Ketika sudah selesai
sholat saya dan isteri mencari pengganjal perut. Lapar sekali sih tidak, karena sebelum
landing diberi sarapan walaupun hanya scramble telor plus sepotong roti. Tetapi pesawat ke Edinbrugh baru akan take
off pukul 8.25 waktu setempat dan itu berarti sudah pukul 12.25 WIB. Jadi kalau harus menunggu makan siang saat
diberi di pesawat, kami baru akan makan siang pukul 14an WIB. Oleh karena itu kami memutuskan untuk mencari
makan sekedar mengisi perut agar tahan menunggu jatah makan siang di pesawat.
Kami masuk ke area
food court dan setelah keliling-keliling kami memutuskan memberi pitza. Sambil makan pitza kami memperhatian
orang-orang sekeiling yang tampak sekali multi ras. Wajah Timur Tengah banyak, wajah Barat
banyak, wajah Asia banyak, wajah Afrika juga banyak. Wajah yang tampak
“campuran” juga banyak. Food court yang
murah meriah dengan banyak pilihan makanan ternyata dipenuhi orang-orang dengan
berbagai asal.
Setelah selesai makan
pitza, kami mencari tempat duduk di gate 302 tempat pesawar Turkish jurusan
Edinbrugh akan take off pukul 08.30 waktu setempat. Sambil duduk menunggu boarding saya
melanjutkan pengamatan terhadap orang yang lalu lalang. Semakin tampak multi ras-nya. Meskipun tidak bergitu jelas, saya juga
mendengar orang-orang berbicara campuran bahasa Indonesia dengan bahasa
China. Dugaan saya mereka itu, saudara
kita orang Indonesia keturunan Tionghoa.
Ternyata betul. Saat landing di Edinbrugh mereka sempat menyapa anak
saya dan bercerita kalau mengantar 2 anaknya untuk kuliah di Edinbrugh. Anak saya berguman, tipikal orang Indonesia,
yang akan sekolaj 2 orang tetapi yang mengantar serombongan. Mungkin sambil berwisata.
Walaupun sudah sering
ke luar negeri, saya masih kikuk kalau melihat situasi orang lalu lalang dengan
multi ras . Dengan isteri saya
rasan-rasan, kami ini (khususnya saya) lahir di kampung, tidak sempat sekolah
ke luar negeri, tetapi alhamdulillah mendapat kesempatan sering ke luar negeri
untuk berbagai urusan. Walaupun bahasa
Inggrisnya pasaran tetapi dapat berkomunikasi secara wajar dengan orang
asing. Isteri saya lebih beruntung,
karena kuliahnya di jurusan bahasa Inggris bahkan sempat ikut program
sandwich-like di Monash selama 4 bulan.
Saya berguman kepada
isteri, mungkin Kiki dan Reza (anak sulung dan anak nomor 2) mungkin tidak
kikuk menghadapi situasi seperti ini karena ketika kuliah di luar negeri sudah
terbiasa berbaur dengan mahasiswa dari berbagai negara. Apalagi mereka kuliah di kelas reguler, bukan
kelas khusus rombongan dari Indonesia. Jadi bergaul dengan orang multi ras
sudah hal biasa bagi mereka.
Mudah-mudahan generasi berikutnya lebih dari itu, menuju generasi
global.
Jika per 31 Desember
2015 berlaku Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community), dan dapat
diduga akan segera disusul hal serupa dengan cakupan lebih luas dan akhirnya
akan terjadi apa yang oleh Kenichi Ohmae disebut dengan boarderless wolrd
(dunia tanpa batas). Toh sekarang
tanda-tanda ke arah itu sudah tampak jelas.
Perusahaan terbuka kini sudah dimiliki orang dari berbagai negara. Bank Niaga kini sudah menjadi bank SIMB Niaga
yang konon pemegang saham mayoritasnya dari Malaysia. Air mineral Aqua sekarang dimiliki oleh
Danone, perusahaan dari Swiss. Sebaliknya.
Konon Arifin Panigoro punya ladang minyak di berbagai negara. Prabowo punya perusahaan di berbagai
negara. Waskita Karya dikenal sebagai
kontraktor handal di Timur Tengah. Saya
dengan mudah mendapatkan indomie di toko-toko Eropa.
Jika saat ini yang
lalu lalang adalah barang dan saham, saya yakin tidak lama lagi yang lalu lalang
juga orang. Kalau mengingat di hotel
Century Senayan Jakarta, kita akan selalu berjumpa dengan banyak orang Jepang
dan China. Kalau kita pergi ke mall di
Jakarta kita akan banyak berjumpa dengan orang asing. Calon menantu saya bekerja di perusahaan Taiwan
yang berkantor di gedung BRI jalan Basuki Rahmad Surabaya. Konon bos dan karyawan level atas banyak
orang Taiwan.
Oleh karena itu, sudah
saatnya kita menyiapkan generasi global untuk menantisipasi dunia tanpa
batas. Kalangan pendidikan harus secara
sungguh-sungguh memikirkan pola pendidikannya.
Hong Kong sudah mulai menerapkan pola itu sekitar 10 tahun lalu. Mereka mengatakan pendidikannya bukan sekedar
menjadi warga Hong Kong atau warga negara China, tetapi menyiapkan generasi
baru sebagai warga dunia. Salah satu
cara yang ditempuh adalah leaning across culture melalui international
exchange.
2 komentar:
assalamualaikum prof, mohon ijin mengcopy sebagian tulisan prof untuk mengisnpirasi saya dan teman-teman guru
semoga selalu sehat prof, kita selalu berguru
Posting Komentar