Tanggal
17-19 Oktober 2013 saya mengikuti pertemuan CRISU (Council of Rectors of Indonesian State Universities) dan CUPT (Council of University Presidents of
Thailand) di Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara. Tanggal 19 rombongan diajak berwisata ke
Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi.
Saya memutuskan untuk ikut, walaupun sudah dapat informasi kalau wisata
tidak sampai kedaerah wisata bawah laut di Wakatobi.
Wisata
bawah laut yang dikabarkan indah itu terletak di Pulai Kaledupa, sementara kami
hanya sampai Pulau Wangi-wangi. Dari
Pulau Wangi-wangi ke Pulau Kaledupa masih harus naik speed boat selama 2-3
jam. Dan wisata bawah laut di Kaledupa
itu “dikelola” oleh orang asing sejak Kabupaten Wakatobi belum terbentuk. Konon
orang Swiss. Sudah ada lapangan terbang
kecil khusus untuk wisatawan. Namun
tidak semua orang boleh masuk ke pulau tersebut. Alhasil orang lokalpun tidak
mudah untuk masuk ke daerah itu.
Nama
Wakatobi sendiri sebenarnya merupakan gabungan nama empat pulau “besar” yang
ada di sana, yaitu Pulau Wangi-wangi (WA), Pulai Kaledupa (KA), Pulau Tomia
(TO) dan Pulau Binongko (BI). Pulau
Wangi-wangi adalah tempat pemerintahan Kabupaten Wakatobi dan memang merupakan
salah satu dari empat pulau yang lokasinya terdekat dengan daratan
Sulawesi.
Rombongan
mendarat di Bandara Matahora di Pulau Wangi-wangi sekitar pukul 12.45. Disambut oleh Bupati Wakatobi, Pak HUGUA. Kami
transit di ruangan VIP dan disuguhi teh manis, air mineral dan beberapa makanan
kecil. Setelah itu diajak ke penginapan
berupa sebuah resort di tepi pantai.
Diberi makan siang sambil istirahat sebentar.
Setelah
selesai makan siang Rektor Universitas Halu Oleo, Prof Usman Rianse, dan Pak Bupati Wakatobi mengumumkan bahwa
rombongan akan diajak menanam pohon bersama Kelompok Kauluma. Kami semua ikut karena penasaran apa yang
dimaksud dengan menanam pohon bersama yang sebenarnya tidak tercantum dalam
agenda acara.
Dengan
bermobil kami menuju lokasi yang letaknya masuk ke lahan berisi tumbuhan mirip
semak-semak. Pulau Wang-wangi memang berbatuan dan yang tumbh berupa
semak-semak. Setelah mobil berhenti, kami diajak berjalan kaki masuk ke
tengah-tengah ladang yang banyak diisi tumbuhan semak-semak dengan beberapa
pohon jambu mente. Kami melewati lahan
yang ada papan kecil-kecil yang bertuliskan nama orang dan dipasang pada tiang
kecil. Prof Weri, Rektor Universitas
Andalas, bertanya apakah itu makam?
Setelah
itu kami sampai di tempat acara. Disitu
ada terop sederhana dan dibawahnya ada kursi plastik. Kami semua dipersilahan duduk dan disuguhi
pisang rebus dan pisang goreng. Upacara
dimulai dengan semacam penjelasan apa itu Kauluma. Penjelasan disampaikan oleh Pimpinan Kelompok
Kauluma yang saya tidak ingat namanya.
Disampaikan dalam bahasa daerah dan diterjemahkan oleh seorang anak
muda.
Dari
penjelasan itu, saya menangkap sesuatu yang luhur. Kauluma adalah bahasa daerah yang artinya
tempat naungan. Kelompok itu muncul
diawali oleh kesadaran masyarakat akan panasnya Pulau Wangi-wangi akibat
semakin berkurangnya hutan dan pepohonan.
Pada tahun 2008, tujuh orang dari Desa Longa memulai inisiatif menanam
pohon untuk menyelamatkan hutan dan daerah setempat. Untuk itu mereka membentuk kelompok yang
diberi nama Kauluma. Kegiatan dimulai
dengan menamil lahan keluarga seluas sekitar 10 HA.
Inisiatif
tersebut disambut baik oleh masyarakat, sehingga terus berkembang. Pemerintah Kabupaten juga mendukung inisiatif
tersebut, sehingga memfasitasi kerjasama Kelompok Kauluma dengan berbagai
organisasi. Akhirnya banyak tamu, dari
universitas (kebetulan Bupati Wakatobi teman akrab Rektor UHO), Kementerian
Kehutanan, tamu dari Jepang dan masih banyak yang lain, yang ikut menanam
pohon. Rombongan CRISU dan CUPT termasuk
yang juga difaslitasi UHO dan Bupati Wakatobi untuk ikut membantu Kelompok
Kauluma.
Setelah
mendapat penjelasan, semua peserta diajak menanam pohon. Pada setiap lubang sudah tersedia bibit pohon
yang akan ditanam. Juga ada papan nama
yang dipakukan di tiang kecil. Jadi yang
tadi dikira makam, ternyata nama penanam pohon di sebelahnya. Kami semua menanam pohon. Setelah itu memberi uang 100 ribu rupiah
untuk “ongkos” memelihara sampai pohon tersebut hidup.
Apa
yang dapat dipelajari dari Kelompok Kauluma tersebut? Pertama,
adanya kesadaran masyarakat bahwa menanam pohon merupakan langkah penting dan
perlu segera dilakukan untuk merehabilitasi hutan dan menurunkan suhu daerah
tersebut. Walaupun saya tidak memiliki
data, dengan melihat kondisi daerah tersebut, saya menduga tingkat pendidikan
warga belum terlalu baik. Akses
informasi juga belum terlalu baik. Jadi
kalau di masyarakat muncul kesadaran tersebut, menurut saya merupakan prestasi
yang harus diapresiasi tinggi.
Kedua, kesadaran itu tidak berhenti sebagai wacana, tetapi dilaksanakan
dengan konsisten. Tujuh orang yang
memulai terus melakukan dengan istiqomah.
Konon pada awalnya mereka tidak mau dipublikasi sebagai orang yang
merintis. Mereka tidak memerlukan
penghargaan. Mereka tidak ingin
ditonjolkan sebagai perintis lingkungan.
Mereka juga menanam di lahan sendiri tetapi didedikasikan untuk desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar