Pernahkan
Anda mencermati apa yang dilakukan banyak orang ketika lagi nunggu bis, nunggu
kereta, di ruang tunggu pesawat, di dalam kereta atau dalam pesawat? Umumnya ngobrol atau bercanda. Fenomena itu juga saya jumpai bersama rombongan
umrah sepanjang perjalanan. Dua buku
tulisan Agus Mustofa yang dibagikan (setiap jamaah disuruh memilih dua buku
secara gratis) saat manasik, tampaknya tidak menarik untuk dibaca. Ngobrol tampaknya lebih menyenangkan. Dan mungkin itu aktivitas bagus juga. Dapat mengakrabkan teman yang baru
kenal, menghilangkan kejenuhan dan
mengakrabkan kekeluargaan bagi yang pergi bersama keluarga. Mungkin saat dirumah jarang punya waktu
bersama-sama lebih dari 10 jam.
Memang
sekarang juga banyak orang Indonesia yang membaca koran atau majalah saat
nunggu sesuatu atau dalam perjalan naik kereta atau pesawat. Ada juga yang membaca buku, tetapi jumlahnya
tidak banyak. Itulah sebabnya sekarang
banyak pedagang asongan yang menawarkan koran atau majalah di terminal, stasiun
dan bandara. Bahkan beberapa penerbangan
memberi koran secara gratis sekita penumpang masuk pesawat.
Apakah
itu hanya ciri khas orang Indonesia?
Saya tidak faham. Mungkin mereka yang mendalami sosiologi dan
antropologi atau bidang sejenis itu yang dapat menerangkan. Yang saya amati,
kalau turis asing ke Indonesia dan naik kereta atau pesawat biasanya membaca
sepanjang perjalanan. Biasanya buku yang
dibaca tebal dan sepertinya buku sejenis novel.
Demikian pula kalau kita naik kereta di Eropa hampir semua penumpang
membaca dan hampir tidak ada yang ngobrol.
Bahkan di Belanda ada gerbong kereta yang ditulisi “Gerbong Tenang”,
maksudnya jangan rebut atau berbicara keras di dalam gerbong tersebut.
Mengapa
kita senang ngobrol dan tidak suka membaca?
Mungkin itulah yang oleh beberapa orang disebut bahwa budaya kita bukan
budaya tulis tetapi budaya tutur.
Masyarakat kita tidak terbiasa menuliskan apa yang dia ketahui atau apa
yang dia pikirkan. Yang biasa dilakukan
adalah apa yang diketahui atau yang dia pikirkan itu dituturkan (disampaikan
secara lisan) kepada orang lain.
Apakah
itu jelek? Menurut saya tidak, karena
menuturkan secara lisan juga salah satu cara berbagai pengalaman dan berbagi
pemikiran. Bahkan budaya tutur mungkin
berkontribusi terhadap keramahan masyarakat kita. Hanya saja, daya jangkauan penuturan secara
lisan sangat terbatas hanya kepada orang yang dijumpai. Itu berbeda dengan seandainya apa yang
diketahui dan dipikirkan itu ditulis akan dibaca orang banyak. Bahkan di era internet itu akan dibaca oleh
orang “sedunia”.
Budaya
tutur yang kita miliki juga membuat banyak nilai-nilai luhur yang hilang,
paling tidak berpotensi untuk hilang.
Ketika saya masih kecil dan tinggal di kampung ada kebiasaan yang
disebut dengan “MOCOPAT”. Ketika ada
orang melahirkan, sampai bayi berumur 5 hari (sepasar) atau bahkan 35 hari
(selapan), setiap malam ada jagongan. Setelah
isya, bapak-bapak berkumpul di rumah keluarga yang baru [unya bayi dan
menembangkan apa yang disebut Mocopat tadi.
Saya
pernah mencermati apa yang ditembangkan tadi.
Nadanya sederhana da tidak diiringi alat musik apapun. Namun isi tembang itu berupa petuah dan
harapan tentang kebahagian dan harapan kesuksesan sang bayi. Tentu dengan bahasa simbul (sanepo) seperti
biasanya penyampaikan harapan dalam budaya Jawa. Sangat indah dan sangat filosofis.
Nah,
kebiasaan Mocopat itu kini hampir tidak pernah lagi dilakukan. Dan karena tidak ada tulisan atau buku yang
mengabadikan, sangat mungkin pada saatnya akan punah. Hal yang sama akan terjadi pada PRANOTO MONGSO
dan sebagainya. Saya masih ingat,
almarhun ayah saya memberi tahu, kalau gadung dan uwi (jenis tumbuhan yang
merambat) sudah keluar batangnya, yaitu menyebul dari tanah dan menjalar ke
pohon terdekat, itu artinya sudah mendekati “labuh” atau awal musim hujan. Dan kalau batang tersebut sudah keluar
daunnya itu artinya labuh sudah datang.
Sayang
nasehat seperti itu tidak ditulis dan hanya disampaikan secara lisan dan turun
temurun. Pada hal itu “ilmiah” karena
keluarnya batang gadung dan keluarnya daun tadi konon terkait dengan kelembaban
udara. Ketika mendekati musin bujan dan
udara lembab akan memancing tumbuhnya batang gadung dan seterusnya.
Budaya
tutur yang kita miliki mungkin juga menyebabkan kita kurang senang dan terbiasa
membacab dab menulis. Itu mungkin juga
berkontribusi sedikitnya karya tulis dari bangsa kita, temasuk tulisan ilmah
(buku dan artikel) dari para ilmuwan.
Bahkan mungkin juga terkait dengan apa yang pernah saya tulis bahwa
kemampuan menulis kita rendah. Konon
paling rendah dibanding negara tetangga.
Pada
surat pertama yang diturunkan ke Nabi Muhammad adalah perintah membaca. Saya yakin membaca dalam konteks tersebut
juga dimaksudkan untuk menulis. Apa yang
dibaca kalau tidak ada yang ditulis?
Jadi membaca dan menulis adalah ajaran penting dalam Islam. Dan yakin itu juga berlaku bagi agama
lain. Bahkan dalam peradaban umat
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar