Pagi
di penghunjung bulan Februari 2013 saya diminta mengisi kuliah umum bagi
mahasiswa PPG-SM3T Unesa. PPG (Pendidikan
Profesi Guru) adalah amanah UU no 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yang
mengamanatkan guru itu harus menempuh pendidikan setingkat S1 atau D4 dahulu,
kemudian menempuh program pendidikan profesi guru. SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal,
Tepencil dan Terluar) adalah program pengiriman Sarjana Pendidikan untuk selama
satu tahun mengajar di daerah 3T.
Sebagai penghargaan, mereka yang telah menyelesaikan program tersebut
diberi beasiswa mengikuti PPG.
Ini
mahasiswa baru dari program baru, sehingga mereka akan menjadi mahasiswa
angkatan pertama. Dengan senang hati
saya memenuhi permintaan tersebut dan ingin memberikan dukungan dan kontribusi
agar pada saatnya mereka menjadi guru yang profesional. Sebagaimana disebutkan dalam UU no 14/2005,
guru adalah sebuah profesi. Lulusan PPG akan
memperoleh sertifikat pendidik sebagai bukti formal sebagai guru profesional.
Isi
kuliah umum tidak penting saya sampaikan, tetapi justru pertanyaan salah satu
mahasiswa yang rasanya perlu dibagi informasinya. Salah seorang mahasiswa bertanya atau lebih
tepatnya meminta pendapat saya.
“Menurut studi Bank Dunia
sertifikasi guru dan tunjangan profesi yang diberikan kepada guru belum mampu
meningkatkan kinerja mereka”. “Guru
menganggap sertifikasi dan tunjangan profesi sebagai peningkatan kesejahteraan,
bukan peningkatan kinerja”. Begitu yang
disampaikan salah seorang mahasiswa.
Sejak
awal persiapan sertifikasi dan pada saat itu saya diminta mengetuai tim
sertifikasi di Jakarta, saya meyakini sertifikasi dan tunjangan profesi tidak
akan banyak mengubah keadaan guru yang kini sudah di lapangan. Mengapa?
Pertama, para guru yang
sekarang bertugas di sekolah adalah rekruitmen pada saat prestise guru kurang
baik di mata masyarakat. Akibatnya yang
masuk ke IKIP/FKIP/LPTK saat itu bukanlah lulusan SLTA yang bagus. Seringkali yang masuk adalah mereka yang tidak
diterima pada perguruan tinggi pilihan pertama.
Bahkan ada kelakar: “Dari pada
tidak kuliah, di IKIP juga tidak apa-apa”.
Ada juga kelakar, kalau punya anak gadis dan agak nakal, diancam: “Awas
kalau terus nakal nanti saya kawinkan dengan guru”.
Ketika
memberi pelatihan atau workshop dengan para guru, saya sering bercanda: “Anak
dokter biasanya ingin masuk Fakultas Kedokteran”. “Anak jenderal biasanya ingin
masuk AKABRI”. “Anak insinyur biasanya
ingin masuk ITB atau ITS”. “Lha kalau
anak guru, inginnya masuk kemana?”.
“Ingin masuk IKIP?”. Biasanya
para guru tertawa. Dan saya menimpali:
“Jangan, yang menjadi guru dan hidupnya pas-pasan, cukup bapak atau ibu saja”.
Pengamatan
saya menunjukkan, mereka yang sudah masuk menjadi mahasiswa IKIP/FKIP/LPTK dan
berprestasi bagus banyak yang tidak mau menjadi guru. Ada yang bekerja di
pemerintah daerah. Ada yang bekerja di
Kementerian. Ada yang bekerja di
perusahaan. Bahkan ada yang sudah
menjadi guru beberapa lama, kemudian pindah ke lembaga lain. Mungkin mencari pekerjaan yang lebih besar
gajinya atau lebih bergengsi di mata masyarakat.
Contoh
lain, banyak guru yang pindah menjadi pejabat di Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota/ Propinsi atau dinas-dinas lain di pemerintah daerah. Namun hampir tidak ada pegawai di Dinas-dinas
pemerintah daerah yang pindah menjadi guru.
Bahkan ketika awal desentralisasi pendidikan dan ada ide pegawai Kanwil
Pendidikan (sebelum berubah menjadi Dinas Pendidikan Propinsi) dikurangi dan
ditugaskan menjadi guru, banyak yang tidak mau dan memilih pindah ke Dinas
lain.
Apa
artinya semua itu? Guru belum menjadi
pilihan profesi bagi anak-anak atau orang-orang terbaik. Pekerjaan sebagai guru seakan “dihindari” dan
mau kalau sudah terpaksa. Akibatnya yang
menjadi guru adalah mereka yang tidak memperoleh kesempatan di tepat yang lebih
baik. Tentu tidak semua seperti
itu. Banyak orang pandai yang memang
ingin mengabdikan diri sebagai guru.
Namun harus diakui jumlah “pahlawan pendidikan” seperti itu tidak
banyak. Kelakarnya “kita ini manusia
biasa, ya ingin mendapatkan pekerjaan yang bergengsi sekaligus gajinya besar”.
Kedua, guru merupakan pekerjaan yang relatif sulit untuk berubah dengan
cepat. Guru selalu berhadapan dengan
siswa yang posisinya “dibawah”. Guru
pada umumnya merasa pandai karena yang dihadapi siswa. Guru pada umumnya merasa apa yang dilakukan
selama ini sudah tepat. Ketika mengajar
di kelas, tidak ada orang lain yang mengawasi guru. Kecuali waktu ada pengawas atau program
tertentu. Dengan begitu pada umumnya guru
yakin sudah menerapkan cara mengajar yang paling cocok dengan siswanya. Sudah berusaha agar siswanya menguasai materi
yang diajarkan. Ibarat momen inersia,
posisi guru sudah mapan dengan titik berat di posisi terendah, sehingga susah
untuk digoyang.
Kalau
sertifikasi dan tunjangan profesi tidak mampu meningkatkan kinerja guru, lantas
apa manfaatnya? Manfaatnya adalah untuk
guru di masa datang. Dengan adanya
sertifikasi dan guru mendapat tunjangan profesi, pelamar masuk IKIP/FKIP/LPTK
meningkat tajam. Di Unesa ada program
studi yang perbandingan pendafar dan yang diterima 40 : 1. Artinya untuk 40 pelamar hanya 1 orang yang
diterima. Dengan situasi seperti itu,
yang diterima tentu lulusan SLTA dengan nilai bagus. Prof Suyono, Dekan FMIPA Unesa pernah
mengatakan mahasiswa Kependidikan di MIPA lebih baik dibanding mahasiswa non
Kependidikan. Yang masuk menjadi calon
guru Matematika lebih baik akan masuk akan menjadi Matematikawan.
Namun
mereka itu baru lulus S1 sekitar tahun 2014 atau 2015. Saat itu kita dapat berharap muncul SPd-SPd
yang mutunya bagus. Jika mereka kemudian
mengikuti program PPG, mulai tahun 2015 kita akan memiliki calon guru
profesional yang bermutu bagus. Masih
beberapa tahun lagi, tetapi harapan itu sangat besar.
Menjelaskan
kepada mahasiswa, saya membagi informasi dari para senior. Konon tahun 1950-an profesi guru sangat bergengsi. Hanya lulusan SD dengan nilai bagus yang
dapat masuk SGB. Ketika SGA dibuka,
hanya lulusan SMP yang nilainya bagus yang dapat masuk SMA. Konon Ir. Abdul Kadir Baraja, pensiunan dosen
ITS yang membidani sekolah Al Himah dan beberapa sekolah lain, dulu ingin mauk
SGA tetapi tidak diterima. Akhirnya
masuk SMA dan kemudian kuliah di ITS, seterusnya menjadi dosen ITS. Lulusan SGB/SGA era lalu banyak yang menjadi
tokoh pendidikan, seperti Prof Rakajoni (almarhum), Prof Tilaar dan sebagainya.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Mohammad Nuh sering menggambarkan keadaan guru
saat ini seperti air dalam tangki.
Airnya tidak seberapa jernih.
Untuk itu, saat ini dilakukan upaya penjernihan sambil pelan-pelan ada
yang luber, alias pensiun. Yang lebih
penting setiap tahun diharapkan dimasukan air baru yang jernih (guru baru
bermutu bagus). Dengan begitu pelan
tetapi pasti kondisi air di tangki akan semakin jernih. Dengan serifikasi dan khususnya masukkan guru
baru hasil PPG, kondisi guru di Indonesia akan semakin baik. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar