Tanggal
26 Februari 2013 saya diudang Universitas Terbuka (UT) UPBJJ Surabaya untuk
mengisi seminar bersama calon wisudawan.
Tampaknya UT UPBJJ Surabaya ingin membekali calon lulusannya. Topiknya “Guru dan Dinamika Perubahan
Kurikulum”. Lulusan yang akan diwisuda
sekitar 2000 orang. Anggap saja 75% yang
hadir, berarti seminar diikuti oleh 1500 orang.
Ya ampun. Saya tidak faham,itu
seminar atau kampanye.
Topik
yang dipilih tampaknya disesuaikan dengan mayoritas lulusan dan isu yang sedang
hangat. Dari sekitar 2000 lulusan, konon
sekitar 1200 adalah guru SD dan sekitar 200 adalah guru PAUD. Yang non
kependidikan sangat kecil. Jadi mayoritas
lulusan adalah guru. Dan saat ini perubahan kurikulum dengan menjadi topik yang
“hot”. Berarti topik seminar yang
dipilih cocok dengan profesi peserta dan isu yang sedang hangat di masyarakat.
Dengan
bekal pengalaman bergaul dengan teman-teman guru, saya menyiapkan materi yang
ringan saja, tetapi semoga memberi inspirasi untuk maju. Saya tidak ingin berteori apa itu kurikulum
dan berbagai implikasinya. Toh peserta
banyak, sudah senior dan tempatnya di sebuah gedung besar yang saya yakin sound
systemnya tidak akan cocok untuk seminar.
Nah,
diawal presentasi saya meminta yang merasa guru SD dan PAUD mengangkat
tangan. Dan benar, sebagian besar
peserta angkat tangan. Setelah itu, saya
meminta guru SD dan guru PAUD yang pernah membaca kurikulum angkat tangan. Kali ini, peserta saling berpandangan dan
sepertinya berbisik-bisik. Saya ulangi
lagi, tolong jujur dan tidak takut, guru SD dan guru PAUD yang sudah pernah
membaca kurikulum angkat tangan. Yang angkat
tangan tidak lebih dari 20 orang.
Selanjutnya,
saya menunjuk beberapa guru yang angkat tangan dan bertanya: “Buku Keberapa
dari Kurikulum yang dibaca?”. Mereka
bingung dan bertanya apa masuk saya.
Saya jawab: “OK, bagaian apa dari kurikulum yang ibu baca?”. Tiga orang yang saya tunjuk, semua menjawab
bagian silabus.
Jawaban
tersebut mengkonformasi info yang selama ini saya peroleh bahwa sebenarnya
tidak banyak guru yang membaca kurikulum.
Yang biasanya membaca adalah kepala sekolah atau wakil kepala sekolah
bidang kurikulum. Dan yang dibaca
biasanya adalah standar isi atau dengan kata lain, silabus yang harus diajarkan
oleh guru.
Jika
bp/ibu tidak membaca kurikulum lantas pedoman untuk mengajar? Hampir semua menjawab “buku paket”. Kalau begitu, buku paket yang sebenarnya
memandu guru dalam mengajar. Oleh karena
itu saya gembira ketika mendengar informasi nanti bersamaan dengan pelaksanaan
Kurikulum 2013, buku guru dan buku paket disediakan oleh pemerintah dengan
gratis. Dengan begitu semestinya dijamin
bahwa buku guru dan buku paket sejalan dengan kurikulum. Dengan gratis, berarti setiap guru dan setiap
siswa memiliki buku pegangan.
Namun
demikian, perlu dicatat dua hal. Pertama, buku panduan guru tidak boleh
kaku dan mengungkung kreativitas guru.
Setiap kelas itu unik. Tidak ada
kelas yang benar-benar identik, baik siswa maupun situasinya. Bahkan situasi kelas pada hari ini berbeda
dengan besuk. Oleh karena itu cara
mengajar yang sukses di “Kelas A” belum tentu cocok diterapkan di “Kelas B”. Bahkan yang cocok di “Kelas A” pada pagi hari
mungkin kurang tetap untuk siang hari saat siswa capai dan mengantuk.
Gurulah
yang harus menyesuaikan implementasi panduan tersebut dengan situasi dan
kondisi kelas di saat mengajar, disesuaikan dengan kemampuan awal siswa,
disesuaikan dengan karateristik psikologis siswa, disesuaikan dengan situasi
kelas dan sebagainya. Itulah makna guru
sebagai profesional yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk mengambil
keputusan apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya.
Kedua, buku paket atau buku siswa harus disesuaikan dengan latar belakang
geografis dan sosial budaya siswa. Siswa
di pedalaman Papua akan sulit memahami kereta api, karena belum pernah
melihat. Anak yang tinggal di pegunungan
akan sulit memahami contoh gelombang laut dan sebagainya. Jadi buku siswa harus sesuai dengan konteks
sosial budaya siswa.
Nah,
tentu tidak mudah membuat buku siswa yang dapat benar-benar cocok dengan
konteks kehidupan setiap siswa, yang sangat beragam. Sekali lagi tugas guru yang harus mengatur
agar pembelajaran dan contoh-contoh kasus yang digunakan sesuai dengan konteks
setempat siswa. Itulah yang sebenarnya
disebut pembelajaran kontekstual. Dan itulah sebenarnya salah satu inti KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan), yaitu pelaksanaan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi
sekolah (satuan pendidikan). Dan
lagi-lagi guru yang menjadi tumpuannya.
Gambaran
di atas menunjukkan betapa peran penting guru.
Kurikulum penting tetapi guru jauh
lebih penting. Kurikulum yang bagus
ditangani oleh guru yang tidka bagus, hasilnya tidak akan bagus. Kurikulum yang kurang bagus, kalau gurunya
bagus akan dapat berinovasi sehingga hasilnya bagus. Oleh karena itu beberapa pakar menyebut “guru
itu beyond system”. Artinya pentingnya
guru melebihi pentingnya sistem.
Masih
ada satu aspek lagi yang seringkali mengalahkan peran kurikulum dalam
pendidikan. Apa itu? Soal-soal ujian atau ulangan. Dimanapun guru selalu ingin siswanya dapat
lulus ujian dengan nilai bagus.
Akibatnya guru akan mengajarkan hal-hal yang diyakini akan keluar dalam
ujian atau ulangan. Itulah yang
disebut “teaching for the test”.
Oleh karena bagaimana kita memiliki soal-soal yang bagus untuk ulangan
harian, ulangan umum dan ujian sekolah dan ujian nasional menjadi sangat penting.