Mahkamah
Konstitusi membatalkan pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Ayat
tersebut merupakan landasan hukum Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), sehingga
program SBI maupun Rintisan SBI (RSBI) tidak lagi memiliki landasan hukum dan
harus dihentikan. Menurut salah satu
Hakim MK, jika tidak dihentikan program SBI/RSBI menjadi program illegal dan
anggaran yang digunakan dapat dikategorikan korupsi.
Apa
harus begitu? Program pembelajaran di
sekolah tidak dapat begitu saja distop seperti layaknya kendaraan, pembangunan
gedung atau suatu jabatan. Program
pembelajaran telah disusun minimal dalam satu semester bahkan idealnya dalam
satu tahun, dengan berbagai rangkaiannya.
Ketika semester dimulai, tentu jadwal pelajaran telah tersusun, guru
pengajar telah ditunjuk, para guru sudah menyusun RPP, bahan ajar, alat peraga
dan berbagai kelengkapannnya. Karena
saat ini semester genap, sangat mungkin soal-soal ulangan/ujian juga sudah siap.
Siswa juga sudah membeli buku, baik buku
paket maupun buku penunjang. Bagi siswa
kelas VI, kelas IX dan kelas XII tentu sudah mempersiapkan diri menghadapi
UASBN/UN.
Kalau
pembelajaran SBI/RSBI harus dihentikan seketika karena sudah ada keputusan MK,
tentu akan membuat sekolah kebingungan, khususnya para guru dan siswa. Menyusun jadwal pelajaran memerlukan
waktu. Demikian juga guru memerlukan
waktu untuk menyusun RPP dan bahan ajar.
Jika pembelajaran harus dihentikan mendadak, lantas apa tidak ada proses
pembelajraan sampai guru selesai menyiapkan bahan yang baru?
Oleh
karena itu, keputusan yang bijak ketika Mendikbud dan Ketua MK sepakat bahwa program
pembelajaran di SBI/RSBI tetap berjalan sampai semester ini berakhir. Artinya program pembelajaran semester genap
ini, termasuk UASBN/UN tetap berjalan sebagaimana telah dirancang. Dan selama itu, sekolah dapat menyiapkan
program di sementer berikutnya dengan lebih tenang.
Namun
kesepakatan tersebut belum cukup.
Kesepakatan itu baru bersifat jangka pendek untuk menghindari kekosongan program sekolah. Masih harus dicari solusi yang komprehensif
untuk jangka panjang . Dengan tetap
memenuhi kaidah hukum dan kaidah keadilan, namun keinginan agar mutu pendidikan
kita setara dengan negara maju dalam dicapai.
Untuk itu, masalah SBI/RSBI sebaiknya dilihat dalam konteks pendidikan
secara utuh. Pola pikir seeing forest for the trees dari
Sherwood (2002) sangat cocok digunakan.
Kalau
kita pergi ke Malaysia, Singapura dan Australia, kita akan menjumpai banyak anak-anak
Indonesia yang sekolah setaraf SMA di sana.
Suatu ketika saya ke Perth di Australia Barat dan bertemu dengan
beberapa ibu muda bersama anak-anaknya makan siang. Ternyata, ibu-ibu tersebut sedang menengok
anak-anaknya yang sekolah setaraf SMA di sana.
Ketika saya bertanya mengapa baru SMA sudah disekolahkan di Perth, salah
seorang menjawab agar anaknya mendapat pendidikan terbaik. Menurut dia, pendidikan yang diinginkan tidak
ditemukan di Indonesia, sehingga anaknya disekolahkan di Australia. Saat
berkunjung ke International Islamic School (IIS) di Kualalumpur, saya juga bertemu
dengan beberapa anak Indonesia yang sekolah disana dan salah seorang adalah
anak pejabat Kementerian yang terkenal.
Fenomena
mirip itu juga terjadi di dalam negeri.
Di SMA favorit di Surabaya, Malang, Yogya dan Bandung banyak anak
pejabat dan pengusaha luar Jawa yang sekolah di sana. Teman saya yang menjadi pejabat penting di
Kalimantan, semua anak-anaknya di Malang.
Ketika SD Negeri kekurangan murid, SD Swasta favorit dengan bayaran
mahal dibanjiri peminat. Percaya atau
tidak, diantara mereka banyak anak-anak pejabat di Dinas Pendidikan.
Fakta
tersebut dapat dijelaskan dengan membuat sumbu salib. Satu sumbu menunjukkan kesadaran akan
pendidikan dan sumbu yang lain menggambarkan keadaan ekonomi. Orang tua yang berada di kwadran kesadaran
akan pendidikan tinggi dengan kemampuan ekonomi baik, akan berusaha
menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik.
Jika sekolah yang diinginkan tidak ada di kotanya, anaknya akan
disekolahkan ke kota lain. Biasanya ke
sekolah favorit di kota besar. Jika
sekolah yang diinginkan tidak aka di Indonesia, anaknya akan disekolahkan di
negara lain. Yang banyak di Singapura, Malaysia dan Australia. Mungkin jaraknya dekat dengan Indonesia.
Gejala
tersebut ditangkap sebagai peluang oleh Singapura, Malaysia dan Australia. Jika ekonomi Indonesia semakin baik, tentu
semakin banyak orangtua yang mampu mengirim anaknya sekolah ke negeri. Itulah sebabnya setiap tahun banyak sekolah
dan perguruan tinggi dari ketiga negara tersebut mengadakan pameran pendidikan
di kota-kota besar di Indonesia. Biasanya
selama pameran pendidikan ada rekrutmen siswa baru. Jadi pameran seperti itu mirip dengan pameran
mobil, computer dan rumah, yang mentargetkan pembelian selama pameran.
Mengirim
anak sekolah di negara lain tentu memerlukan biaya besar. Agar lebih murah
sekolahnya kemudian dibawa ke Indonesia. Muncullah sekolah-sekolah asing yang membuat
afiliasi di Indonesia dengan berbagai nama.
Ada yang menamakan diri sebagai international school, college dan
sebagainya. Kemudian diikuti oleh sekolah-sekolah asli Indonesia yang
menggunakan kurikulum asing. Ada yang
menggunakan IB, Cambridge dan sebagainya.
Dan keduanya ternyata banyak diminati masyarakat, walaupun bayarannya
mahal.
Tentu
hanya orang tua yang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri, ke
sekolah-sekolah asing yang membuka afilisasi di Indonesia dan sekolah Indonesia
yang menggunakan kurikulum asing. Lantas, bagaimana dengan anak-anak pandai yang
orangtuanya tidak kaya? Itulah yang
harus kita pikirkan. Harus ditemukan
solusi, agar tidak hanya anak orang kaya yang dapat mengenyam pendidikan
seperti itu.
Apa
pemerintah mampu menyediakan sekolah dengan mutu bagus, setara dengan sekolah
di negara maju untuk seluruh anak bangsa?
Pada saat ini rasanya masih belum.
Saat ini belum seluruh sekolah mencapai SSN (sekolah standar
nasional). Di daerah terpencil masih
banyak sekolah yang baru mencapai SPM (standar pelayanan minimal).
Harus
diakui untuk menghasilkan mutu yang bagus, sekolah memerlukan sarana yang
cukup, guru yang handal dan biaya operasional yang cukup pula. Memang biaya yang besar tidak menjamin mutu
pendidikan akan bagus. Namun, jika guru,
sarana, dan biaya operasional hanya pas-pasan sulit dibanyangkan mampu
menghasilkan mutu pendidikan yang setara dengan di negara maju.
Disinilah
mucul dilemma. Kita memerlukan sekolah bermutu setaraf dengan sekolah di negara
maju. Sekolah seperti itu harus dapat
diakses oleh orangtua yang tidak kaya. Di lain pihak anggaran pemerintah belum mampu
membuat seluruh sekolah di Indonesia mencapai taraf mutu seperti itu. Apalagi untuk mencapai mutu yang bagus,
sekolah juga memerlukan guru yang handal dan budaya sekolah yang kondusif.
Menemukan
solusi dari dilema tersebut diperlukan kearifan berpikir. Pemikiran yang mendasarkan satu sudut pandang
kurang cocok diterapkan, walupun punya argument kuat. Pola pikir the third alternative yang diajukan oleh Stephen Covey (2011), dapat membantu. Intinya, kita tidak hanya bertahan pada
pendapat saya (alternatif 1) tetapi harus memperhatikan pendapat orang lain
(alternatif 2) dan kemudian disinergikan menjadi alternatif ketiga. Kita padukan pemikiran legal yuridis dengan
konsep pendidikan masa depan. Kita
padukan pemikiran pemerintah dengan aspirasi masyarakat. Kita padukan keinginan untuk menyamakan dan mutu seluruh sekolah dengan kebutuhan
nyata masyarakat Indonesia yang sangat heterogen.
Keinginan
sebagian masyarakat untuk memperoleh pendidikan bermutu internasional adalah
suatu kenyataan. Sekolah semacam itu
seharusnya terdapat di berbagai kota, agar
memudahkan akses calon siswa dari berbagai pelosok tanah air. Namun keuangan pemerintah masih terbatas,
sehingga belum mampu membuat seluruh sekolah mencapai level itu. Dalam menyongsong era global kita memerlukan
sumberdaya yang mampu bersaing secara internasional. Namun tentu tidak semua orang harus masuk ke
arus itu. Sebagian mereka akan mengolah
sumberdaya alam lokal yang mungkin menggunakan teknologi tepat guna. Semua siswa harus memiliki akses masuk ke
sekolah yang bermutu. Namun sekolah bermutu
tinggi menuntut kemampuan dasar yang
juga tinggi. Jadi hanya hanya anak yang
pandai yang cocok masuk. Pemerintah
harus membiayai anak berbakat istimewa dapat masuk ke sekolah bermutu. Namun, sekolah seperti itu orientasinya ke
internasional sehingga tidak cocok bagi mereka anak pandai yang sejak awak
bercita-cita ingin mengembangkan potensi lokal.
Jika
pemikiran-pemikiran di atas dipadukan, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
memerlukan sekolah yang bermutu setara dengan sekolah di negara maju. Harus dicari pola maupun istilah yang tidak
melanggar undang-undang, tetapi sesuai dengan perkembangan pendidikan masa
depan.
Siswa
pandai yang berasal dari keluarga kurang mampu harus memiliki akses masuk ke
sekolah tersebut. Pemerintah dan
pemerintah daerah harus mendukung bagi siswa semacam itu. Pengalaman SMA Taruna Nusantara Magelang, MAN
Insan Cendikia Gorontalo, SMA Plus Soposurung Balige, Sekolah Negeri Terpadu
Bojonegoro dan beberapa “sekolah unggulan” lainnya dapat menjadi bahan banding.
Sekolah
bermutu tersebut sekaligus dpat berfungsi sebagai “sekolah model”. Metoda belajar, bahan ajar dan berbagai hasil
pengembangan sekolah tersebut dapat diakses dan digunakan sekolah lain. Guru-guru sekolah sekitar juga dapat belajar
ke sekolah tersebut. Apa yang dilakukan oleh Sekolah Al Hikmah
Surabaya dapat menjadi model. Dengan
semangat berdakwah, Sekolah (SD, SMP dan SMA) Al Hikmah Surabaya mengundang
sekolah-sekolah lain untuk meniru dan menggunakan berbagai perangkat
pembelajaran yang dikembangkan. Bahkan
guru sekolah lain diundang untuk magang tanpa dipungut biaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar