Tanggal 29 Juni 2015
saya bertemu dengan teman lama, mantan wartawan Jawa Pos yang sekarang menjadi
penulis buku, Mas Maksum. Tidak lama
kemudian datang wartawan mudan yang masih aktif yaitu Mas Ulum. Tujuan kedua teman tadi bukan menemui saya,
tetapi punya janji dengan teman lain, tetapi beliau belum datang, sehingga
ngobrol dengan saya.
Saya yakin wartawan
dan mantan wartawan punya banyak informasi, sehingga dalam kesempatan itu saya
banyak menanyakan ini dan itu. Mulai
dari yang ringan-ringan, seperti apa kesibukan Mas Maksum saat ini, sudah
berapa buku yang ditulis. Juga bagaimana
bertanya kepada Mas Ulum, bagaimana rasanya bergeser dari bidang pendidikan ke
mencari info tentang daerah Sidoarjo.
Ceritapun bergeser menjadi bagaimana ceritanya Pak Dahlan Iskan menjadi
terangka kasus PLN, dikaitakan dengan kasus mobil listrik dan sebagainya. Bergeser lagi ke sejarah Jawa Pos termasuk
ketika melebarkan sayap membukan koran daerah yang konon sudah mencapai sekitar
200 buah.
Saya mencoba menjadi
pendengar yang baik, sambil mencerna informasi yang mengalir deras dari kedua
teman tadi. Apalagi ketika Pak Jaelani
datang, sehingga informasi menjadi lengkap karena beliau mantan birokrat yang
tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda dan sudut pandang yang berbeda
pula.
Sebagai birokrat
senior yang sudah purna tugas, Pak Jaelani punya segudang informasi dan
pandangannyya tentu masih berbau birokrat namum tidak terikat lagi oleh
norma-norma birokrasi seperti ketika masih berdinas. Mas Maksum, sebagai mantan wartawan senior
yang sudah purna tentu punya informasi tidak kalah banyak dan karena sudah
purna sepertinya lebih bebas bertukar pandangan. Mas Ulum, walaupun lebih banyak diam, mungkin
karena yunior tetapi juga puya informasi terbaru.
Ibarat sedang duduk di
pinggir jalan, saya dapat melihat bebagai jenis mobil, motor dan kendaraan
lainyang lewat. Saya juga dapat melihat
setiap kendaraan dari berbagai sudut pandang, dari depan, dari samping dan dari
belakang. Bahkan dari dalam mobil. Jadi saya sangat beruntung pagi itu.
Setelah pertemuan
selesai, saya mencoba mengingat informasi yang banyak dan berbagai pandangan
itu. Saya mencoba memahami dan
mereka-reka apa realita yang sebenarnya.
Tentu ketika teman dari berbicara atas informasi yang dimiliki dan atas
sudut pandang tertentu. Oleh karena itu
pastilah yang digambar bukanlah realitas yang utuh. Saya mencoba menggabungkan sudut pandang
ketika teman tadi untuk menemukan realita yang utuh itu. Ternyata tidak mudah.
Saya jadi membayangkan
bagaimana tidak mudahnya tugas penyidik dari KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang
dengan informasi sepotong-sepotong harus melakukan konstruksi peristiwa yang
utuh sbagai dasar penuntutan. Saya juga
jadi memahami pentingnya rekonstruksi oleh penyidik untuk mendapatkan gambaran
peristiwa yang utuh.
Saya juga
membayangkan, bagaimana para ilmuwan merekonstruksi wujud binatang dari
potongan tulang yang membatu jadi fosil.
Bagaimana sulitnya ilmuwan menyusun teori bahwa alam semesta mengembang
dari informasi-informasi yang sepotong.
Bagaimana sulitnya para ahli sejarah yang merekonstruksi suatu kerajaan
dari informasi yang sepotong-sepotong.
Setelah merenung
panjang saya menjadi lebih sadar kalau kemampuan saya terbatas. Daya nalar saya terbatas. Pengetahuan saya terbatas. Syukur adan kejadian pagi itu, sehingga saya
belajar memahami bahwa kemampuan, nalar dan pengetahuan saya terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar