Bahwa
mengelola suatu lembaga tidak selalu sama dengan teori di text book dan banyak
mengandung seni sudah kita ketahui.
Bahwa mengelola perguruan tinggi bukan hanya masalah akademik keilmuan
juga sudah kita ketahui. Tetapi ketika
melalukan serangkaian diskusi dengan Utrecht University dan Groningen
University, ditambah berita di BBC ketika pemerintah Inggris akan memotong
anggaran pendidikan tinggi, saya baru “ngeh” (istilah teman Jakarta), bahwa
pada akhirnya pengelolaan perguruan tinggi (minimal di Eropa) bersentuan dengan
aspek-aspek bisnis.
Tanggal
13 Februari Tim Unesa (saya, PR-1 dan Direktur Pascasarjana) dan Tim Unsri
(rektor, direktur dan asdir-1 Pascasarjana) berdiskusi dengan Tim Utrecht
University. Tujuannya meluaskan
kerjasama program S2 Internasional (IPOME) menjadi S2 double degree bidang
Pendidikan Matematika dan Pendidikan Sains.
Sorenya, sekitar jam 16an di stasiun Utrecht Central bertemu dengan
teman lama dari Groningen University yang mengurusi kerjasama dengan perguruan
tinggi di Asia.
Tanggal
14 Tim Unesa mengunjungi Groningen University dengan naik kereta api sekitar
2,5 jam dari Amsterdam. Kami
bersemangat, karena punya harapan besar dapat menjalin kerjasama. Apalagi
Groningen merupakan kota yang indah di bagian ujung utara Belanda dan banyak
orang Indonesia tinggal di sana. Jadilah
diskusi yang sangat produktif dan diakhiri dengan makan siang gaya Belanda.
Nah,
komentar dari beberapa pengurus orang perguruan tinggi di Inggris terhadap
rancangan pemotongan anggaran pendidikan tinggi, juga muncul dari diskusi
tersebut. Memang tidak se-terbuka
komentar di BBC tetapi kesannya sangat kuat.
Apa itu? Perguruan tinggi di
Belanda dan Inggris harus berkerja keras “mencari uang” karena anggaran dari
pemerintah tidak lagi mencukupi. Tidak
hanya itu, mereka harus memutar otak agar pengelolaan menjadi lebih efisien
tanpa mengurangi mutu akademik maupun layanan.
Sepengetahuan
saya Utrecht University dan Groningen University termasuk research university
di Belanda, sehingga lebih mengutamakan riset dibanding pengajaran. Oleh karena
itu, program S3 dan beberapa program S2 diarahkan untuk benar-benar terkait
dengan riset mereka. Program S3 merupakan research based program, sehingga
tidak ada kuliah. Mahasiswa benar-benar
melakukan riset dan publikasi di jurnal ternama menjadi salah satu sasarannya. Mahasiswa S2 diarahkan untuk terlibat dengan
grup riset sesuai dengan bidangnya.
Lantas
bagaimana kiat mereka menggabungkan riset dengan mencari uang? Disitulah yang menarik untuk dipelajari. Tentu kami hanya dapat menangkap ungkapan dan
gambaran program yang mereka miliki, sedangkan apa startegi di balik itu,
menjadi “rahasia dapur” mereka. Berikut
ini fenomena yang menarik.
Kebetulan
salah satu tokoh Realistic Mathematics yang juga mantan direktur Freudental
Institute (FI) sekarang pindah ke Groningen.
Walaupun yang bersangkutan masih bekerja 1 hari dalam seminggu di
Utrecht Univ untuk membimbing mahasiswa S3. FI mirip sebuah lembaga mandiri
tetapi berafiliasi dengan Utrecht univ dalam mengembangkan program S2/S3 dalam
bidang Pendidikan Matematika. Program
IPOME terkait dengan program tersebut.
Nah,
ternyata Groningen menawarkan kerjasama dengan Unesa untuk program S2
Pendidikan Matematika dan Sains. Memang
tidak secara terbuka. Mungkin “malu”,
menawarkan sesuatu yang dulu dia rancang saat masih menjadi direktur FI. Tetapi program yang mereka miliki secara
khusus dijelaskan panjang lebar. Yang
diwarkan jauh lebih “lunak” dibanding dengan apa yang kemarin dibahas dengan
Utrecht. Juga ada kesan kompetisi.
Saat
ketemu di stasiun di Utrecht Central, teman Groningen yang mengurusi kerjasama
dengan Indonesia sudah menjelaskan bahwa dia ditugasi khusus untuk menggaet
kerjasama dengan Indonesia, dengan memanfaatkan beasiswa Dikti. Tetap dalam koridor riset, baik program S3
maupun S2 tetapi dana menjadi salah satu pertimbangan. Mereka mengharapkan kehadiran mahasiswa S2
dan khususnya S3 dari Indonesia (dan juga mengara lain) dengan membawa
beasiswa, tetapi sekaligus menjadi pendukung program penelitian yang mereka
lakukan. Kiat yang menurut saya cukup
cerdas. Mahasiswa medapatkan
pengalaman dalam riset kelas dunia, di
lain pihak mereka mendapat dukungan tenaga periset yang membawa biaya sendiri.
Saat
saya menyodorkan akan mengirim dosen “senior” untuk melakukan kerjasama riset
dengan menggunakan jalur SAME Dikti, secara terbuka baik Utrecht Univ maupun
Groningen Univ menyatakan senang dan pesan jangan lupa bench fee. Dengan agak berkelakar, partner di Belanda
juga memerlukan sedikit honor.
Saat
saya menyodorkan gagasan, program double degree yang dirancang pada saatnya
menjadi “pintu” orang Asean untuk menempuh S2/S3 ke Belanda, mereka tampak
gembira. “Ya, itu akan bagus dan lebih
murah bagi orang dari Asean untuk menempuh pendidikan dengan standar
Belanda”. “Dan jika itu dapat dijaga
kontinuitasnya, kami akan buatkan skema khusus”. Nah, tampak lebih jelas unsur bisnisnya.
Rupanya
Belanda sudah terimbas pola pikir Australia, bahwa pendidikan merupakan bentuk
bisnis layanan sosial. Tentu bisnis
dalam arti positif, atau “education as a noble industry”, istilah yang
diperkenalkan oleh Yohanes Untoro sekian tahun lalu. Tentu harus dijaga agar betul-betul “noble
industry” dan bukan industri biasa yang berorientasi kepada profit. Semoga.
1 komentar:
yaah berharap seperti itu... saya akui Bapak punya inisiatif yang baik, namun pada kenyataannya orang-orang yang dibawahlah yang selalu menggerogoti. apalagi kalau ada acara semua berebut proyek.
Padahal contohnya tender pembuatan Jas Almamater kemudian buku-buku Pedoman Mahasiswa Baru seharusnya bisa dikelola oleh Koperasi Mahasiswa ini tujuannya juga untuk mengembangkan Koperasi Mahasiswa.. sudah banyak kampus yang melakukannya. #tutupmatalagi
Posting Komentar