Kunjungan
saya ke Utrecht University dan Groningen University kali ini relatif agak
longgar. Saya sempat mengamati aktivitas
mahasiswa di luar kelas, laboratorium dan perpustakaan. Misalnya saat di kantin dan di beberapa
lokasi mereka duduk-duduk. Saya mencoba
membanding-bandingkan dengan ingatan saya ketika mengunjungi beberapa kampus,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Di
Utrecht dan Groningen, banyak mahasiswa yang membaca buku teks atau mengerjakan
tugas di berbagai sudut kampus. Diskusi
kecil juga terjadi di kantin dan tempat lain.
Saya sempat melirik apa yang dibaca mahasiswa dari laptop. Kebetulan dia
sedang makan sandwich di dekat saya di kantin. Waduh dengan bahasa
Belanda. Namun dari tampilan, saya dapat
menduga mahasiswa tersebut sedang membaca journal
online.
Saya
jadi teringat diskusi saya dengan mahasiswa S3 yang mengikuti program sandwich-like di Ohio State University
tahun 2010. Saat itu diskusi sangat
gayeng, karena sebagian besar dari mereka adalah dosen yang sedang menempuh S3
di beberapa universitas di Indonesia.
Ketika saya bertanya: “Apa yang membedakan perkuliahan yang Anda ikuti
di Indonesia dan yang Anda lihat di sini?”
Jawabannya hampir seragam, iklim akademiknya yang berbeda.
“Memang
sarana perpustakaan di sini lebih bagus, tetapi itu masih dapat dicari lewat
internet”. “Namun iklim akademik yang
benar-benar membuat kami harus belajar”. “Jika kami tidak membaca, membuat
resume dan berdiskusi justru menjadi aneh di sini”. “Ketika kuliah mahasiswa di sini selalu
mengajukan pertanyaan dengan mengacu bacaan mereka dari buku atau jurnal”. “Situasi perkuliahan di sini mirip ajang
diskusi untuk membandingkan hasil bacaan”.
Pak
Martadi, rekan di Unesa pernah mengajukan metaphora, “beras disosoh menjadi
putih bukan karena kena alu, tetapi karena gesekan satu dengan yang lain”. Berarti, mahasiswa menjadi pandai bukan
karena diajar oleh dosen, tetapi lebih karena interaksi sesama mahasiswa. Fungsi dosen hanya memicu agar mereka
berdiskusi dan berinteraksi secara akademik.
Mirip, fungsi alu ketika menyosoh beras, hanyalah membuat butiran beras
bergesek satu dengan lainnya.
Harus
diakui tidak mudah membangun iklim akademik.
Utrecht University, Groningen University, Ohio State University dan beberapa
perguruan tinggi tenama yang berusia tua dan sudah menjadi research university mungkin sudah berhasil membangun iklim akademik
tersebut. Namun bagi perguruan tinggi
baru atau yang masih berkutat dalam pengajaran (teaching university) tentu tidak mudah untuk
mengembangkannya. Sementara iklim
akademik tampak mendesak untuk mendongkrak mutu lulusan.
Oleh
karena itu, sambil secara bertahap mendorong perguruan tinggi membangun iklim
akademik, harus diciptakan cara agar mahasiswa di perguruan tinggi “biasa”
mendapat kesempatan mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi yang sudah
memilii iklim akademik bagus. Itulah
yang saya maksud dengan program credit
earning (perolehan kredit) bahkan jika mungkin dengan double degree (gelar ganda) atau joint degree (gelar tunggal diberikan oleh dua perguruan tinggi).
Pada
program credit earning mahasiswa
“Universitas X” dapat mengambil matakuliah di Universitas Y” dan kreditnya
diakui. Artinya kredit yang diperoleh
dari Universitas Y diakui sebagai kredit di Universtas X. Jika perlu di
transkrip disebut, diambil di Universitas Y. Tentu matakuliah tersebut yang
tercantum di kurikulum pada universitas asal dan silabusnya juga hampir
sama. Dengan cara itu, mahasiswa universitas
biasa dapat merasakan bagaimana kuliah
di universitas bagus dan mudah-mudahan kebiasaan itu terus dilakukan saat
kembali di universitas asal.
Credit earning tidak harus dengan universitas di luar negeri. Dapat saja mahasiswa Unesa mengambil
matakuliah di UI atau ITB. Manfaat lain
dari credit earning, khususnya bagi jenjang S2/S3, mahasiswa dapat memperoleh kuliah atau
bertemu dosen “hebat” yang cocok dengan rancangan tesis/disertasi yang sedang
disusun. Saya punya pengalaman mengisi
matakuliah penunjang disertasi (MKPD) dari beberapa universitas. Yang diperlukan adalah kesediaan kedua belah
pihak dan untuk itu kebijakan dan dorongan Kemdikbud sangat diperlukan.
Untuk
program double degree, Unesa sudah
memiliki yaitu dengan Curtin University di Australia untuk S2 Pendidikan
Matematika dan Pendidikan Sains. Saat
ini sedang dirintis untuk S2 Pendidikan Bahasa dengan Northern Illinois
University. Program S2 Internasional
untuk Pendidikan Matematika kerjasama dengan Utrecht University juga segera
ditingkatkan menjadi double degree.
Pada
double degree, sebagian matakuliah
diambil di “Universitas X”, sebagian diambil di “Universitas Y” sebagai
partnernya. Setelah lulus mahasiswa
mendapatkan dua ijasah, baik Universitas X maupun Universitas Y. Jadi mendapatkan dua ijasah dan otomatis
mendapatlan dua gelar. Program ini relatif
lebih “mudah” dibanding dengan joint
degree, karena birokrasi perguruan tinggi yang tidak mudah membuat satu
ijasah dengan dua tanda tangan rektor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar