Kalimat
itu saya baca pada lembaran kertas yang dibawa teman pada akhir tahun
1970-an. Jujur, waktu itu saya tidak
begitu faham apa maksudnya. Mau bertanya
juga sungkan, karena saya tidak akrab dengan teman tersebut. Apalagi teman itu dari Jurusan Bahasa Inggris
yang saat itu dikenal sebagai jurusan “langit” bagi mahasiswa Fakultas Teknik
(dulu bernama Fakultas Keguruan Ilmu Teknik/FKIT) seperti saya.
Beberapa
waktu kemudian saya baru “ngeh”, ternyata tulisan itu semacam brosur kursus
Bahasa Inggris. Bersama beberapa
temannya, teman tadi mendirikan kurus Bahasa Inggris dan menyebarkan brosur di
kampus. Sebagai mahasiswa Fakultas
Teknik, saya hanya mengguman “oh ternyata itu iklan”. Tahu kalau itu brosur kursus Bahasa Inggris
tetapi tetap tidak faham apa maksud kalimat itu. Lha, bekal bahasa Inggris saya waktu itu kan
hanya lulusan STM. Mau ikut kursus juga
tidak punya biaya.
Baru
setelah lulus dan sempat ikut kursus Bahasa Inggris di LIA di Jl. Dr Sooetomo (Sekarang
berubah menjadi PPIA dan pindah ke daerah Kertajaya Indah), saya agak faham
maksud kalimat iklan tersebut. Saya
menduga teman tadi menjual slogam “Memang kami bukan yang pertama, tetapi
percayalah kami yang terbaik”. Apa betul
isi kursus seperti yang diiklankan itu saya tidak tahu pasti. Sepertinya kursus tersebut tidak berkembang
dan teman tadi kemudian banyak memberi kursus prifat.
Ketika
mengunjungi Amsterdam dan Edinburgh minggu ini, kalimat tersebut muncul kembali
di benak saya. Tentu untuk perspektif
yang berbeda. Saat di Edinburgh, saya
sempat berjalan-jalan ditemani anak sulung yang tinggal di sana. Saya bertanya “kok Edinburgh tidak terlalu
bersih ya?”. Tentu bersih-tidak bersih tadi dengan ukuran kota di negara
maju. Saya membandingkannya dengan kota
di Jepang, Singapura, Australia dan Amerika.
Mendapat
pertanyaan tadi, anak saya malah bercerita, bibi suaminya yang tinggal di
Kanada juga mengeluhkan hal yang sama dengan saya. Konon dulu Edinburgh sangat bersih, tetapi
sekarang tidak lagi. Hal yang sama juga
terjadi di Amsterdam dan beberapa kota di Belanda. Mengapa ya?
Para sosiolog yang mungkin dapat menjawab. Atau mungkin para ahli tata kota. Saya ingin melihatnya dari perpektif lain,
perspektif seorang pendidik.
Mengapa
hal itu terjadi? Menurut saya ada dua
kemungkingan. Pertama, kondisi kebersihan kota Edinburgh dan Amsterdam mungkin
tetap sama dengan sekian tahun lalu.
Namun, karena kota-kota lain kini lebih bersih, orang merasa Edinburgh
dan Amsterdam tampak kotor. Bukankah
persepsi kita selalu terpengaruh dengan perbandingan? Orang dengan tinggi 165 cm akan tampak tinggi
ketika berada di sekitar orang dengan tinggi 150-160 cm. Namun orang yang sama akan terkesan pendek
jika berada di lingkunga orang-orang dengan tinggi 170 cm keatas.
Suatu
saat saya diminta mengisi acara di sebuah sekolah swasta di Surabaya. Sekolah tersebut termasuk tua, artinya
berdiri sejak lama. Pimpinan yayasan
bercerita bahwa dulu banyak anak dari berbagai daerah bersekolah di sekolah
tersebut. Bahkan ada siswa yang berasal
dari negara tetangga, seperti Malaysia, Brunai dan Thailand. Juga pernah ada anak dari Suriname. Namun pamor sekolah swasta itu sekarang
meredup. Memang tetap masih terkenal,
paling tidak untuk segmen masyarakat tertentu.
Tetapi tidak lagi menjadi sekolah yang bergengsi. Ya kira-kira menjadi sekolah swasta “kelas
menengah”.
Mungkin
mutu sekolah tersebut tetap sama dengan dulu atau bahkan naik. Namun kini muncul sekolah baru yang mutunya
lebih baik. Mungkin, di masa lalu
sekolah tersebut merupakan yang terbaik dibanding sekolah di sekitarnya. Namun kini muncul sekolah baru yang lebih
baik atau beberapa sekolah di sekitarnya yang dulu kurang baik, sekarang
melejit melampau sekolah tersebut. Akibatnya
sekolah swasta tersebut seakan mutunya turun dan tidak lagi menjadu sekolah
favorit. Buku berjudul Myth in Education karangan J.E Greene
(2005) menjelaskan kondisi seperti itu.
Kemungkinan kedua, memang kondisi kota Edinburgh dan Amsterdam kini
lebih kotor dibanding waktu lalu. Demikian
pula kondisi sekolah swasta yang saya ceritakan di atas. Mengapa itu terjadi? Buku dengan judul Total Quality Management karangan Eduard Sallis (1993) dapat
menjelaskan fenomena tersebut. Menurut
Sallis, setiap kehidupan termasuk organisasi/lembaga, mengalami masa kelahiran,
pertumbuhan, dewasa, menua dan akhirnya mati.
Mungkin juga pengelolaan kota Edinburgh dan Amsterdam serta sekolah
swasta tadi sudah sampai tahap menua.
Pengelola sudah jenuh, bekerja rutin dan tidak lagi kreatif. Akibatnya kinerja mereka menurun dan tidak
mampu menghadapi tantangan baru.
Seringkali
lembaga yang sudah “mapan” merasa sudah yang terbaik dan cemderung
mempertahankan pola kerja yang telah dilakukan.
Pada hal keadaan sekitar berubah.
Tantangan berubah. Pesaing baru muncul.
Akibantnya kinerja rutin tidak lagi mampu mengimbangi tuntutan
perkembangan zaman dan kemudian mutunya menurun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar