Sejak selesai menjabat
rektor Unesa saya ingin sekali kembali ked dunia akademik, dunia yang sudah
sekitar 8 tahun saya tinggalkan sejak menjadi PR-4 dan kemudian menjadi
Direktur Ketenagaan dan terakhir menjadi Rektor Unesa. Jika sebelumnya saya sering terlibat dalam
penelitian dan kegiatan akademik lainnya, saat menjabat di birokrasi waktu
untuk itu hampir tidak ada. Paling
banter hanya ikut seminar. Buku yang
dibelipun seringkali tidak sempat membaca secara tuntas.
Hari ini, tanggal 30
Juni 2015 keinginan itu mendapat pintu, dengan mengikuti seleksi proposal penelitian
IDB di Unesa. Saya lebih gembira karena reviewer-nya
bukan dosen Unesa, tetapi satu orang dari UM dan satu orang dari Universitas
Jember. Jika reviewer-nya dari Unesa
mungkin saling sungkan. Reviewer mungkin sungkan menguji saya, karena pernah
menjadi rektor dan ikut mencarikan dana IDB.
Saya juga sungkan, masak mantan rektor kok ikut kompetisi proposal yang
diuji oleh orang Unesa sendiri.
Saya juga sangat
gembira ketika gagasan yang ajukan mendapat respons positif, walaupun belum
tentu diterima. Saya mengajukan proposal
penelitian tentang Pengembangan Model Pendidikan Guru di Era Digital. Saya jelaskan bahwa saya pernah memberi
kuliah dan ada mahasiswa yang sibuk membaca lap top. Ketika saya tanya apa yang sedang dibaca,
mahasiswa tersebut menjawab sedang membaca topik yang saya jelaskan, tetapi
dari sumber lain. Dia menjelaskan ada teori lain yang berbeda dengan apa yang
saya jelaskan.
Saya sangat senang
dengan repons mahasiswa tersebut dan kemudian saya minta dia menjelaskan apa
yang dia baca. Sungguh mengagetkan, ternyata sudah membaca dua sumber ketika
saya menjelaskan dalam kelas itu. Saya membayangkan kalau semua mahasiswa
seperti dia, maka dosen tidak perlu menerangkan. Saya menduga era digital yang kini melanda
generasi muda akan membuat mahasiswa yang berperilaku seperti mahasiswa tadi
semakin banyak.
Nah kalau sudah banyak
yang seperti itu tentu pola perkuliahan seperti sekarang ini tidak lagi cocok. Jika ada dosen yang masih bertahan, dapat
saja mahasiswa nggerundel dengan berguman, lha kalau itu sih saya bisa baca
sendiri. Atau malah berguman, lha itu
sih teori kuno, nih yang lebih baru dapat dibaca di web ini. Dan sebagainya.
Sekarang juga sudah
berkembang MOOC (masive open online courses), dimana bahan kuliah dapat diakses
secara bebas di internet. Siapa saja
dapat membaca bahan kuliah perguruan tinggi besar, seperti Harvard, MIT dan
sebagainya. Nah, kalau bahan kuliah
dapat diperoleh dengan mudah, apa dosen masih menerangkan secara detail? Apa tidak bisa, langsung memulai dengan problem
based, yaitu memberikan masalah yang harus dipecahkan secara bersama?
Saya menduga
pengalaman saya ketika memberi kuliah tadi juga dialami oleh teman-teman
guru. Bukankah anak-anak sekarang, mulai
dari siswa SD sudah terbiasa dengan gatget.
Bukankah mereka justru lebih pandai dari kita, karena konon mereka itu
native sementara kita ini imigran dalam dunia gatget. Jadi yang memerlukan
perbuahan pola tidak perkuliahan, tetapi juga pembelajaran di sekolah
Jika demikian, berarti
kompetensi guru atau dosen juga harus dipikirkan kembali. Jika guru dan dosen harus mampu melaksanakan
kuliah dengan model problem based, tentu memerlukan bekal yang berbeda dengan
mereka yang memberi kuliah seperti yang sekarang ini berjalan. Jika problem yang ingin dipecahkan adalah
sesuatu yang kontekstual dengan lingkungan dan lintas disiplin, maka bekal
dosen tentu juga harus seperti itu.
Lebih lanjut fokus
pada guru, jika kita memerlukan perubahan kompetensi guru agar mampu mengasuh
pembelajaran di era digital ini, tentu pola pendidikan guru juga harus
berubah. Itulah yang saya ajukan untuk
diteliti dan dikembangkan. Seperti apa
modelnya? Saya sendiri belum tahu,
karena masih akan diteliti .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar