Tanggal 9 Agustus pagi
saya punya acara bertumpuk. Sepulang
dari Jakarta sudah sekitar pukul 19an, isteri saya menyodorkan beberapa
surat. Salah satu diantaranya Hala
Bilhalal dengan keluarga dari almarhum bapak mertua. Namanya IKKS dan dilaksanakan di Dukuh Kupang
X. Tahun lalu saya dan isteri sudah
tidak dapat datang, sehingga merasa harus datang. Apalagi saya dan isteri satu-satunya anak almarhum
bapak mertua yang tinggal di Surabaya, sehingga kalau tidak datang berarti
tidak ada yang mewakili beliau.
Pada hal saya sudah
janji untuk bertemu dengan Pak Haryono, yang saya duga ada hubungan kekerabatan
tetapi belum pernah bertemu. Tahunya
melalui cerita Bu Lutfi, bahwa mertua beliau punya saudara bernama Haryono
pensiunan AL dan konon kenal dengan saya.
Kalau saya lupa atau merasa belum kenal, beliau minta disebut nama Mbah
Rasmani. Saya langsung ingat, karena
Mbah Rasmani selalu masih kerabat juga guru SD saya.
Saya juga masih ada
rencana ke Pandaaan untuk suatu urusan yang tidak dapat saya tunda. Akhirnya saya minta anak saya laki-laki yang
kebetulan sedang ke Malang untuk singgah di Pandaan menyelesaian urusan saya,
sehingga saya sendiri tinggal mengatur acara ke Hala Bilhalal IKKS dan bertemu
Pak Haryono di rumah ibu mertua Bu Lutfi.
Nah, karena acara IKKS dimulai pukul 9.30 sementara janji saya bertemu
Pak Haryono pukul 10.00, maka saya menilpun Bu Lutfi mohon maaf baru bisa
datang jam 11an.
Saya dan isteri tiba
di Hal Bilhalal IKKS sekitar pukul 9.45, karena harus berputar-putar mencari
jalan akibat jalan Dukuh Kupang Raya ditutup untuk kegiatan masyarakat
setempat. Pukul 10.45 terpaksa pamitan
dan oleh tuan rumah dipaksa minum es buah dulu.
Selesai minum segera meluncur dan betul Pak Haryono sudah menunggu. Bahkan ada dua adik beliau, Pak Wasis dan Pak
Wikan ikut hadir. Juga ada Pak Sumardi
yang ternyata teman saya di SMP dan STM dulu.
Jadilah semacam reuni
kecil. Memang saya tidak pernah ketemu
Pak Haryono ketika masa anak-anak, karena usia sekitar 6 tahun di atas saya dan
sejak SD sudah meninggalkan kampung saya untuk tinggal di Ngawi. Ternyata beliau itu masih kerabat dengan Ibu
Kusnadi, mertua Bu Lutfi. Jadilah
gadeng-menggandeng yang lucu. Pak Haryono
kerabat saya dan belau juga kerabat Mas Ayik, suami Bu Lutfi.
Sekitar pukul 13, setelah
makan siang kami pamitan. Sebenarnya
daerah itu tidak asing bagi saya, karena dekat rumah Pak Karmin, teman satu
jurusan di Unesa. Namun sudah lama tidak
pernah kesitu dan situasi sudah jauh berubah.
Oleh karena itu saya agak kikuk mencari jalan pulang. Ketika keluar dari kompleks dan berjalan
menyusuri jalan Karah tiba-tiba terdengar suara sirine mobil polisi di belakang
saya. Saya pikir, kalau Pak Polisi mau
nyalip, sehingga saya minggir dan berhenti.
Tetapi saya lihat dari kaca spion mobil polisi itu juga berhenti. Jadi saya menduga tidak mau menyalip.
Saya melaju lagi
pelan-pelan, tetapi isteri saya memberi tahu kalau sepertinya Pak Polisi perlu
saya, buktinya turun dan jalan menuju kami.
Saya meminggirkan mobil dan masuk ke halaman orang karena jalan
sempit. Saya turun dan betul Pak Polisi
mendekat dan bertanya, “apa saya tidak tahu ada rambu jalan satu arah”. “Bapak mau kemana?”.
Saya agak bengong dan
menjawab “saya mau pulang, rumah saya tenggilis”. Saya ganti bertanya “jalan mana yang satu
arah?”. Pak Polisi menjelaskan yang satu
arah itu diantara dua jembatan rolak.
Saya bertanya lagi, “terus kalau dari Karah akan ke Ketintang lewat mana”. Dijawab, “belok ke rolak dulu ke jalan
Gunungsari terus balik lagi belok ke rolak sebelahnya”. Saya manggut-manggut karena bingung. Dalam hati saya bertanya, kasihan sekali
orang Jambangan yang akan ke Ketintang, harus mutar ke jalan Gunungsari yang
sering macet.
Dua Polisi yang masih
muda itu seperti ikut bingung melihat saya yang tampak bingung. Ketika ditanya surat-surat lengkap, saya
jawab lengkap pak. Saya ini guru, masak
tidak taat aturan. Jadi tadi saya
benar-benar tidak melihat rambu. Saya
berikan STNK dan SIM. Pak Polisi
bertanya, mengajar dimana dan saya jawab saya mengajar di Unesa. Sepertinya beliau faham kalau saya melanggar
kaena tidak tahu, sehingga sambil menyerahkan STNK dan SIM berkata. “jalan itu
searah ya pak, kalau lain kali lewat jangan melanggar”.
Sambil menyetir pulang
saya berpikir, ternyata Pak Polisi tadi baik hati. Mungkin melihat yang ditangkap orang tua,
rambutnya sudah memutih dan guru lagi.
Mudah-mudahan beliau memang polisi baik hati dan bukan karena kasihan
tidak menilang saya. Mudah-mudahan
beliau memang memahami saya tidak sengaja melanggar, sehingga layak dimaafkan
dan bukan karena alasan lain. Terima
kasih Pak Polisi muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar