Suatu saat Prof Fasich
yang waktu itu masih menjabat Rektor Unair mengatakan kalau pola penggajian di
Indonesia kurang baik. Ketika orang
sudah pensiun dan tentu saja usianya sudah lanjut, penerimaan pensiuan sangat
kecil. Pada hal secara umum pensiunan
sudah menderita penyakit degeneratif karena fungsi organ tubuh tidak dapat
berfungsi maksimal seperti waktu muda.
Teman saya yang
berkebangsaan asing juga heran melihat gaji saya. Bukan dari jumlahnya yang sangat kecil
dibanding mereka, tetapi karena begitu banyak komponennya. Ada gaji pokok, ada tunjangan beras, ada
tunjanan isteri, ada tunjangan anak, ada tunjangan pengganti pajak, ada
tunjangan fungsional, ada tunjangan profesi dan sekarang ada tunjangan guru
besar. Konon kalau di negaranya gaji ya
hanya satu komponen gaji saja.
Repotnya kalau pensiun
semua tunjangan hilang dan pensiunan hanya menerima sekitar 75% dari gaji
pokok. Itulah yang dikatakan oleh Prof Fasich
tidak bagus, karena ketika sudah tua dan sangat mungkin tidak begitu sehat
penerimaan pensiun justru sangat kecil.
Pada hal saat itu, tentu sudah tidak mudah mencari sambilan karena
faktor usia.
Bagaimana dengan di
luar negeri? Saya tidak faham. Namun besan
saya yang berkebangsaat Inggris dan tinggal di Scotlandia keduanya
pensiunan. Yang laki-laki pensiunan
perawat psikiatri dan yang perempuan pensiuan perawat bedah. Sepertinya mereka hidup berkecukupan. Mereka tidak perlu bekerja dalam arti mencari
uang setelah pensiun. Memang mereka
masih bekerja paruh waktu dan itupun sifatnya volunter dan tidak menerima gaji.
Apa uang pensiunnya
cukup? Saya tidak tahu pasti, tetapi
yang jelas mereka hidup dengan baik dan sering berlibur ke luar negeri. Kalau ke Indonesia menginapnya di hotel
berbintang 4 atau bintang 5, bahkan sempat rekreasi ke Bali atau daeah
lain. Jadi saya dapat menduga uang
pensiunnya cukup atau mereka punya tabungan yang dikumpulkan ketika belum
pensiun.
Akhir-akhir ini di
instasi pemerintah dimunculkan istilah remunerasi yang saya tafsirkan pemberian
tambahan gaji berdasarkan bobot pekerjaan.
Jadi setiap jenis pekerjaan akan dihitung nilai bobotnya dan berdasarkan
bobot itu yang bersangkutan akan mendapatkan tambahan tunjangan
remunerasi. Namun sekali lagi, yang
diterima adalah tunjangan yang otomatis akan hilang saat pensiun. Jadi remunerasi meningkatkan penerimaan gaji
tetapi tidak akan menambah penerimaan pensiun.
Job value dihitung
berdasarkan banyak variabel, tetapi intinya adalah seberapa besar tanggung
jawab yang diemban, seberapa besar kontribusi jabatan/pekerjaan itu terhadap
performance instansinya dan seberapa berat tugas yang diemban. Variabel-variabel itu diberi skor sehingga
setiap jabatan akan memiliki job score.
Nah berdasarkan job score itu, setiap jabatan dikategorikan menjadi
beberapa grade (jenjang). Di Indonesia ditentukan ada 17 grade, mulai grade 1
sampai grade 17. Jabatan setingkat
dirjen adalah yang tertinggi sehingga berpeluang masuk grade 17, karena meneri
bukankah pegawai biasa. Namun tidak
otomatis, karena bisa saja sama-saa dirjen tetapi job valuenya tidak sama,
karena memang bobot ketika variabel tadi tidak sama.
Untuk pegawai negeri
biasa yang arahnya ke struktural relatif lebih mudah menghitung job scorenya. Namun untuk pegawai dengan jabatan fungsional
tidak sederhana. Apalagi jika harus
dibandingkan dengan pegawai biasa. Dosen
dan penelitian contohnya. Tidak mudah
membandingkan skot pekerjaan dosen dan peneliti dengan pekerjaan
administrasi. Contoh paling ekstrem
adalah peneliti atau dosen Matematika.
Penelitiannya tidak memerlukan banya alat dan ketika bekerja lebih
banyak duduk dan merenung, tetapi itu pekerjaan yang sangat sulit dan bahkan
tidak banyak yang mampu mengerjakan. Nah
tentu tidak mudah membandingkan job score dosen/peneliti seperti itu dengan
misalnya tukang las yang jelas produknya dan keluar keringat saat bekerja.
Karena itu sering
terjadi ketidaksepahaman ketika penyusuna job score antara beberapa orang
dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda.
Memang ada sandaran yang dapat digunakan, yaitu jenjang karier. Jenjang karier tertinggi peneliti adalah APU
(ahli peneliti utama) dan jenjang karier tertinggi dosen adalah profesor. Oleh karena
itu APU dan Profesor dapat mencapai golongan IVD dan IVE. Itu setara dengan eselon IA dan IB yang
diduduki oleh pejabat setingat dirjen.
Namun kembali
dipertanyakan, apakah tanggung jawab dan kontribusi APU dan Profesor setingkat
dengan dirjen. Nah sekali lagi disini
akan timbul perbedaan tafsir. Kontribusi
APU dan Profesor tidak tangible seperti kontribusi dirjen. Demikian pula tanggung jawabnya. Mengapa, karena kontribusi dan tanggung jawab
APU dan Profesor harus dilihat dalam kerangka jangka panjang, yaitu penemuan
ilmiah dan penyiapan SDM masa depan.
Nah, itu yang tidak mudah difahami oleh mereka yang tidak mendalami
kedua profesi itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar