Saya
yakin semua dosen, karyawan dan mahasiswa tidak asing dengan istilah tri darma
perguruan tinggi. Biasanya pada saat
acara awal masuk kampus, para pimpinan perguruan tinggi selalu mengenalkan
istilah tersebut. Tri darma merupakan
ciri aktivitas universitas dan tidak dimiliki oleh pendidikan jenjang SLTA ke
bawah. Bahkan tri darma perguruan tinggi
juga tidak dikenal universitas di negara lain.
Saya
tidak tahu kapan dan dari mana istilah tri darma perguruan tinggi. Saya juga bingung kalau harus mencari istilah
bahasa Inggris untuk tri darma perguruan tinggi. Tetapi saya setuju dan yakin
tri darma yang terdiri dari pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, merupakan sesuatu yang sangat bagus. Jika ketiga darma tersebut dikerjakan dengan
baik dan dirancang menjadi suatu siklus terpadu, akan menjadi akselerator
peningkatan mutu perguruan tinggi.
Itulah sebabnya mengapa saat
“macung” sebagai rektor, tri darma saya angkat sebagai salah satu bahan
saat presentasi di depan senat.
Suatu
saat saya mendengarkan gerutuan mahasiswa pascasarjana sebuah perguruan tinggi
ternama. Waktu itu saya sedang
berkunjung ke perguruan tinggi tersebut dan makan siang di kantin dan kebetulan
banyak bahasiswa pascarsarjana juga sedang makan siang. “Kalau kuliah hanya dari buku teks melulu
seperti itu, ngapain harus datang?”.
“Baca sendiri juga bisa”.
“Penginnya, saya dapat materi kuliah dari penelitian dosen”. “Kan
katanya dia dosen jagoan penelitian”.
Walaupun
terasa agak kasar, gerutuan mahasiswa S2 tersebut menyentak logika saya. Betul
sekali. Hasil penelitian merupakan
“temuan” baru dalam bidang ilmu si peneliti.
Jika dilakukan dengan baik, temuan tersebut merupakan akumulasi dari
teori/konsep keilmuan yang telah dikaji secara mendalam sebelumnya. Jadi jika hasil penelitian disampaikan
sebagai bahan kuliah, mahasiswa akan memperoleh cream of the cream dari bidang ilmu/bidang kajian tersebut.
Bertolak
dari gerutuan mahasiswa dan logika tersebut, saya menduga gagasan tri darma
perguruan tinggi bukan sekedar menjejerkan ketika darma tersebut. Perguruan tinggi bukan sekedar melakukan
darma pendidikan, penelitian dan pengabdian secara terpisah. Ketiganya harus merupakan suatu
kesatuan. Ketigana harus dirancang
menjadi siklus kegiatan yang saling mendukung, menjadikan input sekaligus
menjadi muara.
Bahan
kuliah idealnya merupakan akumulasi hasil penelitian dan
pengalaman melakukan pengabdian masyarakat. Penelitian seharusnya untuk mencari jawaban
atau memecahkan masalah yang ditemukan saat melakukan pengabdian kepada
masyarakat atau melakukan perkuliahan.
Pengabdian kepada masyarakat seharusnya dilaksanakan dengan menerapkan
hasil-hasil penelitian dan pengalaman dalam perkuliahan.
Dalam
konteks tersebut penelitian tidak harus diartikan dengan penelitian
laboratorium atau penelitian lapangan.
Penelitian pustaka juga tidak kalah penting. Jika dosen melakukan kajian berbagai buku
referensi dan jurnal, menurut saya sudah dapat disebut melakukan
penelitian. Bukankah itu merupakan
bagian kajian teori dalam laporan penelitian?
Memang belum mencapai suatu temuan baru, tetapi paling tidak sudah
merangkum hal-hal terbaru dalam bidang kajian tersebut. Apalagi jika yang dibaca buku dan jurnal
baru, hasilnya sudah akan menggambarkan the
state of the art.
Saya
ajukan logika tersebut, karena kondisi perguruan tinggi di Indonesia yang belum
dalam taraf research university,
dimana kegiatan penelitian merupakan kegiatan utama. Pada universitas seperti itu, setiap saat
semua dosen terlibat suatu proyek penelitian yang hasilnya harus masuk menjadi
publikasi di jurnal bergengsi. Jika yang
dibaca adalah buku-buku dan jurnal baru, rasanya bahan kuliah sudah cukup
memadai pada saat ini.
Yang
perlu dicatat, adalah topik penelitian yang seharusnya in line dengan bidang ilmu atau bidang keahlian dosen. Kebiasaan
penelitian yang “melebar” kemana-mana mengikuti si pemilik sumber dana harus
mulai diakhiri. Mengapa? Karena penelitian seperti itu tidak memberi
kontribusi besar dalam pengembangan keilmuan dosen. Penambahan pengalaman ya, tetapi pengembangan
keilmuan tidak.
Bagaimana
dengan pengabdian kepada masyarakat?
Seringkali problema di masyarakat memang multidisipliner, sehingga tidak
dapat didekati dan dipecahkan oleh satu bidang ilmu. Dalam konteks seperti itu, saya mendukung
jika tim pengabdian kepada masyarakat terdiri dari dosen yang berasal dari
berbagai bidang. Namun tetap harus
dipegang prinsip berbasis keilmuan. Jadi
solusi yang diajukan harus bertumpu pada kajian ilmiah dan dosen yang terlibat
memiliki latar belakang keilmuan yang relevan.
Lebih
dari itu, pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat sedapatnya juga dijadikan
wahana kajian keilmuan. Penelitian
tindakan (action research) dan
penelitian pengembangan (developmental
research) mungkin dapat diterapkan.
Paling tidak, respons masyarakat
terhadap treatment selama pengabdian kepada masyarakat dapat menjadi kajian
dosen-dosen bidang ilmu yang cocok.
Khusus
untuk LPTK seperti Unesa, perkuliahan juga dapat menjadi wahana
penelitian. Memang agak aneh, banyak
dosen LPTK mengajari guru melakukan PTK (penelitian tindakan kelas) dan lesson study. Tetapi tidak banyak yang menerapkannya saat
memberi kuliah kepada mahasiswa. Jika
saja itu dilakukan akan menjadi perbaikan model perkuliahan, sekaligus temuan
baru tentang bagaimana perkuliahan di perguruan tinggi. Lebih dari itu mahasiswa dapat mencontoh
bagaimana dosen mengajar, saat mereka sudah lulus dan mejadi guru di
sekolah. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar