Saat
tiba di Wangi-wangi, rombongan peserta pertemuan CRISU dan CUPT ditawari dua
pilihan, mengunjungi masyarakat Bajo atau berwisata diving. Karena tidak membawa perlengkapan renang dan
juga ingin melihat Bajo yang sudah sering mendengar, saya memilih mengunjungi
masyarakat Bajo. Jim Collins dari NIU
sering bercerita tentang Suku Bajo, karena pernah melakukan penelitian tentang
suku itu. Masak, banyak bule yang tahu
dan orang Indonesia malah belum tahu.
Dari
apa yang pernah saya baca, Suku Bajo tinggal “di laut”. Pada awalnya mereka nomaden. Mereka tinggal
di atas perahu. Berikutnya mereka
membuat rumah di pantai, dengan ditopang oleh tiang-tiang yang menancap di
air. Antara satu rumah dengan rumah
lainnya dihubungkan dengan jalan dari kayu yang juga ditopang oleh tiang-tiang
dari kayu. Jadi mirip perkampungan
tetapi semua dia atas air.
Mereka
pelaut ulung. Pak Ilham dari Universitas
Hassanudin bercerita bahwa orang Bajo dapat menyelam sampai 15 menit tanpa
peralatan apa-apa. Orang Bajo dapat menangkat ikan dengan tangan saat menyelam
tersebut. Konon kalau ada bayi lahir
akan diceburkan ke laut. Jika dapat
bertahan, mereka diyakini bagian dari Suku Bajo, sedangkan jika tidak mampu
bertahan, diyakini bukan bagian Suku Bajo dan dibiarkan meninggal. Saya sendiri belum tahu praktek semacam itu.
Dari
cerita yang saya dapat, mereka itu menganggap masyarakat lain sebagai “orang
darat” yang suka merusak laut. Mereka
meyakini yang betul adalah pola kehidupan seperti yang mereka jalankan. Itulah
sebabnya ketika pemerintah berusaha mensosialisasikan program agar mereka
tinggal di daratan ditolak. Yang
berjalan adalah membuatkan jalan penghubung antara rumah-rumah mereka. Jika sebelumnya penghubung tersebut berupa
kayu yang ditopang tiang-tiang, sekarang “jalan tanah” seperti jalan didaerah
lain.
Dengan
bekal pengetahuan itu saya ikut rombongan mengunjungi Suku Bajo di
Wangi-wangi. Begitu tiba di lokasi saya
menjumpai situasi yang berbeda dengan yang saya bayangkan. Perkampungan Bajo di Wangi-wangi sudah mirip
perkampungan nelayan di Jawa. Halaman
rumah mereka sudah berupa lahan tanah yang bersambung dengan jalan. Beberapa rumah juga sudah tembok bahkan ada
rumah bertingkat. Juga banyak rumah yang
berdiri diatas tanah. Mungkin pada
awalnya berdiri di atas air, tetapi kemudian diurug sehingga yang tampak rumah
tersebut berdiri di atas lahan tanah biasa.
Yang masih berupa “air” adalah antara rumah dan rumah lainnya. Itupun sudah ada beberapa yang diurug juga.
Saya
juga menjumpai anak-anak muda sedang berspeda motor, bermain badminton, bermain
depak takraw dan bahkan ada beberapa anak muda yang sedang memakai “seragam
pesepak bola”. Ternyata mereka anggota
klub sepak bola setempat. Perilaku
anak-anak remaja tidak ubahnya dengan masyarakat pada umumnya. Juga ada beberapa rumah yang memiliki
parabola. Lagu-lagu yang terdengar dari
radio atau tape atau TV juga lagu-lagu pop layaknya yang disukai anak mudah di
tempat lain. Yang tampak masih beda adalah ibu-ibu yang menggunakan bedak putih
tebal, seperti di kampung saya pada tahun 1970an.
Melihat
situasi tersebut saya bertanya kapan “pengurugan” itu dilakukan. Konon sekitar akhir tahun 1990an awal tahun
2000an. Saya lantas bertanya apa di
lokasi tersebut ada sekolah. Ternyata
ada dan juga da masjid dan saya sempat sholat magrib di sana. Saya bertanya lagi, anak-anak Suku Bajo apa
perkerjaannya. Pak Ilham agar ragu-ragu
menjawab. Konon yang tidak sekolah
bekerja sebagai nelayan, tetapi yang sudah sekolah belum tahu bekerja apa.
Dari
pengamatan, informasi Pak Ilham dan obrolan singkat dengan beberapa remaja di
lokasi tersebut, saya menduga “budaya Bajo” akan segera hilang. Anak-anak remaja yang masih memiliki kenangan
masa kecil sebagai “anak Bajo” tinggal di “permukiman Bajo” sebelum ada
pengurugan-pun tampaknya sudah terpengaruh kuat oleh “budaya orang darat”. Main sepak bola, maik badminton, main sepak
takraw, naik motor dan sebagainya.
Lokasi tempat tinggal saat ini juga sudah mirip kampung nelayan
dibanding kampung air.
Kalau
anak-anak remaja tersebut pada saatnya menikah dan punya anak. Maka anak-anak mereka sudah tidak punya
kenangan sebagai “anak Bajo”, tidak punya kenangan lahir di pemukiman air ala
Bajo. Yang dia alami adalah situasi
seperti anak-anak nelayan pada umumnya.
Dengan begitu saya menduga budaya Bajo akan “hilang” dalam dua generasi
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar