Saya
sudah berkali-kali naik kereta di Eropa. Namun baru dua kali mendapati
kondektur memeriksa tiket. Pertama,
ketika pulang dari Utrecht kembali ke Amsterdam sekitar tahun 2010. Kedua, tanggal 14 Februari 2913 lalu ketika
pulang dari Groningen ke Amsterdam.
Sepertinya sangat jarang ada pemeriksaan tiket kereta di Eropa. Saya pernah naik kereta dari Amesterdam ke
Paris pulang pergi dan tidak ada pemeriksaan tiket maupun dokumen diri
(paspor), pada hal melintas ke negara lain.
Sebagaimana
diketahui, di Eropa orang dapat membeli tiket kereta dengan berbagai cara. Dapat untuk satu kali jalan. Dapat untuk pulang pergi. Dapat untuk satu hari atau beberapa hari dan
boleh naik kereta kemana saja. Juga dapat
memberli kartu yang berlaku untuk kereta, trem maupun bis. Untuk bis juga dapat membeli tiket saat masuk
dan sopir akan memberikan tiket melalui alat yang ada di dekatnya.
Saat
masuk dan keluar ke stasiun atau masuk ke bis atau trem, kartu tersebut
ditempel suatu sensor dan itu berarti isi uang di kartu tersebut terkurangi hargat
tiket. Misalnya kalau pergi dari stasiun
Amsterdam Central ke Groningen, maka saat masuk ke stasiun Amsterdam Central
kartu ditempelkan di sensor pada tiang dekat pintu masuk stasiun dan ketika
keluar stasiun di Groningen kartu ditempelkan di sensor yang tersedia. Cara
yang sama kalau naik trem atau bus, karena di pintu trem dan bus ada sensor
yang ditempel di tiang dekat pintu.
Kalau
naik bus sopir dapat melihat apakah penumpang membawa tiket atau menempelkan
kartu ke sensor. Kalau naik trem agak sulit, karena masinis hanya di gerbong
terdepan, sehingga tidak dapat melihat penumpang di gerbong belakang. Saya
tidak tahu apakah ada cctv agar masinis dapat melihat penumpang yang baru
masuk. Tetapi kalau naik kereta, siapa yang tahu? Toh tidak ada petugas yang
mengawasi sensor di pintu stasiun. Juga
banyak orang masuk stasiun kereta bukan untuk naik kereta, tetapi sekedar
membeli makanan atau lainnya. Jadi sulit
membedakan orang yang masuk stasiun itu akan naik kereta atau memberi sesuatu
di pertokoan yang ada di situ.
Saat
memeriksa tiket, kondektur membawa alat yang dapat mengecek apakah penumpang
menyesorkan kartu saat masuk ke stasiun.
Teman yang kuliah di Belanda bercerita, kalau
ada penumpang ketahuan tidak memiliki tiket atau tidak menyensorkan kartunya
saat masuk stasiun akan dikenai denda yang sangat mahal. Konon tidak ada kompromi. Apapun alasannya tetap akan dikenakan sangsi
denda yang sangat mahal.
Apakah
itu yang menyebabkan orang di Belanda tidak berani naik kereta tanpa tiket atau
menyensorkan kartunya? Pertanyaan itu
mengganggu pikiran saya beberapa hari. Oleh karena itu saya tanyakan kepada
teman-teman yang sedang kuliah di Belanda dan juga orang Belanda yang kebetulan
akrap dengan saya. Jawaban yang saya
peroleh bervariasi, tetapi ada yang mengagetkan.
Teman-teman
yang sedang kuliah di Belanda pada umumnya menyatakan bahwa orang takut
melanggar karena jika ketemu dan didenda akan malu sekali. Bukan hanya karena harus membayar banyak,
tetapi “cibiran” orang sekitar akan menjadi beban psikologis bagi orang
Belanda. Sepertinya sangsi sosial lebih
berat bagi orang Belanda.
Ketika
saya bertanya kepada teman Belanda (asli) jawabannya mengejutkan. “Kalau kita tidak mau memberi tiket,
perusahaan kereta akan bangkrut dan kita akan kerepotan”. Jawaban yang kurang lebih seperti itu saya
terima dari tiga orang yang berbeda. Salah satunya mahasiswa. Jika jawaban itu betul, mengacu pendapat Thomas
Lickona, keharusan membeli tiket saat naik kereta telah menjadi moral feeling dan bahkan menjadi moral action bagi orang Belanda. Dengan begitu pemeriksaan tiket menjadi tidak
mendesak. Mungkin itu yang menyebabkan sangat jarang ada pemeriksaan tiket
kereta di Eropa.
Mendengar
jawaban itu saya teringat pengalaman naik kereta di Jerman pada tahun
2008. Saat itu saya mengikuti workshop
di Bremen University dan menginap di hotel Ibis. Setiap hari naik kereta untuk pergi dan
pulang. Nah, pada hari pertama saya
tidak tahu dimana harus membeli tiket, karena tidak ada loket. Karena waktu sudah mepet, ya saya naik saja
dengan harapan dapat memberi di dalam gerbong.
Ternyata tidak ada penjual tiket dan juga tidak ada pemeriksan tiket.
Masinis kereta juga berada di bagian depan yang terpisah dengan penumpang. Jadilah saya naik kereta dengan “gratis” hari
itu.
Besuknya
baru diberi tahu teman, orang Jerman yang menjadi pemandu workshop dan
kebetulan sudah sering ke Indonesia.
Membelinya di mesin yang ada di stasiun.
Saya berkomentar: “Wah kemarin saya melanggar aturan, karena naik kereta
tanpa membeli tiket”. Dan dia merespons:
“Tidak apa-apa, kan tidak tahu”. “Ya
mulai sekarang membeti tiket”. “Tetapi
karena sekarang sudah tahu, ya membeli tiket biar perusahaan kereta tidak
merugi”.
Saya
juga teringat sebuah cerita, tentang anak SD di Jepang. Ketika waktunya makan siang kepada mereka
diberikan boks makanan yang jumlahnya sama dengan jumlah siswa di kelas
itu. Semua pada mengambil satu. Ketika ditanya “kok hanya mengambi satu?”, jawabannya
“kalau saya mengambil dua, nanti ada teman yang tidak kebagian”. Jadi anak SD di Jepang telah memiliki moral feeling dan moral action untuk mengambil jatah makan sesuai aturannya.
Apakah
kita, baik yang dewasa, yang mahasiswa, yang siswa SMA/SMP/SD sudah memiliki
karakter seperti itu? Mungkin kita
sungkan untuk menjawabnya. Namun yang
jelas, para orang tua, guru dan pakar pendidikan perlu belajar kepada orang Belanda, Jerman dan
Jepang, bagaimana mereka melaksanakan pendidikan karakter, sehingga hasilnya
seperti cerita di atas. Bukankah kita
sering mengatakan orang Barat itu individualistik. Orang Barat itu tidak beragama. Tidak ada salahnya kita belajar ke
mereka. Bukankah kita disuruh belajar
sampai ke negeri China? Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar