Tanggal 25 Juni 2015
saya diundang Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbud untuk diskusi
tentang tata kelola guru. Saya sangat
gembira dengan diskusi yang menunjukkan Kemdikbud memiliki kemauan untuk menata
guru secara komprehensif. Itu ditandai
dengan banyaknya undangan yang terdiri dari eselon satu berbagai Kementerian
yang terkait dengan guru, misalnya Kemdikbud, Kemristek-Dikti, Kemkeu, Kemenag,
Kemenpan-RB, Bappenas dan sebagainya. Paling tidak itu menunjukkan kesadaran
bahwa menata guru melibatkan berbagai instansi.
Saya menjadi lebih
gembira ketika Mendikbud yang memberi arahan menyebutkan agar forum itu diawali
dengan brainstorming untuk menggali dan mengembangkan gagasan, termasuk yang agak
liar dan keluar dari aturan yang ada.
Juga tidak perlu memikirkan dapat-tidaknya dilaksanakan. Tampaknya Pak Mendikbud ingin peserta
melakukan eksplorasi gagasan bagaimana tata kelola guru yang ideal, tidak hanya
untuk saat ini tetapi justru diarahkan untuk jangka panjang. Jika ternyata tidak sesuai dengan aturan yang
ada, aturannya yang disesuaikan agar gagasan ideal itu dapat terlaksana.
Saya juga gembira,
ketika Dirjen GTK mengutip hasil penelitian John Hattie dan Sander and
Rivers. Keduanya menunjukkan peran guru
yang sangat besar dalam menentukan hasil belajar siswa. Dua studi itu
menyimpulkan, di luar potensi dasar siswa, kontribusi guru terhadap hasil
belajar siswa lebih 50%. Saat mendapat
kesempatan berbicara, saya menambahkan untuk konteks Indonesia, juga ada
penelitian Pujiastuti, Widodo dan Raharjo yang menyimpulkan kontribusi guru
sebesar 54,5%. Artinya jika kita dapat
memastikan di setiap sekolah terdapat guru dalam jumlah yang cukup, kompetensi
yang baik dan mereka bekerja dengan baik, maka 50% masalah pendidikan dapat
terselesaikan.
Oleh karena itu wajar
jika Undang-undang Guru dan Dosen, pasal 24 mengamanatkan agar Pemerintah
(pusat), Propinsi, Kabupaten/Kota memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah,
kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta
untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah.
Dalam brainstorming
yang hanya sekitar 3 jam terungkap betapa rumitnya masalah guru. Dari sisi jumlah, memang secara nasional
jumlah guru sudah cukup, tetapi fakta juga menunjukkan banyak sekolah,
khususnya di daerah pedesaan atau daerah terpencil, kekurangan guru. Jadi masalahnya terletak pada distribusi guru
yang tidak merata. Tidak hanya antar
daerah, tetapi juga antar sekolah dalam satu daerah, antar jenjang dan juga
antar matapelajaran.
Walaupun secara teori
memindah gutu antar sekolah dalam satu kabupaten/kota itu mudah, ternyata
prakteknya tidak seperti itu. Memindah
guru dari sekolah dalam kota ke pinggiran atau dari sekolah favorit ke sekolah
tidak favorit dapat dimaknai sebagai hukuman.
Pada hal data menunjukkan sekolah yang kelebihan guru biasanya sekolah
di kota dan sekolah favorit.
Belum lagi perpindahan
guru juga menyangkut trasportasi kerja. Untuk
kabupaten yang wilayahnya luas, pemindahan guru ke sekolah yang jarak dari
rumahnya jauh juga menimbulkan dampak tarnsportasi. Belum lagi jika kabupaten memiliki kepulauan
dan yang biasanya kekurangan guru adalah sekolah yang di daerah terpencil.
Di kasus beberapa
daerah ternyata yang banyak kekurangan guru adalah SD, sementara yang kelebihan
guru adalah SMA. Memindah guru SMA untuk
menjadi guru SD juga tidak mudah. Bukan
sekedar kemampuan atau latar belakang studinya, tetapi juga gengsinya. Guru SMA merasa lebih bergensi dibanding guru
SD, sehingga jika guru SMA dimutasi menjadi guru SD, juga dapat menimbulkan
masalah psikologis.
Perpindahan guru
antara kabupaten/kota dan antar propinsi tentu lebih sulit. Tentu tidak seua kabupaten/kota rela jika
gurunya dipindah. Apalagi jika yang
dipindah itu guru yang baik atau jenis guru yang dibutuhkan. Bahkan ketika terbut UU no 23 yang
mengamatkan agar SMA/SMK menjadi kewenangan propinsi, ada sinyalemen ada kabupaten/kota
yang mendorong guru yang kurang baik mutasi ke propinsi, sementara guru yang
baik dipertahankan.
Ketimpangan
suplly-demand guru ternyata serius.
Konon jumlah LPTK saat ini sudah lebih dari 400 buah. Ketika minta menjadi guru meningkat sebagai dampak
dari pemberian tunjangan profesi, ternyata membuat LPTK menambah daya
tampung. Juga tumbuh LPTK baru, baik
perluasan mandat dari “universitas umum” yang kemudian membuka prodi
kependidikan dan juga LPTK baru.
Diperkirakan jumlah mahasiswa LPTK saat ini sudah mendekati 1,8 juta
dengan lulusan sekitar 400.000 orang per tahun.
Pada hal kebutuhan guru baru hanya sekitar 50.000 orang.
Mutu guru yang kurang
baik dan kinerja guru yang tidak berubah saat telah menerima tunjangan profesi
ternyata juga tidak sederhana. Banyak
guru kita yang senior itu hasil rekrutmen akhir 1970an saat pemerintah secara
besar-besaran membuka SD Inpres dan untuk mengisi guru dibuat crass program
yang disebut SPG-C, yaitu program 1 tahun sesudah SMP. Lulusan SPG-C itu ditempatkan di SD Inpres di
pedesaan sambil sore hari menempuh Kursus Pendidikan Guru (KPG) selama 2 tahun
dan lulusannya disetarakan dengan SPG.
Mereka itu banyak yang tidak berkesempatan melanjutkan studi dan juga
tidak banyak tersentuh pelatihan. Jadi
dapat dibayangkan seperti apa mutunya, jika itu diukur dengan tes yang
menggunakan standar S1 Kurikulum saat ini.
Begitu ruwetnya
masalah guru, tampaknya tepat gagasan membentu Komite Reformasi Tatakelola Guru
untuk mencari solusi yang komprehensif.
Dengan kegiatan rutin yang begitu menumpuk rasanya kasihan jika Ditjen
GTK garus memikirkan masalah yang begitu rumit dan menyangkut berbagai
instansi. Namun demikian, menurut saya
ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius.
Pertama, Komite tersebut harus bekerja ekstra keras dan berkoordinasi dengan
berbagai instansi. Konsep yang disusun
harus didukung dengan pemikian akademik yang jernih, punya terobosan ke depan,
tetapi juga melihat kemungkinan bagaimana melaksanakan termasuk tahapannya.
Kedua, pemikiran kita terhadap guru yang sudah ada di lapangan harus
jernih. Mereka itu ibarat sudah menjadi
bagian keluarga yang sudah berjasa panjang.
Mungkin saja mereka banyak yang tidak mampu mengikuti perkembangan,
karena berbagai sebab. Namun mereka
tidak boleh begitu saja dilupakan bahan “dibuang”. Yang perlu ditemukan adalah
bagaimana meningkatkan kinerja mereka.
Ketiga, untuk dapat mengirimkan guru ke sekolah di pelosok, amanat pasal 23
ayat (1) UUGD perlu dipertimbangkan.
Selama ini kabupaten di daerah terpencil selalu kesulitan guru baru yang
memenuhi persyatan pendidikan minimal.
Tampaknya lulusan LPTK (S1 atau PPG) tidak tertarik melamar menjadi guru
di daerah terpencil. Jika ikatan dinas
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 23 ayat (1) UUGD itu dilaksanakan,
pemerintah akan punya stok guru baru yang siap ditugaskan ke daerah terpencil.
Ke-empat, perlu dikembangkan pola pembinaan karier guru yang komprehensif. Tidak hanya karier dalam arti penjenjangan
dari guru muda ke selanjutnya, tetapi juga apa saja posisi yang disediakan bagi
guru, apa syaratnya, termasuk mobilitas antar lembaga dan antas daerah. Tentu tidak bijak “mengurung” guru berdinas
di daerah terpencil sepanjang dinasnya.
Tentu akan bijak, jika dinas di sekolah terpencil itu bagian dari
penugasan dan bagian dari persyaratan karier.
Kelima, CPD
(continous professional development) perlu dicarikan bentuk yang luwes dengan
memanfaatkan IT. Jika MGMP/KKG dapat
dioptimalkan sebagai wahana CPD yang didukung oleh lembaga lain yang kredibel,
misalnya universitas dan difasilitasi dengan ICT, maka setiap minggu guru dapat
belajar di MGMP/KKG dengan dukungan universitas atau lembaga lain.