Tahu
kalau saya akan ke Cambodia terus ke China, isteri saya minta dibelikan
HP. Katanya HP di China murah dan
bervariasi. Konon beberapa temannya sudah punya HP buatan China dan ternyata
handal. Oleh karena itu, ketika ada
waktu setelah selesai board meeting, saya
minta ditunjukkan toko yang menjual HP.
Ternyata di dalam kampus CCNU, pas di sebelah pintu gerbang, ada
pertokoan toko elektronik empat lantai, yang juga juga berjualan HP. Akhirnya
saya ke pertokoan itu dan berhasil mendapatkan HP buatan China dengan harga 800
yuan atau sekitar 1,25 juta rupiah.
Di
pertokoan tersebut dijajakan berbagai merek HP, buatan Jepang seperti Sony,
buatan Korea Selatan seperti Samsung, dan yang terbanyak tentu buatan China
dengan berbagai merek. Harga HP buatan
China sekitar ¼ buatan Korea Selatan untuk spesifikasi selevel. Bukan main.
Pada hal, HP buatan Korea Selatang sudah lebih murah dibanding buatan
Amerika Serikat, misalnya Black Berry, dan buatan Jepang seperti Sony.
Ketika
bertemu dengan orang di China saya sempat melirik, hampir semua menggunakan HP
buatan China. Hanya sedikit yang
menggunakan HP lain, umumnya Samsung dari Korea Selatan. Buya Safi’i Maarif, guru besar Sejarah UNY
dan mantan Ketua PP Muhammadiyah pernah menulis resonasi di Harian Republika,
bahwa industri Korea Selatan sedang menggulung industri Jepang. Konon karena Jepang kalah cepat dalam
pengambilan keputusan dan kalah lincah dalam berinovasi karena pejabatnya
“terlalu senior”. Jangan-jangan,
sebentar lagi Korea Selatan digulung oleh China.
Oleh
karena itu, setelah membeli HP buatan China tadi, saya jadi teringat sepeda
motor di tanah air. Tahun 2011 saya bertemu dengan Pak Gunadi, direktur utama
Indomobil, pada suatu acara di Jogyakarta.
Saat ini saya bertanya berapa produksi per tahun sepeda motor di
Indonesia. Dan berapa persen yang
diekspor dan berapa persen yang dipasarkan dalam negeri. Saya tidak ingat angka jumlah produksi, yang
saya ingat persentasi yang diekspor kurang dari 5%. Jadi yang 95% dipasarkan di dalam negeri.
Saya
jadi bertanya dalam hati. Sebagai orang
yang awam dalam bisnis, saya beripikir kalau hanya 5% yang diekspor, berarti
sangat kecil hambatan karena pasar utamanya di dalam negeri. Dibuat sendiri,
dijual kepada masyarakat sendiri. Apakah
sulit membuat sepeda motor? Saya yakin
tidak, karena kita mampu membuat pesawat terbang. Pak Gunadi juga sepakat bahwa secara teknis
tidak sulit membuat sepeda motor.
Lantas
apa sebabnya sampai saat ini kita tidak punya sepeda motor “buatan sendiri”,
dengan merek sendiri, asli Indonesia?
Pertanyaan itu saya ajukan kepada Pak Gunadi, karena saya tidak mengerti
liku-liku industri otomotif di negeri ini.
Jawaban pak Gunadi datar saja.
Katanya kebijakan perindustrian dan perdagangan kita belum mendukung kearah
itu. Untuk memulai suatu industri
“produk sendiri” diperlukan insentif tertentu, agar mampu bersaing dengan
industri yang telah berjalan lebih dahulu.
Sebagai
orang yang tidak punya pengalaman di dunia usaha, saya tidak begitu faham
penjelasan Pak Gunadi. Yang saya
tangkap, sepertinya kalau kita ingin industri sepeda motor berkembang,
diperlukan kebijakan yang dapat mendorong dan membantunya agar mampu bersaing
dengan industri sepeda motor merek asing yang selama ini sudah eksis di
Indonesia. Saya lantas berpikir, kalau
Korea Selatan bisa dan China bisa, kenapa kita tidak bisa. Dulu Jepang juga dikenal sebagai “penjiplak”
produk negara lain, saat awal menghasilkan berbagai produk. Demikian pula Korea Selatan dan China.
Dengan
penduduk hampir 250 juta, rasanya pasar dalam negeri Indonesia sangat
besar. Tinggal bagaimana kita dapat
menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan harga yang
terjangkau. Kita dapat belajar dari
Korea Selatan dan China, bagaimana mereka memulai indutrinya. Kita juga perlu belajar, bagaimana
mengedukasi masyarakat agar lebih bangga menggunakan produk dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar