Tanggal 17 Juni 2015
sekitar pukul 10an HP saya bergetar dan ketika saya buka ternyata ada telepon
dari Kepala Dikbud Surabaya, Dr. Ikhan.
Namun karena sedang acara di Dikti saya tidak berani menerimanya. Beberapa saat ketika acara break, saya keluar
ruangan dan ganti menilpun beliau.
Ternyata belia galau karena hasil US SD siswa Surabaya hanya ranking ke
sekian di Jawa Timur.
Sebenarnya di pesawat
saat pagi terbang dari Surabaya ke Jakarta saya sudah membaca itu di Jawa Pos
halaman Metropolis. Seingat saya
Surabaya ranking ke 23 atau berapa pastinya saya lupa. Waktu membaca itu, saya teringat pidato Bu
Walikota tahun lalu pada rapat Kepala Sekolah di Aula SMA Petra. Di acara yang juga dihadiri oleh Mendukbud
(waktu itu, Pak Nuh), Bu Walikota pesan agar saat UN jujur. Beliau lebih senang anak-anak nilai tidak
tinggi tetapi jujur dari pada nilainya tinggi-tinggi tetapi tidak jujur.
Apakah rendahnya nilai
anak-anak SD di Surabaya karena itu?
Saya tidak tahu. Tetapi jika ini
karena jujur tentu Bu Walikota tidak boleh marah dan justru lebih senang. Saya juga gembira jika itu benar, karena
membuktikan kalau tahun lalu banyak anak-anak SD yang saat US tidak jujur dan
tahun ini ketidak jujuran itu sudah tidak dilakukan. Saya yakin lebih mudah meningkatkan prestasi
dalam US dibading meningkatkan kejujuran.
Biarlah kejujuran dimantapkan dulu dan secara bertahap prestasi akademik
digenjot tanpa mengendorkan kejujuran.
Lebih dari itu,
pemerataan prestasi juga sangat penting.
Seperti diketahui bersama, pendidikan kita sangat timpang. Di Surabaya ini ada SD yang serba lengkap,
kelasnya ber-AC, perpustakaan lengkap, punya lab cukup bagus, gurunya pilian
dan siswanya datang-pulang diantar jemput sopir pribadi. Namun juga ada SD yang gedungnya reyot, halamannya
kumuh bahkan hampir tidak punya halaman, banyak siswanya berpakaian
seadaanya. Dapat diduga prestasi US
kedua jenis SD tersebut berbeda. Sulit
membayangkan guru di SD yang kedua itu dapat membimbing siswanya seintensif SD
yang pertama. Belum lagi, setelah pulang
sekolah siswa SD kedua membantu orangtuanya bekerja.
Menurut saya salah
satu tugas utama pemerintah adalah mendekatkan kesenjangan antara dua jenis
sekolah tersebut. Biarlah sekolah jenis
pertama melejit dengan upaya mandiri, tugas pemerintah adalah membantu dan
membina sekolah jenis kedua ada segera menjadi sekolah yang baik, sekolah yang
memenuhi standar minimal, syukur lebih dari itu.
Ada adagium tentang kemiskinan
struktural. Karena orangtuanya miskin
anak-anaknya tidak sekolah atau sekolah tetapi seadanya sehingga tidak pandai.
Akhirnya bekerja seadaanya dan juga tidak punya modal sehingga ujung-ujungnya miskin
seperti orangtuanya. Nah seandainya anak
orang miskin itu mendapat layanan pendidikan yang baik dan menjadi pandai,
rasanya lingkaran itu dapat dipotong, sehingga walaupun anaknya orang miskin
tetapi karena pandai ada bekerja atau mendapatkan pekerjaan yang memadai.
Itulah sebanya, sata
menelpun Pak Kadinas Surabaya, saya mencoba membesarkan hati beliau. Tidak usah terlalu risau dengan hasil US SD
tahun ini. Mudah-mudahnya itu karena
siswa jujur. Ketika beliau mengatakan
akan melakukan analisis matepelajaran apa dan soal jenis apa yang siswa tidak
dapat mengerjakan, saya menyampaikan harapan, tolong juga dianalisis SD mana
yang nilai rendah dan dicek apakah kondisi SD itu cukup memadai. Maksud saya SD yang kurang memadai kondisinya
itu segera dibantu agar lebih baik.
Setelah selesai
bertelepon ria dengan Pak Kadiknas, sambil ikut acara di Dikti saya teringat
dua hal. Pertama, setahun setelah Beasiswa Bidik Misi dilaksanakan, kami
melakukan telaah perkembangannya. Kami
dikagetkan ternyata banyak pelamar lulusan SMA/SMK/MA dari keluarga kurang
mampu itu tidak lulus dalam seleksi akademik masuk PTN. Pada hal syarat untuk dapat beasiswa harus
lulus seleksi akademik. Pada saat itu
kami berpikir jangan-jangan anak-anak itu tidak berprestasi karena bersekolah
di SMA/SMK/MA yang kurang baik, karena tidak mampu mendapatkan SMA/SMK/MA yang
baik, karena SMA/SMK belum bebas biaya.
Oleh karena itu, digagas beasiswa bagi anak-anak SMA/SMK yang berasal
dari keluarga kurang mampu.
Kedua, pengalaman ketika berkunjung ke Jepang dan mendapatkan fakta kalau
anak-anak harus sekolah di rayon wilayahnya.
Artinya anak-anak tidak boleh memilih sekolah di luar rayon tempat
tinggalnya. Saya bertanya, bagaimana
kalau orangtuanya ingin memilih sekolah di luar rayon tempat tinggalnya dengan
alasan mencari sekolah yang lebih baik.
Teman dari Jepang menjawab, sekolah di Jepang mutunya hampir sama,
sehingga orangtua tidak perlu risau tentang hal itu.
Ketika pengalaman itu
saya ceritakan kepada anak saya yang tinggal di Edibrugh-Scotland, dia
mengatakan kalau pola itu juga diterapkan di Scotland. Jadi kalau ingin anaknya bersekolah di “X”,
orangtuanya harus pindah dan bertempat tinggal di rayon wilayahnya. Tetapi umumnya orangtua tidak terlalu risau,
karena mutu sekolah di satu wilayah dengan wilayah lainnya tidak jauh berbeda.
Mungkin itu yang
dimaksud rilis data PISA yang diwujudkan dalam dua sumbu yaitu equity dan
performace. Negara yang performance
tinggi tetapi equity-nya rendah berarti prestasi anak-anaknya tinggi tetapi
tidak merata. Sebaliknya negara yang
performance rendah tetapi equity-nya tinggi, berati prestasinya rendah tetapi
merata. Tentu yang baik, performance
tinggi dan equiti-nya tinggi. Semoga
Surabaya dan Indonesia menuju ke yang terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar