Saya
pertama mengenal Tianjin Foreign Studies University saat menghadiri undangan
makan makam dari Biro Kerjasama Propinsi Jawa Timur, tahun 2012. Makan malam untuk menyambut delegasi dari
Pemerintah Daerah Tian Jin. Kabarnya ada
MoU antara Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Tian Jin
China. Saat itu saya duduk dengan
seorang wanita anggota delegasi. Saya
lupa namanya, tetapi memperkenalkan diri sebagai staf bagian Kerjasama
Internasional Tian Jin University.
Tujuan
utama kami ke Tian Jin adalah berkunjung ke Tian Jin Foreign Studies University
(TFSU) untuk melakukan MoU. Bulan
Desember 2012, sewaktu Confucius
Institute International Conference di Beijing, Pak Suharsono dari Kantor Urusan Internasional (KUI) Unesa dan
Pak Ali Mustofa, Direktur Confucius
Institute (CI) Unesa, bertemu dengan utusan TFSU dan sepakat merancang
MoU. Kedatangan saya untuk
menandatangani MoU yang terlah dirancang oleh KUI dan CI Unesa dengan International Cooperation and Exchange
Division TFSU.
Kami
(saya, Pak Ali Mustofa dan Ibu Chen Jing) datang di Tian Jin sekitar pukul
21.00 waktu setempat dan dijemput oleh Gloria di stasiun kereta api cepat. Gloria adalah staf dari International Cooperation TFSU.
Penampilannya santai dan bahasa Inggris-nya cukup bagus. Waktu menjemput, dia memakai celana pendek,
memakai sandal dan menyetir mobil sendiri.
Saya
tidak tahu nama aslinya di China, karena seperti biasanya teman dari China,
mereka punya nama Inggris (English name) untuk memudahkan orang dari negara
lain memanggil. Ibu Chen Jing juga punya
English name, yaitu Jane. Gloria
menjelaskan nama China sangat sulit diucapkan oleh orang non China, sehingga
mereka yang sering berhubungan dengan
orang asing pada umumnya memiliki nama lain yang disebut dengan istilah English
name.
Sambil
mengantar dari stasiun ke hotel milik TSFU, Gloria menceritakan situasi kota
Tian Jin. Konon Tian Jin dahulu
merupakan daerah dikelola oleh beberapa negara di Eropa. Ada wilayah disebut British territory, artinya saat ini
dikelola oleh Inggris. Ada German territory, French territory, Italy
territory dan sebagainya. Daerah
dimana kampus TFSU berada dahulu merupakan British
territory. Jadi bangunan gedung dan
rumah di wilayah itu bergaya Eropa (Inggris).
Gedung-gedung
“kuno” tersebut dipertahankan. Mungkin
semacam jagar budaya di Indonesia.
Bahkan sekarang dijadikan wilayah pariwisata. Mirip wilayah sekitar menara Eifel di
Perancis. Di beberapa sudut jalan ada
sepeda kayuh gandengan yang disewakan untuk wisatawan yang ingin berkeliling
daerah itu. Sebuah kebijakan dan kreasi
yang menjadi contoh.
Sebagian
gedung utama di kampus TFSU juga merupakan gedung-gedung kuno. Kantor pusatnya merupakan gedung kuno yang
konon bekas gereja. Lantainya berupa
“tegel berornamen” seperti bangunan jaman Belanda. Pintunya tebal dan tinggi, seperti pintu
gedung lama di Indonesia. Tembol luar
gedung berupa batu merang eskpos (tidak diplester), sehingga betul-betul tampak
sebagai banguna gaya Eropa.
Kami
datang hari Minggu sore. Namun banyak
mahasiswa yang lalu lalang dalam kampus.
Saya maklum, karena mahasiswa di China pada umumnya tinggal di asrama. Sehingga setiap saat kampus akan tampak
ramai. Yang menarik perhatian saya, banyak
mahasiswa yang sepertinya membawa tas atau menenteng buku. Ternyata mereka baru
kuliah atau dari perpustakaan. Gloria
menjelaskan, walaupun hari Minggu di China tetap ada kuliah, walaupun tidak
sepadat hari lain.
Di
beberapa halaman juga tampak beberapa mahasiswa yang sedang diskusi dan mungkin
mengerjakan tugas. Ada yang duduk
melingkar dan tampak sedang diskusi. Ada
yang membuka laptop dan tampak serius dengan laptopnya. Ada yang tampak seperti menghafal
sesuatu. Ada juga yang sedang asik pacaran.
Sampai
di hotel dalam kampus, milik universitas, kami segera diberi kunci kamar dan
dipersilahkan istirahat karena sudah pukul 22-an. Saya mendapat kamar 381. Kami menuju lift dan menuju lantai
masing-masing. Begitu keluar lift di
lantai 3, saya menuju lorong tetapi “remang-remang” bahkan dapat disebut
“gelap”. Sepanjang lorong hanya ada 2
lampu kecil. Oleh karena itu saya tidak
dapat menemukan kamar 381. Terpaksa saya
kembali ke front office dan minta ditunjukkan.
Sambil
memberikan kunci Gloria memberitahukan bahwa sarapan pagi akan diantar ke kamar
pukul 08. Kok aneh ya, hotel kok
sarapannya diantar ke kamar? Namun kali
tidak bertanya, karena sadar bahwa ini hotel kampus dan kami tidak
membayar. Jadi ya ikuti saja
aturannya. Betul, sekitar pukul 08, pintu
kamar saya diketuk dan seorang pelayan mengantar sarapan. Ya ampun, tiga potong roti tawar diletakkan
di piring dan disebelahkan diberi
“seonggok” selai, plus segelas susu putih tanpa gula. Maklum hotel tersebut
sebenarnya hotel untuk mahasiswa asing yang kuliah atau bekunjung ke TFSU.
Apa
yang dapat dipelajari dari TFSU? Rasanya
dua hal, yaitu efisiensi dan semangat belajar.
Penggunaan lampu, penggunaan air, penggunaan ruang dan penggunaan hari
kuliah terasa sekali semangat untuk efisien.
Ketika keluar kamar dan kamar mandi, lampu harus dimatikan. Saat tidur hanya boleh memakai lampu tidur kecil
yang ada disebelah tempat tidur. Lorong
hotel hanya menggunakan lampu kecil.
Semua sudut ruang dimanfaatkan.
Hari minggupun tetap ada kuliah, agar ruang kuliah dapat maksimal
penggunaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar