Jumat, 28 Agustus 2015

BELAJAR BELANJA DENGAN SELF CHECK OUT DI ASDA

 

Setelah berkebun siang hari, sorenya saya dan isteri diajak Kiki belanja ke supermarket Asda.  Lokasinya di luar kota, sehingga mesti menunggu Roy, menantu, pulang kantor dan kemudian berempat pergi bersama-sama.  Setelah makan malam dan istirahat sebentar, sekitar pukul 20.15 kami berangkat dan sekitar 20.35 sampai tujuan.  Agak lama, karena jalanan padat meskipun Roy sudah memilih jalan yang tidak terlalu ramai dan untuk itu harus melingkar.

Super marketnya sangat besar dan niatnya memang sambil jalan-jalan.  Jadi kami menyusuri hampir setiap lorong supermarket.  Saya mendorong kereta di belakang Kiki dan isteri, sedangkan Roy di belakang saya sambil melihat-lihat dan mengambil barang yang diperlukan.  Barang yang dibeli pada umumnya kebutuhan rumah tangga, seperti roti, keju, kertas toilet dan sebagainya.  Yang menarik, Kiki menemukan semacam tempat mandi baby tetapi untuk traveling.  Jadi seperti balon (plembungan) dan jka ditiup bentuknya mirip angsa dengan badannya berupa bak mandi bayi. Segera saja Kiki dan isteri saya sepakat: “ini cocok untuk Freya, anak Lala, yang baru berusia 5 bulan”.

Setelah capai berkeliling dan merasa barang yang diperlukan didapat, kami menuju kasir.  Setelah dekat  Kiki bilang: “pa nggak pengin nyoba self check out?”.  Saya tidak mengerti dan bertanya: “apa itu?”.  Ternyata itu kasir otomatis, pembeli membayar sendiri dengan mesin.  Tentu saya ingin mencoba, karena belum pernah tahu.  Mengisi bensin sendiri sudah pernah, membeli minuman dan tiket kereta dengan mesin juga sudah pernah, tetapi membayar dengan mesin yang baru akan mencoba.

Akhirnya saya mendorong kereta barang menuju bagian itu.  Pertama yang harus kami lalukan adalah mengenalkan (scan) tas untuk membawa barang ke mesin self check out. Sepertinya itu untuk data mengecek saat kami melalui pintu keluar.  Setelah itu tas ditempatkan ditempat yang telah tersedia dan setiap barang discan barcode-nya seperti di Indonesia.  Setelah selesai, Roy memasukkan karti kredit di slot dan menekan tombol-tombol seperti biasanya kita membayar di super market Indonesia. Setelah itu keluar bukti bayar berupa kertas panjang seperti yang biasa kita terima sesudah membayar di super market.

Secara logika dan teknologi, sebenarnya self check out tidak sulit dimengerti.  Yang saya tanyakan kepada Kiki, kan ada peluang orang memasukkan barang tanpa discan dulu.  Atau ketika discan gagal tidak diulang tetapi langsung dimasukkan tas.  Toh tas sudah discan dan dikenali oleh mesin.  Barang juga sudah discan tetapi gagal.  Apalagi jika membeli dua buah barang yang sama, tentu sudah tertulis di bukti pembayaran tetapi untuk 1 buah pada hal yang dimasukkan ke dalam tas 2 buah.

Kata Kiki, di sekitar self check out terdapat banyak kamera yang merekam perilaku orang dan pikiran “nakal” seperti itu tidak ada di orang Edinbrugh.  Saya jadi teringat pengalaman sekian tahun lalu, ketika dua hari naik tram di Jerman tidak membayar karena tidak tahu caranya.  Ternyata harus membeli kartu dan kartu itu discan di pintu masuk.  Saya yang tidak membawa kartu ya masuk saja, tidak ada yang menghalangi.  Ketika saya bertanya kepada orang Jerman, dijawab: “lha kalau kita tidak membayar, dari mana uang untuk membiayai operasional tram?”.  Jadi kesadaran orang Jerman dan Edinbrugh sudah mapan. Kesadaran semacam itu yang perlu ditumbuhkan di tanah air tercinta.

Selesai membayar dan berjalan menuju pintu keluar, saya melihat petugasnya ada yang tua-tua.   Saya bertanya kok ada pegawai yang tua-tua begitu.  Kata Kiki super market Asda buka 24 jam dan banyak pegawai yang part time, misalnya hanya bekerja 4 jam sehari.  Mungkin mereka itu yang ingin tambahan penghasilan dengan kerja sambilan di malam hari.  Jam kerja malam hari lebih mahal, sehingga ada orang yang memilih kerja malam karena gajinya lebih banyak. Jadi mungkin pegawai tua tadi mereka yang kerja parti time untuk nambah penghasilan.  Kasihan juga, ternyata di Edinbrugh juga masih ada orang tua yang terpaksa kerja lembur demi mencukupi kebutuhan hidup.

Pulangnya tidak melalui jalan saat berangkat, tetapi Roy memilih melalui jalan highway agar lebih cepat.  Saya tidak menemukan pintu tol tempat membayar seperti di Indonesia dan juga tidak menemuka gate scane seperti Jepang.  Kata Kiki semua semua sudah dibayar lewat pajak, jadi semua gratis.  Jangankan jalan tol, sekolah sampai perguruan tinggi gratis. Kesehatan semua gratis.  Tetapi pajak sangat tinggi dan progresif.  Makin tinggi gaji makin tinggi prosentase pajak. Bagi yang gajinya besar pajak bisa sampai 50%.  Toh orang tidak mengeluh, karena dengan pajak itu, semua layanan publik jadi baik.

Isteri saya bercerita kalau sekarang di Indonesia ada BPJS.  Dengan ikut BPJS dan membayar 60 ribu sebulan, orang dapat layanan pengobatan gratis bahkan sampai operasi atau cuci darah.  Kata Kiki itu suatu awalan yang baik, tetapi tidak boleh berhenti disitu.  Bagaimana agar yang kaya membantu yang miskin harus dirancang dengan baik.  Kalau BPJS kelas 1 hanya 75 ribu per bulan, bagaimana caranya agar orang yang punya pesawat pribadi dapat membayar pajak lebih besar untuk membantu yang miskin.  Pajak penghasilan progresif perlu dipikirkan, begitu Kiki menanggapi.  Pikiran anak muda yang bergerak di dunia NGO kemanusiaan tentu sangat idealis. Semoga ada kemauan mengarah kesana.

Tidak ada komentar: