Senin
tanggal 7 Oktober 2013 saya mengikuti acara Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Propinsi Jawa Timur. Dalam acara itu
Ketua BNSP Jakarta, Dr. Adjat Daradjat MSi menyampaikan presentasi tentang kompetensi tenaga kerja dan uji kompetensi
yang dilaksanakan oleh BNSP. Saat itu
ada peserta yang bertanya, negara mana yang sudah mengakui sertifikat hasil Uji
Kompetensi BNSP. Dan apakah boleh perusahaan
menambahkan syarat di luar sertifikat ketika menerima karyawan.
Tampaknya
Pak Adjat tidak bergitu yakin untuk menjawab pertanyaan tersebut. Beliau menjawab bahwa sertifikasi itu
bersifat lokal dan setiap negara berhak menentukan kompetensi yang
dipersyaratkan. Sertifikat yang
dikeluarkan oleh BNSP sudah diakui oleh negara-negara Asean dan beberapa negara
lainnya. Namun memang perusahaan dapat
menambahkan syarat di luar sertifikat.
Jadi dapat saja, pemegang sertifikat tidak diterima karena tidak
memenuhi syarat tambahan yang ditetapkan oleh perusahaan.
Yang
menarik, Dr. Adjat Daradjat menyampaikan orang Indonesia pada dasarnya sangat
pandai dan terampil. Banyak mereka
bekerja di luar negeri, misalnya di Timur Tengah. Karena belum memiliki sertifikat kompetesi
atau kesulitan menggunakan sertifikat yang diperoleh dari BNSP, banyak dari
mereka yang ikut uji kompetensi di Singapura atau Malaysia. Akhirnya mereka bekerja di Timur Tengah
dengan menggunakan sertifikat dari Singapura atau Malaysia.
Di
akhir presentasi, Dr. Adjat Daradjat berpesan agar siapapun yang melakukan sertifikasi
kompetensi harus dilakukan secara profesional, sehingga sertifikat yang
dihasilkan kredibel. Pesan itu
diulang-ulang. Sepertinya P Adjat
kawatir kalau sertifikasi kompetensi tidak dilakukan dengan profesional,
sehingga sertifikat yang dihasilkan diragukan.
Mendengar
pesan atau lebih cocok disebut peringatan itu, saya teringat dengan ETS (Education Testing Service) dengan
TOEFL-nya. TOEFL digunakan dan dipercaya
oleh banyak negara. Banyak perguruan
tinggi menggunakan TOEFL sebagai dasar menerima mahasiswa baru. Setahu saya program master di banyak negara
mensyaratkan skor TOEFL 550-575. Begitu
seseorang mendapatkan skor yang dipersyaratkan, tidak lagi dipertanyakan
kemampuan bahasa Inggrisnya.
Sepertinya
skor TOEFL merupakan garansi kemampuan bahasa Inggris yang bersangkutan. Bahkan ada yang berpendapat di dalam TOEFL
terkandung logika, sehingga skor TOEFL juga menggambarkan potensi akademik yang
bersangkutan. Itulah sebabnya banyak perguruan tinggi tidak memberikan
syarat lain di luar TOEFL. Seakan-akan
skor TOEFL menjadi garansi kemampuan bahasa Inggris seseorang.
Saya
membayangkan bagaimana caranya BNSP memiliki kredibilitas seperti ETS. Mungkinkah sertifikat kompetensi yang
dikeluarkan BNSP dipercaya banyak pihak, seperti TOEFL. Bagaimana caranya perusahaan tidak perlu lagi
melakukan tes sendiri dan cukup menggunakan sertifikat BNSP sebagai dasar
penerimaan karyawan.
Sepulang
dari acara tersebut saya merenung. Kapan
dan bagaimana kita (Indonesia) memiliki tes yang hasilnya kredibel sehingga
dipercaya banyak pihak. Saya jadi
teringat ketika mengolah data SNMPTN dengan menggunakan data nilai rapor. Sebagian besar pendaftar memiliki nilai rapor
hampir sempurna (8 atau 9 atau 10). Pada
hal kami tahu “kualitas” sekolah tersebut. Akhirnya kami bingung dan “melupakan” skor
rapor tersebut. Kami lebih percaya pada
IPK alumni sekolah yang bersangkutan yang sedang kuliah di Unesa. Ditambah ranking calon. Jadi calon harus bersaing dengan sesama teman
dari sekolahnya.
Saya
juga teringat ketika Pascasarjana Unesa menerima pendafatran mahasiswa baru dan
pendaftar melampirkan rekomendasi dari mantan dosen atau atasannya. Hampir semua rekomendasi itu isinya sangat
baik. Semua rekomendasi menyebutkan si
calon memiliki kemampuan akademik sangat baik, kesungguhan kerja sangat baik,
dan sangat mungkin dapat menyelesaikan studinya dengan baik. Akhirnya rekomendasi seperti tidak bergitu
diperhatikan toh isinya sama. Dalam
istilah lain, rekomendasi itu tidak kredibel.
Mungkin
itu yang menyebabkan Dr Adjat Daradjat memperingatkan. Jangat sampai sertifikat BNSP bernasib sama
dengan rapor anak-anak SMA/SMK yang mendaftar SNMPTN dan rekomendasi pendaftar
ke Pascasarjana. Jangan sampai tenaga
kerja Indonesia yang mencari sertifikat kompetensi di Malaysia dan Singapura
karena sertifikat BNSP tidak dipercaya di negara lain.
Ada
baiknya BNSP belajar ke lembaga testing yang kredibel. Saya tidak tahu pasti lembaga mana itu di
Indonesia. Saya pernah mendengar tes
TPA yang dilakukan oleh Bappenas sangat terpercaya. Beberapa Lembaga Psikologi juga dipercaya
banyak pihak. Namun kalau ingin mendapat
kerpercayaan secara internasional, BNSP dapat belajar ke ETS dan lembaga
penyelenggara tes lain yang juga sangat terpercaya. Misalnya ILETS, GRE dan GMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar