wilayah Orkney kecil, tetapi ada rumah sakit
ada semacam puskesmas dan ada semacam
perawat/tenaga kesehatan desa. Jika ada
orang sakit mudah mudah mendapat pelayanan.
Apalagi, memang ada jaminan kesehatan.
Jadi orang tidak perlu membayar.
Ketiga, tersedia layanan pendidikan yang terjangkau. Sebagaimana bidang kesehatan, pendidikan di
Scotland memang gratis sampai S1. Memang
di Orkney tidak ada perguruan tinggi, karena merupakan pulau di sebelah utara
Scotland. Tetapi sampai SMA tersedia
sekolah yang mutunya bagus. Transportasi ke mainland Scotland juga mudah, sehingga tidak ada masalah bagi yang
akan kuliah.
Ketiga, keamanan sangat kondusif. Ketika di Orkney saya tinggal di rumah di
dekat rumah besan yang kebetulan dibuat menjadi home stay. Besan berpesan, kalau ada perlu apa-apa masuk
saja ke rumah, pintu tidak dikunci.
Berarti keamanan sangat bagus. Di
kampung saya di Ponorogo, kalau malam rumah masih dikunci. Jadi mungkin Orkney lebih aman dibanding di
kampung Ponorogo.
Ke-empat, lingkungan tempat tinggal nyaman. Lingkungan Orkney memang peternakan sapi atau
domba. Hanya saja peternakan kecil yang
dimiliki oleh pribadi, jadi bukan perusahaan.
Banyak padang rumput hijau yang
diselingi tanaman Barley. Semua jalan
aspal mulus. Lalu lintas sepi, hanya ada
satu-dua mobil yang lewat. Kecuali di
kotanya yang merupakan kota pelabuhan.
Jadi lingkungan tempat tinggal terasa nyaman.
Mengapa
saya mendiskusikan indeks kebahagiaan?
Bukankah salah satu tujuan pendirian negara ini untuk memajukan
kesejahteraan umum? Berarti membuat agar
rakyat sejahtera dan bahagia. Kalau
gemerlap kota London tidak mampu membuat penduduknya sebahagia penduduk Orkney,
jangan-jangan bukan gemerlap itu yang membuat orang bahagia. Rasanya kita perlu mencari apa indikator atau
indeks kebahagian dan itu yang harus diusahakan agar terpenuhi oleh negara,
seperti tujuan yang termuat di pembukaan UUD 1945. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar