Hari
ini, 23 Oktober 2013 saya diundang oleh Universitas Airlangga untuk menjadi keynote
speaker dalam forum Guru-guru Bloger. Saya
senang karena merupakan kesempatan baik bagi saya untuk berbagi kerisauan. Mumpung ketemu orang-orang “dunia maya” yang
saya yakin selalu haus informasi dan tahu bagaimana caranya mencari informasi
itu. Saya ingin berbagai kerisauan
tentang bagaimana seharusnya dunia pendidikan menata diri di era cyber.
Sudah
agak lama saya merenungkan perubahan apa yang akan terjadi terhadap pendidikan
ketika era cyber telah datang. Dalam
beberapa kali kesempatan saya menyampaikan “kalau kita ingin tahu berapa
penduduk Kota Surabaya, kemana kita mencari?”.
Dulu mungkin di Buku Surabaya Dalam Angka. Atau di Buku Pelajaran Geografi. Sekarang lebih cepat buka Google dan ketik
kata “jumlah penduduk Surabaya”.
Keluarlah data itu dan bahkan dengan uraiannya. Hal yang sama, kalau kita ingin tahu hal
lain. Misalnya kita dapat obat dari
dokter. Sebut saja namanya “X”. Ketik nama obat itu di Google, akan keluar
banyak informasi. Paling tidak keluar
Wikipedia yaitu semacam ensklopedia pada masa lalu. Intinya saat ini segala macam informasi
tersedia di internet.
Beberapa
perguruan tinggi besar, misalnya MIT sudah mengunggah semua materi kuliah di
web-nya. Semua orang dapat melihat dan
mengunduh dengan gratis. Tentu tidak
dapat melakukan interaksi dengan dosen dan juga tidak dapat mengikuti ujian. Kecuali
mahasiswa yang terdaftar disana. Bahkan
MIT juga mengembangkan BLOSSOMS (Blended
Learning Open Source Science or Math Studies). Bahannya dikembangkan bersama dengan orang
dari berbagai penjuru dunia. Dan
hasilnya dapat dinduh oleh siapa saja tanpa membayar. E-book saat ini juga sudah mewabah. Harganya jauh lebih murah. Bahkan banyak “orang dermawan” yang
mengunggah e-book dan semua orangdapat mengunduhnya secara gratis.
Kalau
sudah seperti itu, maka lantas apa tugas guru?
Sampai saat ini pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh guru adalah
menerangkan suatu teori, konsep dan fenomena. Kalau penjelasan semacam itu
sudah tersedia di internet lantas apa yang harus dikerjakan oleh guru dan dosen?
Membantu menjelaskan karena siswa/mahasiswa tidak dapat belajar sendiri? Tanpa penjelasan guru/dosen, siswa/mahasiswa
tidak dapat memahami? Apa itu
betul? Apa itu berlaku untuk siswa SD,
SMP, SMA. Mahasiswa S1, S2 dan S3?
Mungkin
pola pembelajaran akan mengalami perubahan fundamental dalam waktu
mendatang. Mungkin tugas guru adalah
mendampingi dan memandu siswa dalam belajar.
Bukan memberikan informasi, karena informasi sudah ada di internet. Bukan menerangkan, karena wikipedian sudah
menerangkan itu. Pekerjaan guru/dosen
adalah “mengatur situasi belajar”, agar siswa/mahasiswa memperlajari informasi
yang diperoleh. Untuk apa? Apakah sekedar biar faham? Atau untuk cadangan pengetahuan? Itulah hal kedua yang perlu kita renungkan
bersama. Sebenarnya untuk apa anak
sekolah atau kuliah? Apakah sekedar
untuk memperoleh kumpulan pengetahuan?
Dua
pertanyaan terakhir sering saya ajukan kalau saya mendapat kesempatan ketemu
guru atau orang tua siswa. Umumnya
mereka menjawab, tidak. Akan bersekolah
atau kuliah untuk mencari bekal hidup agar besuk dapat sukses. Nah, pertanyaan apa bekal agar anak-anak
dapat sukses di era cyber. Itulah yang
perlu didiskusikan.
Sekrang
muncul istilah The 21st Centry Skills. Kira-kita kemampuan yang diperlukan untuk
menghadapi era Abad Ke-21. Salah satu
buku yang dapat dibaca karangan Bernie Triling dan Charles Fadel dengan judul 21st Century Skills: Learning for
Life in Our Time. Melalui
serangkaian riset dua orang itu
mengajukan tiga kemampuan yang diperlukan di abad 21, yaitu: learning and innovation skills, media and
technology skills, dan life and
career skills. Kita tidak harus
menerima gagasan mereka. Yang penting
kita mencari yang tepat untuk kondisi Indonesia.
Hal
lain yang ingin saya ajukan untuk menambah semangat “mencari”, adalah: (1) gap
antara pencari kerja dan pencari karyawan, dan (2) makin renggangnya hubungan
antara latar belakang pendidikan dengan profesi yang ditekuni orang. Setiap hari Sabtu koran memuat begitu banyak
lowongan pekerjaan. Di lain pihak, jika
ada job fair ribuan anak muda antre
mencari pekerjaan. Apa yang
terjadi? Yang mencari karyawan susah
mendapatkan, yang mencari pekerjaan sudah mendapatkan. Seakan ada ketidak cocokan antara yang dicari
oleh perubahaan dan yang melamar pekerjaan.
Dimasa
lalu, orang yang masuk Fakultas Hukum hampir pasti menjadi hakim, jaksa dan
pengacara. Orang yang masuk IKIP hampir
pasti menjadi guru. Orang yang masuk
Teknik Sipil, hampir pasti bekerja di PU, menjadi konsultan bangunan atau bekerja
diperusahaan kontraktor. Saat ini
hubungan seperti itu semakin longgar.
Banyak lulusan IKIP bekerja di perusahaan, menjadi pedagang bahkan
menjadi politisi. Dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar