Ketika
mengisi acara seminar atau pelatihan kepada para guru, saya sering mengakhiri
presentasi dengan mengutip ungkapan: “bad
teacher tells, good teacher shows, great teacher inspires”. Guru yang tidak baik bercerita, guru
bagus memberi contoh, guru yang hebat memberi inspirasi. Biasanya tidak ada yang mempertanyakan,
karena caption itu saya tampilkan di
akhir presentasi dan tidak saya bahas.
Dalam
suatu seminar dengan topik “Guru Masa Depan”, caption itu saya tampilkan di awal dan saya elaborasi. Akibatnya banyak yang mempertanyakan. Ada peserta yang menyatakan bahwa para guru
sudah memiliki pegangan “guru sebagai EMASLIM”, artinya guru sebagai educator, manager, administrator,
supervisor, leader, innovator, dan motivator.
Saya
senang peserta dapat menjelaskan guru sebagai EMASLIM. Artinya guru sudah memahami tugas dan
fungsinya, sebagai educator sampai motivator.
Itu adalah tugas atau fungsi guru.
Jadi tugas guru tidak hanya mengajar dalam pengertian menjelaskan materi
ajar, memberi tugas, memberikan tugas dan sebagainya. Itu hanya salah satu
tugas guru, yaitu sebagai pengajar. Guru
masih memiliki tugas lain dan lengkapnya yaitu EMASLIM.
Lantas
apa hubungannya dengan ungkapan bad
teacher tells, good teacher shows, great teacher inspires? Ungkapan ini merupakan kegiatan guru saat
menjalankan tugas dan fungsinya. Jika
saat mengajar, membimbing serta tugas lainnya, guru hanya bercerita “begini dan
begitu” maka yang bersangkutan tergolong guru yang kurang baik. Jika guru mampu memberikan contoh bagaimana
melakukan sehingga menjadi teladan itulah guru yang baik. Jika kemudian mampu memberi inspirasi kepada
siswanya, sehingga siswa terdorong melakukan itu tanpa disuruh/diawasi bahkan
terdorong berbuat lebih baik, itulah yang disebut memberi inspirasi. Dan guru yang mampu memberi inspirasi itulah
guru yang hebat.
Ketika
mendapat penjelasan itu, masih ada peserta yang bertanya. “Ya pak, itu akan seakan dampak dari
bagaimana guru mengajar dan membimbing murid”.
“Lantas untuk dapat berbuat seperti itu apa modal yang diperlukan
guru?”. Saya senang mendapat pertanyaan
itu, karena menunjukkan yang bersangkutan ingin belajar. Oleh karena itu, saya mencoba menjelaskan
dengan rinci sebagai berikut. Saya
teringat methapora yang digunakan oleh Gus Ipul (Wakil Gubernur Jawa Timur)
sehingga saya gunakan sebagai contoh.
Kalau
ingin menjadi guru yang baik, diperlukan empat bekal pokok. Pertama,
harus pandai. Harus “lebih pandai dari
siswanya”. Jika guru kalah pintar dengan
murid, dapat dibayangkan guru tersebut tidak akan dihormati atau bahkan
disepelekan. Guru yang pandai akan
membuat murid percaya dan bahkan berwibawa di hadapan murid. Wibawa karena kepandaian akan memberikan
dampak besar dalam proses belajar mengajar.
Siswa akan memperhatikan penjelasan guru. Siswa akan mengerjakan serius tugas yang
diberikan guru.
Namun
guru yang pandai itu tidak cukup, maka bekal yang kedua dan ini sangat penting, yaitu guru harus siap dan berusaha
sungguh-sungguh membuat muridnya lebih pandai dari dia sendiri. Artinya sang guru harus berusaha membuat
muridnya lebih pandai dari dirinya.
Berarti sang guru harus siap “dikalahkan” oleh muridnya. Jangan sampai seperti cerita guru silat, yang
konon selalu “menyembunyikan” jurus pamungkas agar tidak dikalahkan oleh
muridnya.
Konskwensi
dari syarat kedua tadi, maka dalam proses belajar mengajar guru harus siap
didebat oleh murid. Mengapa
demikian? Karena ketika siswa didorong
dan dimotivasi untuk belajar keras, mencari informasi dari segala sumber dan
menggunakan pola pikir lateral, sangat mungkin siswa memiliki gagasan dan
pendapat yang berbeda dengan gurunya.
Dengan demikian, guru harus siap didebat dan bahkan kalah ketika adu argumen
dengan siswa. Dan, sebenarnya ketika kalah
argumen itulah, sang guru telah berhasil.
Artinya, telah berhasil membuat siswanya lebih pandai dari dirinya.
Apakah
prinsip tersebut bersifat universal?
Menurut saya, ya. Kalau siswa
lebih pandai dari gurunya, berarti generasi muda lebih pandai dibanding
generasi yang lebih tua. Bayangkan, jika
murid lebih “bodoh” dibanding gurunya, berarti generasi muda lebih “bodoh”
dibanding generasi sebelumnya. Berarti
akan ada penurunan peradaban bangsa.
Bekal
ketiga, meminjam methapora Gus Ipul,
ibarat dokter tahu dosis obat yang harus diberikan kepada pasien. Inilah sebenarnya sari pati dari
pedagogik. Yaitu, tahu bagaimana cara
mengajarkan dan membimbing siswanya.
Maksudnya cara mengajar dan membimbing yang sesuai dengan karateristik
siswa, materi yang sedang dipelajari dan situasi dan kondisi saat itu. Guru harus faham karateristik siswa dan
karateristik bahan ajar. Dengan dua
dasar tersebut dan dengan bekal ilmu pedagogik yang mumpuni, guru dapat
menentukan bagaimana memandu siswa agar dapat belajar dengan optimal.
Bekal
ke-empat, adalah kesediaan menjadi
panutan atau teladan. Perilaku
keseharian guru harus dapat menjadi contoh bagi murid. Guru harus bersedia “mengendalikan diri” agar
perilakunya layak menjadi teladan siswa.
Apa itu penting? Sangat
penting. Sudah ada pepatah lama “guru
kecing berdiri, murid kencing berlari”.
Artinya, jika ada perilaku guru yang kurang baik, akan ditiru murid dan
bahkan lebih jelek lagi.
Tidak
hanya itu. Jika perilaku guru tidak baik
di mata murid dan masyarakat, biasanya rasa hormat yang terbangun oleh ketiga
bekal di atas akan hilang. Wibawa yang
terbangun dari kepadaian dan kemampuan mengajar seakan terhapus oleh perilaku
yang tercela. Dan jika hal itu terjadi, ketaatan
siswa terhadap arahan guru akan hilang.
Semoga kita memiliki empat bekal tadi dan pada saatnya dapat memberi
inspirasi kepada murid kita. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar