Kali ini saya ke Eropa
dengan naik Turkish Airlines dan tidak seperti biasanya naik Emirates atau
Garuda. Alasannya semata-mata mencari
yang murah tiketnya. Kalau naik Garuda alasan
utamanya karena BUMN sehingga agak mahal tetapi biar ikut menghidupkan BUMN
kita. Kalau naik Emirates alasan
pokoknya sedikit lebih murah tetapi pesawat dan layanannya bagus. Nah kali ini bersama isteri, sehingga harus
membayar sendiri, dan apalagi di Eropa 2 minggu. Jadi demi pengiritan mencari yang paling
murah dan dapatnya Turkish Airlines.
Sebenarnya saya sudah
pernah naik Turkish Arilines, yaitu saat umroh bersama rombongan Pak Agus
Mustofa tahun 2013 dan mampir ke Turki.
Jadi saya tahu kalau pesawatnya lumayan baik, walaupun tidak sebaik
Emirates. Oleh karena itu ketika harganya
jauh di bawah Emirates saya memutuskan naik Turkish. Ngirit sekaligus mencari pengalaman lain.
Seperti lazimnya
penerbangan internasional, airlines akan selalu mampir di bandara negara
asalnya. Jadi denga Turkish, Jakarta-Edinburgh
transit di Istambul. Ketika sudah
mendapatkan tiket online dan saya print, saya tahu kalau penerbangan
Jakarta-Istambul itu 12 jam. Berangkat
pukul 20.35 WIB dan sampai Istambul pukul 04.45 waktu setempat. Pada hal waktu Istambul 2 jam di belakang
WIB.
Saya dan isteri ingin
tahu jam berapa waktu sholat subuh di Istambul dan bertanya kepada
pramugari. Kami yakin pramugarinya orang
Turki yang mestinya beragama Islam sehingga tahu waktu sholat subuh. Ternyata tidak tahu. Tentu kami tidak berani bertanya lebih jauh,
takut kalau menyinggung perasaannya.
Mungkin saja pramugari yang kami tanya itu non muslin atau muslim tetapi
tidak sholat sehingga tidak tahu kapan waktu sholat subuh.
Saya mencari informasi
perjalanan di TV hiburan di kursi pesawat.
Tentu tidak ada jadwal sholat, tetapi saya menemukan peta belahan dunia
yang ada tanda bagian siang dan bagian malam.
Saya lihat ketika menjelang sampai di Istambul, peta menunjukkan
Istambul masih malam, sehingga kami yakin dapat sholat di bandara Atarturk
Istambul setelah landing. Toh kami hanya
transit sehingga tidak perlu ngurus imigrasi, sehingga hanya perlu melewati
security check saja.
Begitu selesai
security check dan masuk ke lokasi internasional, saya melihat petunjuk bertuliskan
masjid. Ternyata istilah masjid juga digunakan di Turki. Kami ikuti saja petunjuk itu dan ternyata lokasinya
di lantai bawah. Masjidnya (sebenarnya kalau
di Indonesia disebut mushola) dipisah antara untuk laki-laki dan perempuan,
sehingga saya dan isteri sholat di tempat terpisah.
Ketika sudah melepas
sepatu dan masuk masjid saya tidak menemukan tempat wudlu. Tengak-tengok semua orang pada sholat. Akhirnya saya melongok keluar pintu dan
menemukan tempat wudlu di depan masjid.
Tempatnya bagus dan mirip di Saudi Arabia, disediakan tempat duduk,
sehingga orang dapat wudlu dengan duduk. Airnya hangat, tempatnya bersih dan
ada kertas untuk mengeringkan muka, tangan dan kaki selesai wudlu. Hanya saja
tidak ada sandal, sehingga harus mengenakan sepatu selesai wudlu. Untung saja ada kertas untuk mengeringkan
kaki, sehingga saat mengenakan sepatu, kaki dalam keadaan kering.
Begitu masuk masjid
lagi ada rombongan sholat subuh yang sedang berlangung, sehingga saya
memutuskan untuk bergabung berjamaah.
Suara imamnya pelan dan sangat merdu. Sayang saya sudah tertinggal satu
rakaat, sehingga hanya kebagian satu rakaat.
Saya tidak tahu orang mana imamnya, yang saya tahu tidak membaca do’a
qunut. Tentu saya harus menambah satu
rakaat setelah imam salam, biar sholat subuh saya tetap 2 rakaat.
Selesai shalat saya
memperhatikan kiri kanan sambil wiritan.
Hampir semua jamaah belum beranjak, ketika saya selesai sholat. Semua duduk tafakur wiritan. Jamaah yang duduknya pas di sebelah saya
tampak sangat khusyuk do’anya. Dalam
hati saya iri dan ingin dapat berdo’a sangat khusyuk seperti dia. Dalam hati saya bertanya-tanya, katanya
masyarakat Turki itu sekuler. Pramugari
yang kami tanya juga tidak tahu waktu sholat subuh. Tetapi di masjid saya makmum kepada imam yang
sangat bagus bacaan sholatnya dan imam maupun jamaah tampak wiritan dan berdo’a
sangat khusyuk. Sayapun ikut berdo’a dan bahkan sempat baca surat Yasin. Toh pesawat saya masih lama berangkat.
Apakah yang menjadi
imam maupun jamaah tadi bukan orang Turki melainkan bangsa lain yang sedang
dalam perjalanan internasional? Saya
tidak punya kemampuan membedakan wajah orang.
Namun pengamatan saya, wajah imamnya ada nuansa Timur Tengah. Jamaahnya beraneka wajah. Ada yang mirip orang-orang Pakistan, ada yang
mirip orang Barat dan ada beberapa wajah Asia Timur. Dugaan saya ada juga orang Turki yang
biasanya berkulit putih, berambut hitam dan ada nuansa Arabnya.
Dari jamaah banyak
yang memakai kaos kaki. Saya tidak tahu
apakah setelah selesai wudlu memakai kaos kaki lagi atau sudah wudlu di tempat
lain, sehingga begitu masuk melepas sepatu dan
masuk masjid langsung sholat. Ketika pertama saya masuk masjid ada orang
yang begitu melepas sepatu langsung masuk ruangan utama masjid dengan tetap
memakai kaos kaki. Jika demikian berarti bukan orang yang dalam perjalanan jauh
dan sangat mungkin orang yang tinggal dan bekerja di Istambul.
Bagusnya bacaan imam
dan kusyuknya iman serta jamaah saat berdo’a terus berkecamuk di benak saat
saya menunggu isteri selesai sholat. Suasana dalam masjid bandara Ataturk
sungguh sangat mendukung orang dapat sholat dan berdo’a dengan khusyuk. Mudah-mudahan saya dapat meniru, memperbaiki
bacaan Al Qur’an dan berdo’a dengan khusyuk.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar