Pengarusutamaan (mainstreaming) pendidikan karakter di sekolah menjadi salahsatu
program utama Kemdikdas. Seingat saya,
dalam suatu rapat antar kementerian yang dikoordinasi oleh Kementerian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan dikuti oleh sekian banyak kementerian
tercetus keinginan untuk menjadikan pendidikan karakter sebagai gerakan
nasional. Hampir semua kemeterian,
termasuk Kementerian Dalam Negeri mendukung gagasan itu. Mungkin semua pihak risau
terhadap perilaku keseharian di masyarakat, dan diharapkan penekanan pendidikan
karakter dapat memperbaiki perilaku siswa dan pada akhirnya masyarakat dan bangsa
Indonesia. Rapat tersebut, seingat saya
pada tahun 2010 awal dan ditindaklanjuti dengan serangkaian rapat lain.
Kini sudah di awal tahun 2013. Jadi kesepakatan tersebut sudah sekitar tiga
tahun lalu. Namun pelaksanaan di
lapangan masih sangat minimal.
Sayup-sayup, antara terdengar dan tidak.
Antara ada dan tiada. Semua
orang mengetahui dan mungkin menyetujui, tetapi seakan baru pada taraf
gagasan. Pelaksanaannya seakan masih
menunggu sesuatu. Saya takut, gagasan pendidikan
karakter mengulang gagasan life skills yang pernah dikumandangkan di era
Mendiknas Prof Malik Fajar. Gagasan bagus
dan sudah mulai dirintis, tetapi kemudian “hilang bersama angin senja”.
Sebenarnya pengarusutamaan pendidikan
karakter bukan hanya di Indonesia. Di
Amerika Serikat sudah muncul dua-tiga dekade lalu, dengan salah satu tokohnya
Thomas Lickona. Ketika megikuti
konferensi Unesco di Manila Philippines bulan Mei 2010, dengan tema Teaching Philosophy, ternyata isinya
kurang lebih sama dengan pendidikan karakter.
Dengan mengutip data FBI, Thomas Lickona
(1992) menyebutkan pada tahun 1978-1988 perkosaan di Amerika Serikat meningkat
dua kali lipat. Disebutkan juga antara
1968-1988 terjadi peningkatan 54% kejahatan seperti pembunuhan, perampokan dan
sebagainya. Kondisi itu mendorong
pemerintah Amerika Serikat memberikan penekanan pendidikan karakter. Nucci dan Narvaez (2008) menyebutkan saat ini
80% negara bagian di Amerika Serikat mewajibkan pendidikan karakter di sekolah. Masyarakat Amerika Serikat memberikan
dorongan tumbuhnya kejujuran pada anak-anak (97%), menghargai orang lain (94%),
demokratis (93%) dan menghormati orang lain yang berbeda latar belakang sosial
dan sebagainya (93%).
Mungkin ada yang bertanya apakah gagasan
pendidikan karakter memiliki landasan filosofi.
Untuk itu, saya mengajak pembaca menyimak pendapat Bapak Pendidikan Indonesia,
Ki Hajar Dewantara. Menurut beliau pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan
tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak
boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Jadi karakter merupakan salah satu pilar
penting pendidikan dan itu harus terintegrasi dengan pilar kognitif dan
psikomotor.
Apakah pendidikan
karakter memiliki landasan yuridis?
Marilah kita lihat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN),
yang secara jelas menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dari delapan aspek yang ingin dituju
pendidikan di Indonesia, paling tidak lima diantaranya identik dengan
aspek-aspek karakter yang dibahas panjang lebar di Kemdiknas. Dan itu juga sudah tertuang dalam buku Grand
Design Pendidikan Karakter. Berarti
aspek-aspek karakter yang diinginkan oleh Kemdikbud dan juga oleh kementerian
lain, sebenarnya telah tercantum sebagai sosok manusia yang diinginkan oleh
pendidikan kita.
Pertanyaannya mengapa pelaksanaan di
lapangan hanya sayup-sayup? Jika
aspek-aspek pendidikan karakter telah ada di UUSPN, tentunya sudah dilaksanakan
di lapangan, sebelum adanya pengarusutamaan pendidikan karakter. Rasanya penyebab utama itu harus ditemukan
dan dicari pemecahannya. Jika tidak saya
takut, seperti yang saya sebutkan terdahulu, pendidikan karakter akan bernasib
sama dengan life skills. Yang tertuang
di UUSPN saja tidak terlaksana dengan baik di sekolah, apalagi jika
pengaurutamaan pendidikan karakter hanya berupa dokumen dan arahan Mendikbud.
Dimana letak masalahnya? Menurut saya adalah dua masalah yang saling
terkait dan harus dicari pemecahannya. Pertama, meskipun aspek-aspek karakter
tersebut menjadi tujuan pendidikan, tetapi tidak muncul secara tegas dalam
kurikulum. Dalam SKL (standar kompetensi
lulusan) memang muncul, tetapi tidak ada dalam rincian standar isi maupun kompetensi
dasar matapelajaran. Jadi dapat
difahami kalau guru merasa tidak punya kuwajiban untuk mewujudkannya.
Bukankah ada matapelajaran Agama dan PPKn
yang secara khusus memuat aspek-aspek tersebut?
Memang betul. Tetapi kedua
matapelajaran tersebut lebih menekankan aspek kognitif dan bukan aspek afektif
dan perilaku seperti dimaksudkan pendidian karakter. Lihat saja, nilai matapelajaran Agama dan
PPKn didasarkan atas nilai ulangan dan bukan perilaku keseharian.
Saya berulang kali menyampaikan, orang yang
punya SIM tentu faham kalau tidak boleh berhenti di tanda S warna merah dengan
coretan hitam. Harus berhenti saat lampu
lalu lintas menyala merah. Tetapi
bukankah banyak yang melanggar? Faham
tidak selalu melaksanakan apa yang difahami.
Meminjam istilah Lickona, moral
knowing tidak secara otomatis menjadi moral
feeling, apalagi menjadi moral action.
Lantas mengapa guru Agama dan PPKn tidak
mengutamakan moral feeling dan moral action? Itulah masalah kedua yang kita hadapi. Mengukur aspek afektif dan perilaku
keseharian siswa tidaklah mudah.
Bayangkan guru harus menilai “keyakinan” dan perilaku siswa, yang
jumlahnya banyak. Dan selama ini guru
tidak pernah mendapat pembekalan bagaimana melakukan. Akhirnya yang paling mudah ya dengan ulangan
tertulis.
Jadi, jika kita ingin program
pengarusutamaan pendidikan karakter berjalan dengan baik, kedua masalah
tersebut harus dipecahkan. Aspek-aspek
karakter harus masuk menjadi bagian kompetensi dasar dan standar isi kurikulum. Sedapat mungkin, semua mata pelajaran
memasukkannya. Dan guru harus dibekali
cara mengukur hasil belajar karakter.
Apa yang dimuat dalam website goodcharacter.com, rasanya layak untuk
bahan banding menindaklanjuti kebijakan pengarusutamaan pendidikan
karakter. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar