Judul di atas adalah
running text di Metro TV tanggal 11 Juni 2015 sekitar pukul 18.30. Jika itu benar, menurut saya merupakan lampu kuning
pada pendidikan atau bahkan perilaku kita.
Bayangkan 80%, artinya jika ada sepuluh sekolah, delapan diantaranya
curang. Jika ada sepuluh anak kelas IX
SMPN yang ikut UN maka delapan diantaranya curang. Dengan Asumsi perilaku itu juga terjadi di
SMP Swasta, dan jika tahun ini ada 4 juta anak kelas IX SMP yang ujian, maka
3,2 juta diantaranya curang.
Kita baru saja
disuguhi kehebohan ijasah palsu dan ijasah aspal (asli tapi palsu) yang konon
melibatkan banyak tokoh, pejabat dan pengusaha.
Sekarang disusul berita yang menurut saya tidak kalah buram. Jika ijasah palsu merupakan indikator kalau
banyak tokoh, pejabat dan pengusaha yang tidak dapat dipercara, kecurangan UN
yang masif di SMPN dapat merupakan indikator sangat banyak generasi penerus
tidak dapat dipercaya. Bukankah itu lampu kuning bagi perkembangan bangsa ini.
Mencari siapa yang
salah sehingga itu terjadi bukankah sesuatu yang penting. Jika itu disebut “penyakit”, yang penting
adalah mengapa gejala itu muncul dan bagaimana menyebuhkannya. Namun sebelum
itu kita perlu mendapatkan informasi apakah kecurangan semacam itu hanya
terjadi pada UN atau juga terjadi pada ulangan dan pengisian raport siswa. Pembaca yang kebetulan berprofesi sebagai
guru perlu bertanya kepada diri sendiri, seandainya melaksanakan ulangan dan
tidak ditunggui, berapa persen kira-kira siswa yang menyontek. Pembaca yang kebetulan berprofesi sebagai
kepala sekolah perlu bertanya kepada diri sendiri, apakah nilai yang diisikan
dala rapor itu mengambarkan nilai sebenarnya.
Apakah nilai rapor siswa kelas 3 SMA/SMK yang dimasukkan ketika
pendaftara SNMPTN itu nilai sebenarnya.
Saya takut jawaban
terhadap ketiga pertanyaan itu tidak jauh berbeda dengan statemen yang
disampaikan oleh Mendikbud. Saya pernah
bertanya kepada mahasiswa saya di Pascasarjana Unesa yang kebetulan guru, jika
mengadakan ulangan dan tidak dijaga berapa persen yang nyontek. Jawabnya sungguh mengejukan, katanya hampir
semua menyontek. Bahkan seorang
mahasiswa yang kebetulan seorang suster mengatakan banyak sekolah yang ketika
melaksanakan UN, siswa diajari oleh guru.
Jadi kecurangan bukan hanya di UN tetapi juga di ulangan, kecurangan
bukan saja oleh murid tetapi malah dipandu oleh guru.
Bagaimana dengan
rapor? Apakah itu gambarasan yang
sesungguhnya dari prestasi murid?
Pengalaman memerikan rapor yang dikirimkan sekolah saat siswa SMA/SMK
mendaftar SNMPTN sungguh membuat geli. Nilai
90an adalah nilai paling favorit. Memang
sangat sedikit yang memberikan nilai100, tetapih hampir tidak ada yang
memberikan nilai di bawah 75. Mungkin
itu didasari batas ketuntasan hasil belajar adalah 75, sehingga logikanya anak
yang sementer 2 kelas IX tentunya mendapatkan nilai di atas 75.
Masuk akal juga. Namun jika dibandingkan dengan nilai UN kakak
kelasnya yang lulusan tahun lalu, sungguh sangat lucu. Sekolah yang nilai UN-nya rendah justru
cenderung tinggi nilai rapornya. Seorang
teman berkelakar, seandainya boleh memberikan nilai di atas 100 mungki banyak
yang memberi nilai muridnya 120, dengan maksud agar berapapun nilai UN yang diperoleh
hasil gabungannya tetap di atas batas lulus.
Jadi tidak hanya murid dan guru yang curang, tetapi kepala sekolah juga
curang.
Jika sudah masif dan
sistemik semacam itu, apa yang harus dilakukan agar kecurangan itu dapat
digeser oleh kejujuran? Saya sendiri
tidak tahu jawabnya yang pas. Mungkin
teman-teman dari psikologi atau sosiologi lebih tahu jawabannya. Yang saya
bayangkan dilakukam dari tiga arah. Pertama, kebijakan yang dapat memandu
bagaimana seharusnya melaksanakan pendidikan yang jujur dan dilakukan secara
konsisten. Kebijakan itu yang dapat
membuat orang berlaku jujur dan mudah diketahui jika tidak jujur. Misalnya, setiap ulangan atau ujian, soal
maupun hasil pekerjaan harus disimpam sebagai dokumen yang dapat diverifikasi
oleh pihak yang berwenang. Misalnya
setiap guru wajib memiliki buku catatan (teacher note), buku tulis biasa yang
digunakan untuk mencatat kegiatan sehari-hari.
Buku itu harus diisi setiap hari walaupun hanya catatan pendek, tentang
hal-hal penting dalam bekerja. Dengan
begitu dapat digunakan untuk validasi silang dg hasil ulangan dsb. Jika pola itu dilakukan oleh guru dan juga
kepala sekolah, semua akan terdorong berlaku jujur karena semua terekam.
Kebijakan kedua adalah
aturan yang jelas atau bahkan statement dari pejabat yang berwenang kalau
kejujuran itu penting dalam pendidikan.
Saya bangga dengan Walikota Surabaya yang di depan publik menyatakan,
lebih bangga murid-murid jujur walaupun nilai UN-nya tidak bagus, daripada Unnya
tinggi tetapi tidak jujur. Pernyataan
yang disampaikan di depan rapat kepala sekolah se Surabaya ternyata membuat
kepala sekolah tidak tertekan dan tidak berbuat aneh-aneh agar siswanya lulus. Jika kebijakan seperti itu dapat dilakukan
secara konsisten, rasanya akan membuat sekolah yang me mark up nilai.
Kedua, keteladan dari tokoh dan pimpinan.
Jujur saya ngeri dengan kasus ijasah palsu yang melibatkan banyak
tokoh. Saya juga risi mendengar rasan-rasan
adanya tokoh yang menerima Dr (HC) yang ternyata membayar. Saya juga sedih ketika mendengar selentingan
tokoh yang mengambil kuliah S2/S3 tetapi tugas-tugas dan bahkan
tesis/disertasinya dibuatkan orang lain.
Saya juga sagat galau ketika mendengar tokoh mendapatkan jabatan
profesor pada hal syaratnya sebagai dosen dengan angka kredit tertentu tidak
terpenuhi. Mari kita semua, yang merasa
sebagai pemimpin sekecil apapun levelnya memberi contoh kepada sekitar. Saya kawatir kebijakan menjadi mancan ompong
ketika para tokoh sendiri yang melanggarnya.
Ketiga, penegakan aturan yang konsisten.
Seringkali pelanggaran besar itu berasal dari pelanggaran kecil yang
dibiarkan sehingga menjadi sebuah kebenaran.
Jika pelanggaran atau sebutlah penyimpangan kecil itu segera
ditertibkan, rasanya tidak akan menjadi besar.
Kata orang bijak, katakanlah atau lakukanlah berulang-ulang dan kalau
itu tidak ada yang menyalahkan, lama-lama akan menjadi kebenaran.
Semoga lampu kuning
pendidikan kita segera menjadi hijau.
1 komentar:
Ulasan yang sempurna Prof.
Saya juga melihat bahwa kecurangan masif yang terjadi pada penyelenggaraan UN SMP tahun ini adalah memudarnya sosok panutan dalam keluarga. Ketika orang tua kurang memberikan perhatian (ajaran moral, agama,kejujuran, dll) dalam keluarga maka anak-anak (apalagi pada jenjang SMP yang nota bene masih sangat labil dalam segala hal)tidadk mampu memberikan perlawanan terahdap kejahatan "nyontek". Sekiranya mereka memiliki integritas yang dibangun dalam keluarga dan bersama keluarga, maka saya yakin mereka tidak mudah untuk ikut dalam kecurangan masif tersebut, sekalipun sistemnya (yang sudah di"baku"kan oleh segelintir orang dalam dunia pendidikan) tetap memberi peluang untuk itu. Dengan demikian, menurut saya yang tidak kalah penting adalah membangun karakter, kepribadian dan integritas anak sedini mungkin dengan mengoptimalkan peran keluarga sebagai ruang belajar pertama anak-anak.
Posting Komentar