Ketika mengikuti acara
di Iran akhir Mei lalu, ketemu dengan teman lama dari Sulawesi. Beliau menanyakan nasib temannya yang
mengusulkan jabatan akademik ke guru esar tetapi tidak turun-turun. Saya jawa kalau saya tidak tahu. Meskipun saya menjadi anggota tim penilai
kenaikkan jabatan akademik di Dikti, tetapi pemeriksaan dilakukan secara online
dan sesuai dengan bidang keahlian. Jadi
tentu saya tidak memerikan usulan teman yang kebetukan bidang keahliannya
berbeda dengan saya. Dan saya tidak
tahu, karena hasil penilaian secara otomatis masuk ke file Dikti dan yang bisa
tahu hanya si penilai dengan koordinator.
Jadi saya tentu tidak tahu, kecuali hasil penilaian saya sendiri.
Tampaknya teman yang
bertanya tadi tidak puas dengan jawaban saya dan terus bertanya bagaimana Bapak
“X” itu dapat menjadi profesor, pada hal dia bukan dosen. Juga ada Bapak “Y” yang walaupun konon dosen
tetapi selama ini ebih aktif di bidang politik.
Apa betul Bapak “Y” tersebut memiliki kredit point yang cukup untuk ke
guru besar. Sepertinya teman tadi pernah
membaca blok saya, sehingga setelah panjang lebar menggerutu beliau komentar, “Pak
Muchlas kan penah menulis di blok bukan Oktober 2104 yang mempertanyakan
keabsahan seorang yang bukan dosen mendapat jabatan akademik profesor”. “Kon
sekarang mucul lagi”.
Saya tidak berani
menjawab atau memberi komentar terhadap gerutuan teman tadi, karena memang saya
tidak mengetahui duduk masalahnya. Namun
setelah berpisah, diam-diam saya juga bertanya dalam hati, bagaimana ceritanya
Bapak “X” dan Bapak “Y” mendapat jabatan akademik profesor. Memang Undang-undang nomer 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi memberi peluang kepada Menteri untuk memberi jabatan
akademik profesor kepada seseorang yang memiliki keahlian luar biasa. Tetapi betulkah Bapak “X” memiliki keahlian
luar biasa? Apa ukurannya?
Tentang Bapak “Y”,
saya dengar memang seorang dosen tetapi bukan dosen tetap, karena beliau lebih
sebagai seorang politisi. Saya tidak tahu
apakah beliau memiliki kredit yang mencukupi untuk menjadi profesor. Saya mencoba menghitung-hitung. Untuk menjadi profesor itu harus mengumpulkan
kredit minimal 850 dengan ketentuan (pola lama), 25% minimal dari
pendidikan/pengajaran dan minimal 25% dari karya ilmiah. Apa beliau punya cukup waktu untuk memenuhi
kredit point itu ya.
Jujur saya
ragu-ragu. Seingat saya kewajaran dosen
itu hanya dapat mengumpulkan kredit point A sekitar 15 kredit per semester atau
30 kredit setahun. Jadi untuk
mengumpulkan kredit pendidikan/pengajaran sebanyak 25% dari 850 atau 212,5
diperlukan waktu 7 tahun. Itu kalau yang
bersangkutan bertugas sebagai dosen full time sehingga dapat mengumpulkan
kredit maksimal.
Bagaimana dengan
kredit point karyawa ilmiah? Saya juga
ragu-ragu, karena jika karyanya berupa artikel di jurnal nasional atau bahkan
internasional, apakah beliau punya waktu untuk menulisnya. Apalagi aturan sekarang, karya ilmiah di
jurnal baru dinilai kalau jurnal memiliki ISSN dan artikel bersama jurnak
tersebut dapat dilacak secara online. Jika
tidak, maka artikel tersebut dianggap sebagai karya ilmiah yang tidak
dipublikasian dan nilai maksimalnya hanya 3.
Akhirnya saya hanya
dapat berdo’an mudah-mudahan jabatan akademik profesor Bapak “X” dan Bapak “Y”
tersebut diperoleh dengan memenuhi kriteria yang berlaku. Sebab jika tidak justru akan menurunkan
kewibawaan beliau. Bayangkan, jika
ternyata persyarata profesor beliau tidak terpenuhi dan pemberian jabatan itu,
orang akan berkomentar “ah jabatan profesornya itu diragukan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar