Sore tanggal 16
Agustus 2015, kami warga RT 06 RW 02 Tenggilis Mejoyo melaksanakan malam
tirakatan sekaligus halal bil halal.
Acara ini sudah menjadi tradisi di RT kami, mungkin juga di RT-RT yang
lain. Yang mungkin agak beda, kali ini
kami mengadakan malam tirakatan di Hotel Luminor lantai 5. Apa nggak hebat, acara RT kok ho hotel?
Ketika selesai
membacakan sambutan Ibu Walikota, Pak RT mengucapkan terima kasih kepada Pak
Yulianto, GM Hotel Luminor yang memberian bantuan tempat dengan harga khusus
untuk acara tirakatan. Pak RT juga
menyapa, warga baru dari Media Indonesia dan Pak Hermawan pengusaha alat-alat
kedokteran yang memang tinggal di RT kami tetapi baru kali ini datang pada
malam tirakatan. Mungkin karena
tempatnya di hotel yang kebetulan bersebelahan dengan rumah beliau.
Sambil melihat
sekeliling saya baru menyadari betapa RT kami sangat kaya sekarang. Ketika tahun 1983 saya pindah ke Tenggilis Utara
I/65 ini, kampung kami sangat terpencil.
Waktu itu namanya masih Prapen Blok L no. 15. Jalan raya Jemursari belum ada dan masih
merupakan jalan setapak yang mengapit sungai irigasi yang mengalir dari Jemur
Ngawinan ke persawahan kampung kami.
Bahkan ketika anak sulung saya kepengin bakso dan saya naik motor
memanggil penjuah bakso yang ada di sekitar Prapen Indah, pak penjual bakso
berkomentar “ngriko onten griyo tah?” (Disana ada rumah kah?).
Komentar itu wajar,
karena kampung kami berada di bekas persawahan dan rumahnya baru sedikit.
Apalagi berada di depat makan yang sangat rimbun dengan pohon kamboja. Ketika anak saya kedua lahir dan mulai
bermain, seringkali main di sawah depan rumah dan mendapat kepiting. Kalau akan ke kampus, saya harus menyusuri
jalan kecil yan berliku-liku menunju daerah Bendul Merisi. Di perjalanan banyak warga yang memelihara
sapi perah.
Nah, sekarang RT kami
yang hanya terdiri dari setengah Jalan Tenggilis Utara Raya, karena setengahnya
ikut RT lain, Jl, Tenggilis Utara I, Jl Tneggilis Utara IV dan sebagian kecil
Jl Jemursari, kami punya dua SD yang sekarang di merger menjadi satu, punya
masjid Al Aziz, punya tempat jual beli mobil bekas Mobil 88, punya persewaan
mobil Gra Track, punya 3 rumah makan, Bon Ami, Pujasera dan warung Bu Kris,
punya pom bensin di ujung jl Tenggilis Utara Raya, punya 2 hotel, Hotel Luminor
dan Hotel De Season, punya apotik, Ebel, punya travel plus biro haji/umroh
punya Tempat Pengolahan Sampah, punya lapangan futsal dan punya makam Tenggilis
Mejoyo. Belum di dalam RT kami banyak
kantor.
Betapa perubahan
begitu cepat terjadi. Dari kampung di
persawahan menjadi kampung dengan beraneka ragam potensi. Ketika awal kampung kami dibangun oleh PT Bintang
Diponggo dan sebagian kecil oleh YKP. Bagian
yang dibangun PT Bintang Diponggo, pada awalnya kerjasama dengan IKIP Surabaya,
sehingga sebagian besar penghuni adalah para dosen IKIP Surabaya. Namun bagian
depan yang dulu berada di pinggir sungai irigasi tidak dibangun sehingga cukup
lama tetap menjadi sawah. Bagian itu
yang setelah Jl Jemursari dibangun sekarang menjadi bagian terdepan dan
disitulah berdiri Hotel Luminor, Gra Track, Mobil 88 dan beberapa rumah makan. Namun di Jl Tenggilis Utara Raya juga muncul
pomp bensin, Hotel De Season, Warung Bu Kris, Apotik Ebel dan Travel Biro.
Bahkan sekarang ada sebuah rumah yang sedang di renovasi dan tampaknya akan
menjadi kantor atau toko.
Dengan menjadi sangat
kaya itu, penghuni RT kami juga menjadi sangat beragam. Jika pada awalnya sebagian besar para dosen
IKIP Surabaya (sekarang Unesa), kini sudah banyak yang beralih tangan karena
dijual. Biasanya pembeli baru bukan PNS
seperti pemilik lama, tetapi para profesional di kalangan swasta. Ada juga yang diubah menjadi kantor, misalnya
Spectra, distributor air mineral dan agen rokok. Oleh karena itu, saat acara tirakatan yang
hadir juga sangat beragam. Ada PNS
seperti saya dan beberapa teman dosen Unesa, ada pengusaha seperti Pak Hermawan
dan Pak Cipto, ada profesional di perusahaan swasta, seperti Pak RT dan Pak
Murhaniono, ada takmis masjid Al Azis, ada penjaga sekolah, ada penjaga
kantor/pomp bensin, ada GM hotel dan sebagainya. Namun sangat rukun. Heterogen tetapi kompak.
Ketika acara mau
dimulai, Pak RT mendekat saya yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Prof
Aminudin Kasdi. Pak RT meminta Pak Amien
untuk membaca do’a dan saya untuk memberi sambutan atas nama sesepuh warga. Pak
Amien memang tepat untuk membaca do’a, karena satu-satunya hadirin yang memakai
kopiah. Tetapi saya tidak tahu kok
diminta. Mungkin karena rambutnya putih
dan memakai kaca mata. Kan biasanya
orangtua (sesepuh) itu rambutnya sudah putih dan sudah harus memakai kacamata.
Karena tidak tahu apa
yang harus saya sampaikan, akhirnya saya bercerita tentang artikel yang
membedakan antara orang Indonesia dan orang yang tinggal di Indonesia. Orang yang tinggal di Indonsia, bisa saja
bukan orang Indonesia (misalnya warganegara Australia) tetapi karena suatu hal
bertempat tinggal di wilayah Indonesia.
Mereka tidak terikat dan tidak merasa harus berbuat sesuatu atau
berkontribusi terhadap kemajuan negara dan bangsa Indonesia. Namun orang Indonesia seharus merasa
berkuwajiban untuk berpartisipasi terhadap kemajuan bangsanya. Mudah-mudahan, berbagai profesi dan
kantor/hotel dsb yang berada di RT 06 RW 02 Tenggilis Mejoyo merasa sebagai
warga dan bukan orang lain yang hanya kebetulan tinggal di RT kami. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar