Sepanjang
ada penerbangan, kalau keluar negeri
saya selalu naik garuda. Kali ini saya naik garuda dari Jakarta ke Amesterdam,
untuk acara di Utrecht University, Groningen University dan Nuffic. Selama ini, Garuda singgah di Dubai tetapi
saat pengumuman naik ternyata akan singgah di Abu Dabi.
Saya
sangat senang, karena banyak rombongan umrah yang naik garuda. Bearti “orang Indonesia banyak yang kaya”,
karena tiket garuda relatif agak mahal. Saya lihat pakaiannya juga
bagus-bagus. Ternyata mereka berasal
dari daerah Bekasi dan sekitarnya. Logak
Betawi juga terasa. Ada yang mantan
lurah. Orang agak pendek, dengan rambut
dipotong pendek pula.
Pesawat
berangkat tepat waktu. Tetapi ketika menjelang landing di Abu Dabi diumumkan
kalau bandara Abu Dabi ditutup karena kabut tebal dan pesawat dialihkan untuk
landing di Muscat di Oman. Menunggu cuaca
Abu Dabi membaik, dan akan segera terbang lagi ke Abu Dabi.
Karena
hanya pendaratan sementara maka penumpang tidak boleh turun. Saya juga tenang-tenang saja. Toh penerbangan
Muscat – Abu Dabi hanya 40 menit.
Hampir 3 jam menunggu tidak ada pengumuman. Pramugari juga belum pernah punya pengalaman. Menurut mereka, singgah di Abu Dabi juga hal
baru bagi mereka.
Ketika
hampir empat jam menunggu, diumumkan agar penumpang siap-siap karena pesawat
akan segera berangkat. Namun setelah
semua siap, termasuk pramugari sudah duduk ditempatnya, pesawat juga tidak bergerak. Baru setelah agak lama, diumumkan bahwa ada
kabar lagi bahwa bandara Abu Dabi belum mengijinkan dan kami harus menunggu.
Ya,
kami harus menunggu lagi. Waktu setempat
sudah jam 7an berarti sudah jam 10 di Surabaya, jadi perut sudah mulai lapar. Sepertinya pramugari juga mengerti, “sisa
makanan” yang ada dibagikan. Walaupun
hanya sepotong roti kecil ditabah teh panas, lumayan untuk menganjal perut.
Untung
salah seorang penumpang peserta umrah yang konon mantan lurah, sangat
lucu. Dia terus “ngebanyol” dengan logat
betawi yang kental menggoda teman atau siapa saja yang lewat di dekatnya.
Termasuk ketika ada “bule” jangkung yang keluar toilet “diganggu”, karena dia
hanya “di bawah ketiak” si bule.
Sekitar
jam dua belas waktu setempat atau jam 3 sore waktu Surabaya, akhirnya pesawat
take off dan betul hanya perlu 40 menit untuk sampai di Abu Dabi. Rombongan jamaah umrah pada turun. Juga ada beberapa penumpang lain yang juga
turun, sehingga pesawat menjadi sangat kosong.
Semula saya mengira, penumpang transit seperti saya boleh turun. Lumayan untuk cari makan. Tetapi ternyata tidak boleh. Kata pramugari biar quick handling, karena
sudah terlambah lebih 6 jam. Jadilah kami
di dalam pesawat, saat petugas kebersihan masuk.
Ya
ampun, saya baru sadar betapa kotornya lantai pesawat. Banyak cuwilan roti, botol minuman kosong,
bahkan plastik-plastik bekas makanan berserakan. Sepertinya ada penumpang yg
membawa makanan saat naik pesawat. Diam-diam, saya membandingkan lokasi di bawah
kursi suadara-saudara rombongan umrah dan penumpang lainnya. Ternyata berbeda cukup mencolok.
Mengapa
ya? Di dalam pesawat, disamping para
bule yang beberapa baru pulang berlibur di Indonesia, juga banya orang
Indonesia. Kami ber-tujuh, tiga dari
Unesa dan empat dari Unsri. Juga ada beberapa mahasiswa yang sedang S3 di
Eropa.
Saya
jadi teringat dialog ibu sepuh dengan teman di sebelahnya. Ibu sepuh bercerita, sudah berumur 90 tahun,
tidak pernah bersekolah. Sekolahnya ya “nandur
dan nyangkul” di sawah. Memang dari
tutur katanya, sebagian rombongan umrah adalah bapak/ibu sepuh yang mungkin
tidak terlalu tinggi pendidikannya.
Namun yang pasti, ada mantan lurah yang lucu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar