Pada hari kedua di
Edinbrugh saya dan isteri diajak oleh Kiki, anak sulung saya untuk jalan-jalan.
Kebetulan cuaca sangat baik, sehingga
rugi kalau hanya di rumah. Rumah anak saya sekitar 15 menit dari pusat
kota. Menantu tidak bisa cuti, sehingga
jam 07.00 sudah berangkat ke kantor dan tidak ikut jalan-jalan. Setelah sarapan pagi, dengan “nasi goreng
ayah” kami bertiga berangkat.
Dari kompleks
perumahan, kami menyeberang jembatan kayu untuk melintasi rel kereta api menuju
jalan raya. Kami naik bus menuju
kota. Karena memang tujuannya
jalan-jalan dan belum ada keputusan kemana kami akan pergi, kami membeli tiket
untuk satu hari seharga 4 pound per orang.
Kami turun di pusat kota dan melihat-lihat orang lalu lalang yang sangat
banyak. Juga banyak anak-anak muda yang
menawari ini dan itu, khususnya tiket show mereka selama festival.
Setelah cukup melihat
sana-sini, kami bertiga masuk ke toko buku Waterstones. Saya sudah beberapa kali ke toko buku itu dan
biasanya selalu menemukan buku yang menarik.
Harganya juga terjangkau. Begitu
masuk dan melihat di rak new arrival, saya menemukan dua buku yang sangat
menarik, yaitu The Organized Mind tulisan Daniel Levitin dan How not to be
Wrong tulisan Jordan Ellenberg. Saya
ambil dua buku itu dan setelah keliling menemukan lagi buku kecil berjudul The
Decision Book tulisan Mikael Krogerus dan Roman Tshappeler. Jadi saya membeli tiga buku yang sangat
menarik.
Dari toko buku
Waterstones kami jalan ke taman kota.
Disitu saya melihat sesuatu yang sangat menarik, yaitu “orang yang
mengawang dengan hanya berpegangan pada sebuah tongkat.” Banyak orang yang menonton sambil lewat dan
memberi sumbangan koin pada tempat yang disediakan. Jadi sebenarnya itu orang ngamen dengan
pertujukkan tertentu dan mengharapkan orang memberikan uang recehan.
Secara teknologi saya
memahami, karena pastilah yang tampak seperti tongkat itu batang besik yang
kokoh dan di balik baju karung goni sluwir-sluwir itu akan besi yang menopang
dirinya. Namun tetap saja , orang harus
mampu menjaga keseimbangan agar ketika bergerak-gerak, tidak menggoyang batang
besi yang menopangnya. Anak saya
mengatakan pernah melihat ketika pengamen seperti itu menata
perlengkapannya. Jadi dugaan saya benar.
Ketika arloji
menunjukkan hampir pukul 12 dan perut terasa lapar, kami bertiga mencari tempat
makan, karena sesudah itu ingin ke garden center untuk membeli tanaman untuk
berkebun besuk pagi. Kami menemukan
Knight Cafe, sebuah restoran African food.
Saya dan isteri memesan sandwich dengan isi scamble eggs plus tomat dan
terong. Anak saya memesan sup jagung dan
chip ketela. Ternyata makanan enak
sekali. Bumbunya sangat terasa dan tidak plain seperti masaka Eropa.
Selesai makan, kami
masuk ke toko buku yang lain yaitu Blackwell, toko buku besar dan sangat
terkenal. Karena sudah tahu kalau toko
buku ini khusus untuk buku-buku akademik dan tempatnya sudah diklasifikasi,
maka segera saja saya masuk ke bagian Education dan Management. Di bagian Education saya menemukan buku
Learning to Teach the Primary School dengan editor Teresa Cremin dan James
Arthur. Saya tidak ahli dalam bidang
itu, tetapi buku ini edisi ketiga, sehingga saya yakin bagus dan akhirnya saya
beli dengan maksud untuk perpustaan Pascasarjana.
Pada bagian Management
saya menemukan buku Leadership tulisan Peter G. Northouse, Edisi ke 7. Bukunya dibungkus plastik dan tidak boleh
dibuka. Harganya sangat mahal 55 pound
atau setara dengan 1,1 juta rupiah. Saya
penasaran, mengapa begitu mahal dan tidak boleh dibuka? Sampai edisi ke 7 dengan harga yang
fantastis, sehingga saya yakin buku bagus dan akhirnya saya beli dengan maksud
untuk perpustakaan pascasarjana.
Setelah makan siang
dan sudah membeli 5 buku, kami memutuskan untuk pergi ke Garden Center untuk
membeli beberapa bibit tanaman dan ditanam besuk pagi. Lokasi Garden Center agak keluar kota,
sehingga kami naik bus. Melalui HP, Kiki
mendapatkan bus nomor 31 yang melalui Gardern Center. Setelah naik dan bus berjalan lumayan lama,
kami sampai pinggiran kota dan melihat ladang gandum, kentang dan bahkan
peternakan sapi. Namun Kiki mulai
ragu-ragu karea bus terlalu jauh ke luar kota.
Akhirnya Kiki bertanya kepada sopir, saat bus berhenti di halte. Nah, saat ini kami baru tahu kalau keliru naik
bus. Memang dulu, bus nomor 31 melewati
Garden Center, tetapi sekarang tidak lagi karena melalui jalan baru. Akhirnya saya turun dan disarankan menunggu
bus nomor 29 di halte depan supermarket Tesco.
Untunglah sopirnya
baik mau menunjukkan. Juga setelah turun
dan bertemu dengan beberapa orang di halte, mereka menjelaskan sebaiknya naik
bus 39 dulu ke Tesco karena jaraknya agak jauh. Nanti di depan Tesco akan ada
bus nomor 29 yang lewat. Betul juga kami
naik bus nomor 39 dan pindah ke nomor 29 untuk sampai ke Garden Center.
Garden Center mirip
dengan Trubus tetapi sangat besar. Yang dijual berbagai jenis bibit tanaman,
mulai bunga-bunga-an, tanaman buah, bambu dan banyak lainnya. Anak saya membeli bibit tulip dan dafodil,
sedangkan saya sendiri memberi biji sweet pepper untuk ditanam di Surabaya.
Sambil naik bus
pulang, kami saling berkelakar lha sudah tinggal di Edinbrugh 8 tahun tetapi
masih bisa keliru naik bus. Pada hal
tadi memilih bus dengan melihat informasi di internet. Tenyata informasi di internet tidak memuat
perubahan rute bus nomor 31, sehingga kami kesasar. Tetapi untunglah sopirnya baik dan penumpang
yang sama-sama menunggu bus juga sangat baik.
Semoga kebaikan mereka merupakan amal yang mendapat imbalan berlipat
dari Yang Maha Bijaksana.
Sekitar pukul 17.15
sampai di pusat kota, kami turun dan bermaksud mencari bus yang lewat dekat
rumah anak saya. Namun, ya ampun kota sangat-sangat
ramai. Trotoar penuh orang, ada yang
berdiri foto-fotoan, ada yang berjalan pelan-pelan sambil melihat-lihat, ada
orang yang berjalan cepat dan tampak pulang kantor dan banyak orang yang
menawarkan ini dan itu, serta di tepi jalan banyak orang yang melakukan atraksi
macam-macam. Benar-benar menggambarkan
suasana festival.
Sementara itu di jalan
kendaraan sangat ramai atau bahkan dapat disebut macet. Ada empat bus yang antre masuk halte tetapi
kesulitan. Di persimpangan mobil-mobil
saling mengunci, karena lampu sudah merah tetapi belum dapat keluar
persimpangan akibat di depannya ada kendaraan lain. Untunglah budaya tertib sudah mapan, sehingga
walaupun tidak ada polisi, lalu lintas tetap berjalan walaupun sangat-sangat
lambat.
Akhirnya kami
memutuskan naik taksi, walupun masih punya tiket yang berlaku hari itu. Kalau menunggu bus kawatir lama dan keduluan
menantu sampai di rumah. Pada hal,
rencananya begitu sampai rumah akan menyiapkan makan malam dan kemudian makan
malam bersama sambil ngobrol.
Alhamdulillah, dengan baik naksi kami sampai di rumah sekitar pukul
18.15an. Segera sholat dhuhur ashar
dijamak, karena baru magrib sekitar pukul 21. Anak dibantu isteri menyiapkan
makan malam dan begitu menantu datang, kami makan malam bersama. Kesasar naik
bus menjadi bahan ngobrol yang mengundang tawa bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar