Diskusi
tentang Kurikulum 2013 begitu marak akhir-akhir ini. Seperti biasanya, ada yang pro dan ada yang
kontra. Sayangnya diskusi dan tulisan di
media seringkali melenceng dari hakekat kurikulum. Diskusi terjebak memaknai kurikulum sekedar sebagai
daftar matapelajaran. Akibatnya perdebatan
banyak berkisar pada masalah penggabungan matapelajaran dan perubahan jam
pelajaran dengan berbagai argumentasi.
Pada hal, daftar matapelajaran hanya sebagian kecil dari kurikulum dan lagi
itu hanya konskwensi logis dari kompetensi lulusan yang diinginkan.
Kurikulum
ibarat gambar cetak biru dalam membangun rumah.
Gambar cetak biru menjadi pedoman bagi kontarktor dan tukang, apa yang
harus dikerjakan, apa bahannya dan bagaimana mengerjakannya. Dari gambar cetak biru rumah menunjukkan
denah rumah, tampak depan, tampak samping, pondasi, pintu dan seterusnya. Dengan melihat gambar cetak biru, pemilik
calon rumah akan mengetahui seperti apa rumah saat nanti sudah jadi. Kontarktor yang membangun, tukang yang akan
mengerjakan juga tahu bagaimana cara mengerjakan dan apa bahan yang diperlukan.
Analog
dengan itu, kurikulum harus dapat memandu birokrasi pendidikan, kepala sekolah,
guru, pengarang buku pelajaran dan penyusun soal-soal ujian dalam melaksanakan
tugasnya. Sederhananya, kurikulum harus
menunjukkan: (1) kompetensi seperti apa yang harus dimiliki siswa ketika lulus,
biasanya disebut SKL (standar kompetensi lulusan), (2) kompetensi apa yang
harus dimiliki siswa ketika selesai mengikuti pelajaran tertentu, biasanya
disebut KD (kompetensi dasar), (3) materi ajar apa yang harus dipelajari siswa,
dan sebagainya.
SKL
itu ibarat gambar rumah, sedangkan KD itu ibarat gambar pondasi, diding, pintu,
genting dan sebagainya. Gambar rumah
(SKL) harus terbagi habis menjadi gambar pondasi, dinding, pintu, genting dan
sebagainya (KD). Tidak boleh ada yang
tersisa. Jika tidak habis berarti akan ada bagian rumah yang tidak dikerjakan,
sehingga rumahnya tidak utuh. Sebaliknya
jika semua KD digandengkan harus membentuk SKL. Tidak boleh ada bagian-bagian
rumah (KD) yang tumpang tindih, sehingga tidak dapat dipasang.
Dari
banyak pengalaman, termasuk pada Kurikulum 2004 masalah mendasar adalah
ketidaksinkronan antara SKL dan KD. Kalau kita cermati Permendiknas nomor 22 dan
23 tahun 2006 yang memuat SKL dan KD tampak sekali kesenjangan itu. Terkesan kuat orang yang menyusun SKL berbeda
dengan orang yang menyusun KD dan tidak saling bekomunikasi secara intensif. Akibatnya SKL dan KD seakan tidak nyambung. Bahkan terkesan aneh, KD termuat dalam
Permendiknas nomor 22, sedangkan SKL termuat dalam Permendiknas nomor 23. Seakan-akan KD lahir lebih dahulu dibanding
SKL. Ada rekan berkelakar, jika kesan
itu betul berarti KD dalam Permendiknas nomor 22/2006 adalah “anak haram”,
karena lahir sebelum “bapaknya” lahir.
SKL
biasanya disusun oleh ahli pendidikan yang menggambarkan sosok lulusan
SD/SMP/SMA sebagai suatu keutuhan perilaku.
Sementara KD disusun oleh ahli bidang studi (matapelajaran) yang biasanya
menggambarkan KD sebagai penguasan bidang ilmu. Dua ahli yang berangkat dari filosofi yang
berdeda. Jika kedua pihak tidak
melakukan diskusi yang intens, dapat difahami jika SKL dan KD tidak nyambung.
Belajar
dari kurikulum di negara maju, SKL memang selalu berwujud kompetensi perilaku
utuh yang diperlukan untuk menyongsong masa depan. Walaupun perlu disempurnakan, SKL Kurikulum
2004 yang dituangkan dalam Permendiknas 23/2006 cukup memadai. Dengan demikian KD-nya yang harus ditinjau
kembali. Dirombak agar sesuai dengan
SKL. Disusun agar memenuhi asas, SKL
terbagi habis menjadi KD dan susunan KD menggambarkan SKL tanpa tumpang tindih
satu dengan lainnya.
Akibat
dari ketidaknyambungan SKL dengan KD adalah soal-soal ujian akhir , baik UJian
Nasional (UN) maupun Ujian Sekolah (US) tidak nyambung dengan SKL. Soal-soal UN maupun US disusun dengan acuan
KD. Karena KD tidak nyambung dengan SKL,
akibatnya soal-soal UN maupun US tidak cocok dengan tuntutan SKL. Pada hal ujian akhir itu untuk mengukur apakah
siswa sudah memenuhi SKL sehingga layak lulus.
Siswa yang dinyatakan lulus artinya sudah memiliki kompetensi yang
disebutkan dalam SKL. Silahkan pembaca
membaca SKL untuk SMA/MA pada Permendiknas nomor 23/2006, nanti akan bertanya
betulkah siswa yang dinyatakan lulus SMA memiliki kompetensi tersebut? Saya sendiri meragukan.
Dalam
Permendikan nomer 23/2006, SKL SMA nomor 1 berbunyi “berperilaku sesuai dengan ajaran
agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja”. Dapat dibayangkan bagaimana guru dapat
membuat soal untuk mengukur ketercapaian SKL tersebut melalui tes. Pada hal
selama ini nilai rapor maupun ijasah didasarkan pada ujian. SKL nomor 7 berbunyi ”menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif dalam pengambilan keputusan”.
Rasanya soal-soal UN maupun US jauh mengukur SKL tersebut. SKL nomor 10 berbunyi “menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah kompleks”. SKL ini memerlukan soal keterampilan berpikir
tingkat tinggi (high order thinking skill).
Soal uraian akan lebih cocok untuk mengukur SKL tersebut. SKL nomor 12 berbunyi “memanfaatkan lingkungan secara
produktif dan bertanggung jawab”. SKL ini lebih cocok diukur dengan tugas-tugas
dari pada ujian tulis.
Dan memang tidak semua hasil belajar dapat diukur
hanya dengan tes. Apalagi tes
tulis. SKL nomor satu di atas lebih
tepat jika diukur dengan observasi kehidupan sehari-hari. SKL nomor 7 dan 12 akan lebih tepat diukur
dari tugas, baik tugas perseorangan maupun kelompok. Oleh karena itu, senyampang menyempurnakan
kurikulum pola evaluasi hasil belajar sekaligus dibenahi.
Mengapa UN dan US sangat penting? Biasanya guru akan bahagia jika muridnya
lulus dengan nilai bagus. Oleh karena
itu guru akan berusaha mengajarkan apa yang nanti akan diujikan. Itulah yang disebut teaching for the test. Di
belahan dunia manapun hal itu terjadi.
Oleh karena itu, bentuk dan isi ujian akan mempengaruhi isi dan cara
mengajar guru. Sekali lagi, senyampang
menyempurnakan kurikulum, maka bentuk dan isi ujian akhir sekolah harus dilihat
kembali dan disesuaikan dengan SKL yang ditetapkan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar