Melihat
TV dan membaca koran tentang Ketua MK, Akil Mochtar yang ditangkap KPK saya
tercenung lama. Apalagi ketika diketahui
di ruang kerjanya ditemukan ganja dan ekstasi.
Saya terus ingat Rudi Rubiandini (RR), ketua SKK Migas yang juga
ditangkap dengan dugaan korupsi. Sebelum
itu Lutfi Hasan Ishaq (LHI), saat itu Presiden PKS juga ditangkap KPK dengan
masalah yang sama.
Sebagai
seorang guru, saya tidak begitu faham tentang bagaimana KPK dapat melakukan
operasi tangkap tangan suap. Biarlah itu
menjadi salah satu kecanggihan KPK untuk dalam memberantas korupsi. Yang terus mengganggu pikiran saya, mengapa
mereka itu korupsi.
LHI
adalah presiden PKS yang kata banyak orang merupakan partai dakwah. Beliau sendiri seorang ulama. Mengapa sampai korupsi? RR adalah profesor dan dosen teladan
ITB. Seorang ahli perminyakan yang
ketika awal-awal terjadi semburan lumpur Lapindo, banyak menyampaikan pendapat
kepakarannya. Mengapa dia korupsi? AM
adalah doktor Ilmu Hukum, Ketua lembaga pengadilan “khusus” yang berwewenang
menyatakan apakah undang-undang saha atu tidak.
Pasti AM faham larangan menerima suap, mengapa tetap melakukan?
Mengapa
orang-orang hebat itu terjerat korupsi?
Dua diantaranya doktor, bahkan yang seorang profesor. Satu lagi da’i dan
presiden “partai dakwah”. Saya
membayangkan ketiganya orang yang punya kemampuan hebat dan tentu punya idealism
tinggi. Kalau tidak, mana mungkin
dipercaya mengemban jabatan seperti itu.
Sekali
lagi, mengapa mereka korupsi? Apakah
penghasilannya belum mencukupi kebutuhan hidupnya? Jawa Pos memuat infomasi
penghasilan mereka, Menurut saya sudah
sangat cukup. Apakah godaan begitu tinggi, sehingga ketiganya tidak mampu lagi
menjadi idealism? Saya jadi teringat “peringatan” Ronggowarsito
yang sangat terkenal dengan judul Zaman Edan.
Ijinkan saya mengutipnya secara utuh termasuk terjemahan yang saya ambil
di Wikipedia.
amenangi zaman édan, éwuhaya ing
pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren
wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang
éling klawan waspada.
(menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila
tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat
bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya
orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Rasanya
peringatan Ronggowarsito itu tepat. Saya
mulai membayangkan pola kehidupan sekarang yang “serba wah” dan sangat materialistik. Kata orang itu disebut hedonis. Kesenjangan hiduo juga sangat lebar. Saya teringat beberapa tahun lalu diundang “lembaga asing” makan siang di suatu
tempat di Jakarta. Karena sudah makan,
saya hanya memesan minum dan disodori daftar menu minuman. Saya memesan jus jambu dan saya lirik
harganya 150 rb. Kalau makan berapa
ya? Saya membayangkan berapa biaya yang
dikeluarkan kalau orang sering maka di tempat seperti itu.
Saya
pernah membaca koran saat ada pameran mobil mewah di Jakarta, konon yang
memesan sangat banyak. Pada hal harganya
milyaran rupiah. Dan konon di rumah
pengusaha yang menyuap AK terdapat beberapa mobil mewah dengan harga milyaran
rupiah. Koran juga pernah memuat ada
pengacara yang memberi hadiah ulang tahun anaknya sebuah mobil Ferari. Kata orang di tempat parkir Gedung DPR juga
banyak mobil mewah.
Saya
membayangkan RR, LHI dan AM sering berhubungan dengan para konglomerat yang
mobilnya mewah, rumahnya mewah, memakai arloji yang mewah, makan di tempat yang
mahal dan sebagainya. Jangan-jangan
terus tergoda dan berguman: “edan-lha dia saja yang tanggungjawabnya tidak
seberat saya punya………..apa saya………….” Kalau menggunakan istilah Ronggowarsito “kalau
tidak ikut gila, tidak kebagian……..”
Semoga
kita dapat belajar dari peristiwa itu dan tetap berpegang pada nasehat
Ronggowarsito: “sebahagia-bahagianya orang yang lupa tetap lebih bahagia orang
yang ingat dan waspada”. Bahagia itu
letaknya bukan di harta tetapi di hati. Orang
tidak akan pernah puas dalam harta, “seandainya sudah memiliki emas sebesar
gunung Uhudpun akan minta gunung emas berikutnya”. Pengendalian diri menjadi kunci. Semoga Sang Khaliq membimbing setiap langkah
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar