Ini
pertama kali saya ke Turki. Beberapa
kali teman dari Pasiad (lembaga pendidikan Turki yang mengelola beberapa
sekolah di Indonesia) menawari saya untuk berkunjung ke Turki. Namun karena berbagai hal belum juga kesampaian. Nah, ketika ditawari mampir ke Turki setelah
melaksanakan ibadah umrah, saya mengiyakan.
Toh penerbangan dari Jedah ke Istanbul hanya sekitar 2 jam.
Menginjakkan
kaki di Istanbul saya harus mengacungkan jempol. Kotanya bersih, tamannya sangat bagus dan
dipenuhi dengan berbagai macam bunga.
Bunga tulip yang sedang mekar tampak sangat indah. Konon setiap tahun,
pemerintah kota Istanbul menanam bunga tulip tidak kurang dari 6,6 juta batang untuk
mempercantik kota. Transportasi macet
mirip Jakarta dan Surabaya. Hanya
bedanya ada trem yang menolong masyarakat yang harus bepergian dengan
tergesa-gesa dalam kota.
Menunjungi
peninggalan kesultanan Otoman, Hagia Sophia, Masjid Biru, Masjid Ayub, Masjid
Sulaimania membuat saya semakin terkagum.
Peninggalan sejarah itu terpelihara baik dan dijaga keasliannya. Pengelolaan wisata religi dengan pengunjung
ribuan orang juga dilakukan dengan baik.
Tampaknya pariwisara religi telah dikelola dengan bagus dan ditunjang
dengan penyediaan sarana dan prasarana yang bagus pula. Tidak mengherankan jika pengunjungnya ribuan orang
dan sampai harus antre panjang untuk masuk.
Ketika
berkunjung ke grand bazaar, semacam pertokoan tempat membeli oleh-oleh saya
juga kagum. Saya tidak menemukan penjual
yang bukan orang Turki. Pertokoan
sederhana (tidak seperti mal di Indonesia) tetapi mirip dengan Pasar Turi. Hanya berlantai satu dan konon didirikan abad
ke 16. Bersih dan pengaturannya rapi. Yang dijual sangat beragam, tetapi
sepertinya memang dikhususkan untuk oleh-oleh (sovernir) bagi wisatawan.
Kalau
ada yang kurang pas menurut saya adalah pengaturan masuk masjid. Di Istanbul masjid-masjid bersejarah
berfungsi untuk tempat ibadah, sekaligus untuk tujuan wisata. Masjid Biru, Masjid Ayub, Masjid Sulaimania
berfungsi ganda semacam itu. Kita dapat
sholat di masjid tersebut, tetapi pengunjung non-muslim juga boleh masuk. Nah, pintu masuknya menjadi satu dan antre,
sehingga menjadi “kurang nyaman” bagi orang yang akan sholat. Bagi yang belum terbiasa, seperti aneh. Sementara ada orang sholat, tetapi
disekitarnya banyak wisatawan yang melihat-lihat masjid. Mungkin juga ada yang melihat orang sholat.
Di
pelataran halaman atau sekitar tempat wisata tersebut banyak “penjual asongan”,
yang menawarkan kaos, souvenir, jaket dan sebagainya. Yang menarik perhatian saya adalah beberapa
anak remaja kecil berumur sekitar 12-15 tahunan menawarkan gasing. Dengan lincahnya beberapa anak itu mendemonstrasikan
cara bermain gasing turki sambil menawarkan: “one lira-one lira”. Beberapa anak
menurunkan tawarannya: “five lira for six.”
Cara menawarkan sangat agresif dan tampak sudah terlatih. Demikian pula cara memainkan gasing.
Fenomena
itu terjadi di beberapa tempat, sehingga membuat saya bertanya-tanya. Apakah mereka sedang berjualan betulan. Artinya mereka berkerja untuk mencari uang
dengan berdagang gasing? Melihat pakaian
dan bersihnya anak-anak tersebut, saya menduga mereka dari keluarga cukup
berada. Karena berbeda dengan pedagang
asongan dewasa yang sepertinya memang sedang mencari uang. Bahasa Inggris anak-anak itu juga cukup
fasih. Sayang, saya tidak sempat
bertanya kepada mereka karena mereka sibuk menawarkan dagangan dan saya juga
tidak punya waktu banyak.
Melihat
itu, saya tadi teringat adanya anak-anak remaja di orchard road Singapore yang
juga menawarkan berbagai barang. Saat
itu saya mendapat penjelasan bahwa mereka itu siswa sekolah selevel SMP yang
melaksanakan salah satu matapelajaran sekolah.
Mungkin mirip pelajaran kewirausahaan di Indonesia. Konon, target utamanya adalah mampu menjual
barang kepada orang yang tidak dikenal.
Oleh karena itu mereka “berjualan” di orchard road yang banyak turisnya. Konsepnya mampu meyakinkan pihak lain tentang
dagangan merupakan salah modal penting dalam berwirausaha.
Tampak
sekali Singapore yang ingin menumbuhkan wiraswastawan dengan sungguh-sungguh,
memulainya dari sekolah selevel SMP dengan target yang cukup berat itu. Dan tampaknya hasilnya nyata. Proporsi penduduk Singapore yang berwiraswasta
cukup besar dan kita tahu bagaimana perusahaan-perusahaan di negara kecil itu
mampu menancapkan kaki di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar