Saat
Pak Ali Mustofa menawari apakah ikut ke Siem Reap untuk melihat Angkor Wat saya
ragu-ragu. Kota Phnom Penh yang
merupakan ibu kota saja masih semrawut, apalagi Siem Reap yang berada di
perbatasan dengan Thailand. Tentu lebih “parah”. Apalagi infomasinya kalau naik mobil selama
enam jam. Pada hal di peta saya perkirakan hanya sama dengan Surabaya
Jember. Kalau naik mobil selama enam
jam, berarti jalannya tidak baik.
Namun
karena memang kami punya satu hari kosong sebelum ke Beijing, akhirnya saya
setuju untuk ikut. Lumayan untuk mengisi
waktu dari pada menganggur di hotel. Mau
keliling kota Phnom Penh juga malas, karena lalu lintas sangat ruwet. Apalagi saya ingat kalau Angkor Wat oleh
Unesco diakui sebagai salah satu warisan dunia.
Anggap saja mengunjungi Borobudur-nya Cambodia.
Dari
Phnom Penh kami naik pesawat sejenis ATR sekitar 45 menit. Ketika menjelang
mendarat, sekitar pukul 7.30 sore tidak nampak lampu kota Siem Reap. Lampu hanya tampak jarang-jarang, sehingga
menambah keyakinan bahwa Siem Reap mungkin mirip kecamatan di Jawa. Saya
berkomentar kepada Pak Ali, jangan-jangan Siem Reap seperti kampung saya.
Namun
begitu mendarat saya kaget. Bandara
memang kecil, tetapi banyak pesawat yang parkir. Juga ada satu pesawat jet
kecil yang biasanya milik pribadi.
Artinya Siem Reap dikunjungi oleh wisatawan kaya dengan menggunakan
pesawat pribadi. Begitu turun dari pesawat dan masuk ke ruang tunggu, saya
lebih kaget karena sangat bagus.
Tersedia cukup banyak brosur pariwisata.
Hanya saja sebagian besar menggunakan bahasa Mandarin. Yang menggunakan bahasa Inggris hanya
sedikit. Juga tampak beberapa “bule” yang menunggu barang.
Pandangan
saya berubah total saat sudah naik bus kecil menuju hotel. Memang Sien Reap tidak sebesar Surabaya. Mungkin sebesar Madiun. Namun kotanya bersih dan tertata rapi. Jauh lebih rapi dan bersih dibanding Phnom
Penh. Banyak hotel dan restoran sepanjang jalan. Memang bangunannya tidak tinggi-tinggi
seperti hotel di Surabaya. Mungkin
sekitar 5 lantai yang paling tinggi, tetapi tampak tertata rapi. Lalu lintas juga tidak seramai Phnom Penh,
sehingga semua tampak bagus. Tampak
benar sebagai kota wisata yang dikelola dengan baik.
Hotel
tempat kami menginap bernama Royal Empire Hotel. Kecil dan hanya lima lantai, mungkin sekitar
100 kamar. Tetapi rapi dan petugas front office-nya berbahasa Inggris
bagus. Penataan kamar, termasuk kamar
mandi juga sangat baik, seperti hotel bintang 4 di Indonesia. Waktu sarapan pagi juga tampak menggunakan
standar internasional.
Ketika
pagi naik bis kecil menuju Angkor Wat saya menyaksikan betapa rapinya penataan
kota Siem Reap. Jalannya lebar, sebagian
besar punya “jalan arteri” untuk pertokoan di kiri dan kanan, sehingga parkir tidak
mengganggu jalan utama. Banyak juga
resort di jalan menuju Angkor Wat.
Sepertinya banyak turis dengan katong tebal yang berwisata ke Siem Reap.
Mendekati
lokasi Angkor Wat, kami memasuki “hutan kecil” di kira dan kanan jalan. Sepertinya diatur agar menambah daya tarik
wisata. Di tengah hutan kecil tersebut,
terdapat pintu gerbang yang mengharuskan wisata berhenti untuk membeli
tiket. Semua wisatawan harus membelok
masuk ke lokasi tersebut. Semua
wisatawan turun dan baris satu persatu.
Ternyata difoto dan fotonya tercetak dalam tiket masuk. Hebat, baru pertama ini ada tiket masuk
daerah wisata yang foto pengunjung ikut tercetak disitu. Menerima dan mencermati itu, saya memutuskan
untuk menyimpannya sebagai kenang-kenangan.
Setelah
dapat tiket, kami kembali masuk mobil dan meneruskan perjalanan menuju lokasi
Angkor Wat. Masih sekitar 10 menit
perjalanan mobil pelan-pelan. Nah ketika
sampai di lokasi Angkor Wat saya jadi kaget lagi. Ternyata Angkor Wat yang tersohor itu hanya
kecil dan tidak terawat. Mungkin hanya
sebesar candi prambanan. Bangunannya
banyak yang rusak dan ditumbuhi tanaman yang merambat. Patung di candi tersebut sebagian sudah
rusak, sehingga wajah patung sudah tidak jelas. Di sana-sini ada daerah yang
tidak boleh dilewati karena bahaya kalau runtuh.
Ketika
saya mencoba mencermati, saya meragukan keaslian bagian-bagian candi. Saya menemukan sambungan antar batu diberi
semen. Tentu di jaman candi itu dibangun
belum ada semen, sehingga saya menduga sudah ada yang direstorasi. Kalau kita bandingkan antara kondisi candi
yang saat ini ada dan gambar yang ada di brosur berbeda cukup besar. Sepertinya gambar di brosur itu visualisasi
ketika candi masih utuh. Dan
kenyataannya sekarang sudah banyak yang hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar