Dalam
berbagai kesempatan bertemu dengan guru maupun orangtua/wali murid, saya
bertanya: “Kalau bapak/ibu memasuki sebuah perputakaan dan kebetulan
pengunjungnya pada membaca dengan tenang”. “Sementara bapak/ibu memakai sepatu
kulit dan berbunyi tok-tok, apa yang bapak/ibu lakukan?”. Umumnya mereka menjawab: “Ya berjalan
pelan-pelan agar sepatu tidak berbunyi”.
Biasanya
saya melanjutkan bertanya: “Kalau ibu ke Tunjungan Plasa dan makan permen,
kemana bungkusnya dibuang?”. Biasanya
ibu-ibu menjawab: “Ke tempat sampah”.
Saya kejar dengan pertanyaan: “Kalau belum menemukan tempat
sampah?”. Mereka umumnya menjawab:
“Dimasukan tas dulu”. “Betul, jujur lho
ya”, begitu biasanya saya berkelakar.
Kita
juga faham, kalau masyarakat Indonesia senang dan terbiasa mencegat taksi di
sembarang tempat dan juga turun dari taksi sesuai yang diinginkan. Namun, kalau mereka ke Singapura kok bisa
tertib ya. Mencegat taksi di halte yang
tersedia dan turun juga di tempat yang diijinkan. Kalau contoh itu saya ajukan ke berapa teman
yang sering ke Negeri Singa, jawaban yang sering muncul: “Ya menyesuaikan diri,
karena di sana tidak mungkin naik dan turun taksi di sembarang tempat”. “Sopir tidak akan mau dan kita akan
ditertawakan orang jika memaksa”.
Apa
yang dapat dipetik dari tiga contoh di atas?
Orang punya naluri atau punya fitrah untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan. Kita semua pasti juga merasakan
itu. Kita akan berusaha menyesuaikan
diri dengan keadaan sekitar. Kalau sedang
sedang berada di tempat orang meninggal, tentu kita akan berusaha untuk tenang
dna tidak berkelakar. Jika menghadiri
pesta perkawinan, kita akan berpakaian yang sesuai.
Ada
anak Indonesia selama SMP tinggal di Singapura dan setiap hari naik bis untuk
ke sekolah. Bagaimana kira-kita
kebiasaan dia naik bis? Saya menduga,
dia akan terbiasa naik bis di halted an juga turun di halte. Bagaimana jika anak Indonesia bersekolah SMA
selama 3 tahun di Jepang? Apakah dia
akan selalu tepat waktu saat datang?
Apakah dia akan selalu membuang sampah di tempatnya? Silahkan menebak. Kalau saya meyakini, anak Indonesia itu akan
mengikuti pola hidup Jepang, datang ke sekolah tepat waktu dan membuang sampah
di tempatnya.
Bagaimana
jika mereka pulang ke Indonesia? Apakah
tetap membuang sampah di tempatnya?
Apakah tetap datang ke sekolah tepat waktu? Apakah menyegat bis atau angkutan umum di tempatnya? Nah itu yang sulit menjawab. Namun contoh berikut mungkin menjadi panduan
untuk menjawab.
Seorang
dosen muda sedang kuliah di Australia. Seperti
pemuda pada umumnya, seperti itulah kebiasaan dia naik motor di Surabaya. Setelah sekitar 4 tahun tinggal di negara
kangguru, sepertinya berubah perilaku dia
dalam berlalulintas. Suatu saat saya bertanya,
mengapa begitu. Jawabannya: “Kalau semua
teratur lalu lintas jadi lancar”. “Kalau
ada orang parkir se-enaknya kan mengganggu lalu lintas”.
Saya
juga pernah mengamati anak seorang teman yang diajak lama tinggal di
Jepang. Ketika orangtuanya selesai
sekolah dan pulang, anak tersebut berusia kira-kira 8 tahun dan kelas 2 SD. Anak tersebut tertib sekali dan berbagai
hal. Kalau pagi saat berangkat sekolah,
selalu tepat waktu. Aktif dan tertib
dalam tugas-tugas di kelasnya.
Tampaknya
kebiasaan di negara maju membekas kepada anak-anak Indonesia yang cukup lama
tinggal di sana. Setelah mereka
merasakan “nyamannya” mengikuti aturan itu, mereka ingin menerapkan ketika
pulang ke Indonesia. Itulah yang dalam
teori pendidikan karakter disebut dengan habituasi (pembiasaan). Karakter dapat dibentuk melalui pembiasaan.
Saya
membayangkan SD, SMP, SMA di Indonesia keadaannya
bersih, tertib, guru dan karyawan santu, segala acara dilaksanakan tepat waktu. Jika hal itu terjadi, siswa yang baru masuk
akan berusaha menyesuaikan diri. Dan
karena selama 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP dan 3 tahun di SMA, pada siswa akan
terbentuk kebiasaan bersih, santun, disipiln, tepat waktu dan sebagainya. Seperti itulah terbentuknya karakter
anak-anak Jepang, anak-anak Belanda dan sebagainya.
Apa
itu cukup? Menurut teori pendidikan
karakter belum. Perilaku hasil
pembiasaan harus “ditumpangi” dengan penanaman nilai-nilai, sehingga anak faham
mengapa itu harus dilakukan. Mengapa
harus menjaga kebersihan. Mengapa harus
tepat waktu. Mengapa harus santun. Mengapa harus tolong-menolong. Dan sebagainya. Jika nilai-nilai itu terinternalisasi, maka
kebiasaan tadi akan berubah menjadi budaya.
Itulah yang disebut inkulturasi (pembudayaan), yaitu habituasi
(pembiasaan) yang dibarengi dengan penanaman nilai-nilai. Tentu cara penanaman nilai-nilai disesuaikan
dengan usia anak dan juga budaya setempat.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar