Dua minggu ini
kegiatan saya sungguh padat tetapi menyenangkan. Diawali dengan mengisi acara diskusi tentang
Manajemen-Kepemimpinan Sekolah dengan para Kepala SD di Karawaci dan diikuti
sekitar 150 Kepala SD dari berbagai daerah di Indonesia. Setelah itu harus mengikuti workshop di
Yogyakarta selama 2 hari untuk membahas Pendidikan Profesi Guru dan Pembinaan
Keprofesionalan Guru Berkelanjutan. Kembali ke Jakarta untuk mengisi diskusi Manajemen-Kepemmponan
Sekolah tahap kedua. Setelah itu pulang
ke Surabaya untuk menguji tesis S2 dan ikut upacara 17 Agustus di kampus. Besuknya harus ke Jakarta untuk diskusi
dengan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan tentang Tata Kelola Guru,
dilanjutkan mendampingi tim USAID Prioritas bertemu dengan Direktur
Pembelajaran Kemristek Dikti untuk berdiskusi tentang kemungkinan mensinergikan
program keduanya. Besuknya harus ke
Makasar untuk mengisi acara seminar di UNM disambung denga memberi kuliah umum
di Universitas Muhammadiyah Makasar.
Pulang ke Surabaya untuk menguji tesis S2 dan sorenya mengisi acara MKKS
SMP Surabaya Selatan di Trawas. Besuknya pag-pagi harus ke Jakarta karena ada
acara di Bintaro dan terus ke bandara menunggu isteri untuk bersama-sama ke
Edinbrugh-Scotland untuk menengok anak dan nanti dilanjutkan ke Bremen
University-Jerman untuk presentasi makalah di TVET Internasional Conference.
Ketika sudah dalam
pesawat dari Jakarta menuju Edinbrugh saya merasa terkena sariawan. Bagi saya sariawan itu bukan karena
kekurangan vitamin C seperti difahami banyak orang tetapi sinyal kalau overload
pekerjaan. Jadi kalau muncul sariawan
saya hatus menurunkan volumen kegiatan.
Biasanya sedang mengerjakan tugas-tugas yang terkena deadline sehingga
mau-mau tidak mau dikerjakan walau capai atau ada kegiatan yang menyenangkan
sehingga capai tidak terasa. Sepertinya tipe
kedua yang saat ini saya alami.
Untunglah dalam seminggu ke depan, saya dengan isteri akan “belibur” di
rumah anak di Edinbrugh yang saya yakin tidak capai.
Mengapa serangkaian
kegiatan tersebut menyengangkan? Itulah
yang saya bagi bersama pembaca. Saya
selalu senang jika bertemu dan diminta berbagi pengalaman dengan guru atau
kepala SD. Menurut saya pendidikan SD
itu pondasi pendidikan. Ibarat membangun
rumah, pondasi harus kokoh. Jika pondasi
tidak kokoh bangunan yang bagus di atasnya akan rusak karena pondasi yang turun
dan sebagainya. Pondasi rumah memang
tidak kelihatan, tetapi menentukan.
Seperti itulah pendidikan di SD.
Pembelajaran di SD memang tampak sederhana materinya, tetapi itu
dasar-dasar yang sangat penting. Jadi
sangat tidak benar jika ada orang mengatakan menjadi guru SD itu mudah dan
bahkan setiap orang dapat mengajar di SD karena materinya sederhana.
Itulah sebabnya saya
sangat bersemangat untuk berdiskusi dengan teman-teman guru dan kepala SD. Menurut saya, jika pendidikan di SD bagus,
proses pendidikan di SMP dan SLTA menjadi mudah. Sebaliknya kalau pendidikan di SD tidak
bagus, proses pendidikan di SMP dan SLTA akan sulit. Oleh karena itu menurut saya jika anggaran
terbatas yang harus dibenahi lebih dahulu adalah pendidikan di SD.
Bukankah yang bertemu
di Karawaci Tangerang itu kepala sekolah?
Itu justru sangat penting, karena kepala sekolah berperan sangat
penting. Kepala sekolah sangat dominan
pengaruhnya kepada guru dan kemajuan sekolah.
Itulah sebabnya pergantian kepala sekolah seringkali diikuti perubahan
yang signifikan di sekolahnya. Berbagai
penelitian juga membuktikan bahwa sekitar sepertiga kemajuan sekolah ditentukan
oleh kepala sekolah.
Acara di UNM juga
sangat penting karena saya diminta berbagi pengalaman tentang Pendidikan
Karakter dengan para dosen, mahasiswa pascasarjana dan para guru. Karakter adalah bagian penting dalam
pendidikan tetapi selama ini agak terlupakan.
Ki Hajar Dewantara mengatakan pendidikan itu daya upaya menumbuhkan
karakter atau budi pekerti, intelektual dan tubuh anak-anak. Mirip dengan itu, Bloom menyebutkan
pembelajaran menyangkut 3 domain, yaitu afektif, kognitif dan psikomotor. Sayang
sekali, selama ini karakter atau afektif itu kurang mendapat perhatian. Jadi dapat dimengerti kalau sekarang banyak
orang pandai tetapi karakternya kurang baik.
Nah, pengembangkan karakter yang palig efektif ketika di SD atau dengan
kata lain pendidikan di SD sebaiknya memberikan penekanan pada karakter.
Ketika di Unismuh
(Universitas Muhammadiyah Makasar) saya mengajak mahasiswa FKIP yang akan
melaksanakan PPL untuk memikirkan dampak teknologi digital terhadap
pendidikan. Saat ini hampir setiap orang
menggunakan HP. Siswa SD sudah
menggunakan HP. Penjual bakso keliling,
penjual sayur keliling sudah menggunakan HP dan kita daat memanggil mereka
melalui HP. Dalam buku The Digital Age,
separuh penduduk bumi ini sudah menggunakan internet. Sekarang HP dan komputer semakin
canggih. Dengan komputer, laptop dan
bahkan HP, orang dapat mencari berbagai informasi. Nah jika sudah seperti itu, pola pendidikan
seperti apa yang paling cocok? Itulah
yang perlu kita pikirkan.
Saya mengajak
mahasiswa FKIP Unismuh memikirkan, kalau segala informasi tersedia di internet,
jangan-jangan peran guru sudah dapat digantikan oleh Mbah Google. Tentu itu hanya kelakar, tetapi kita harus
menyiapkan diri kalau Google mampu menyediakan semua informasi yan kita
butuhkan, terus tugas guru di sekolah apa?
Semoga pembaca itu merenungkannya.
Di acara MKKS SMP
Surabaya Selatan saya mengajak diskusi bagaimana memimpin sekolah. Saya berbagai pengalaman ketika menjadi
rektor Unesa. Rektor dan kepala sekolah
sering memiliki dosen/guru yang bidang keahliannya berbeda dan bahkan lebih
senior. Oleh karena itu kepemimpina
komando tidak tepat diterapkan.
Seringkali dosen/guru tidak merasa anak buah rektor/kepala sekolah, karena
tugas pokoknya mengajar untuk bidang studi yang sangat mungki rektor/kepala
sekolah tidak faham. Untuk itu saya
menawarkan model kepemipinan visoner, inspiratif dan transfomatif yang dikemas
menjadi satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar