Ketika
saya sedang berada di Central China
National University (CCNU) Wuhan, seorang dosen Unair ber-sms-ria. Dosen
Fakultas Ilmu Budaya itu meminta pendapat saya tentang Dinas Pendidikan
Surabaya yang menerapkan Tes Potensi Akademik (TPA) untuk seleksi masuk sekolah
kawasan. Sepertinya dia kurang setuju
dengan kebijakan Dinas Pendidikan Surabaya tersebut. Apa gunanya ikut pelajaran di SMP kalau
ternyata untuk masuk SMA harus ikut TPA.
Apa tidak buang waktu dan biaya.
Toh nilai UN mestinya sudah menggambarkan kemampuan siswa. Begitu antara lain komentarnya.
Sabtu
tanggal 8 Juni Jawa Pos juga akan mengadakan diskusi tentang penggunaan TPA
untuk seleksi masuk SMA. Kebetulan saya
juga diundang. Hanya saja batal karena Kepala Dinas Pendidikan (Pak Ikhsan)
tidak dapat hadir karena sedang menangani masalah hasil UN SD. Pak Suko Widodo, dosen Jurusan Komunikasi
Unair juga mengudang saya dalam acara di TVRI Jawa Timur bersama dengan para
guru untuk topik yang sama. Tampaknya,
penggunaan TPA untuk masuk SMA menjadi topik hot di masyarakat.
Melalui
tulisan singkat ini saya ingin melihatnya dengan kacamata yang jernih. Untuk itu mari kita lihat perbedaan mendasar
antara UN dan TPA. UN pada dasarnya achievement test, yang mengukur
penguasaan materi kurikulum satuan pendidikan.
Jadi UN SMP pada dasarnya untuk mengetahui tingkat penguasaan kurikulum
SMP oleh siswa. Oleh karena itu yang
diujikan, isi kurikulum SMP. Bahwa
kemudian tidak semua kompetensi dasar (KD) dimasukkan dalam soal UN, itu soal
teknis karena keterbatasan waktu.
Akhirnya dipilih KD-KD yang dapat mewakili KD-KD yang lain. Skor atau nilai UN sebenarnya merupakan
gambaran pencapaian peserta. Jika
seorang siswa mendapatkan nilai 75 untuk Matematika, dapat dimaknai bahwa yang
bersangkutan menguasai 75% dari kurikulum yang ditempuh.
Karena
menguji penguasaan materi ajar (kurikulum) maka hasil UN akan dipengaruhi oleh
mutu pembelajaran di sekolah. Siswa yang
bersekolah di sekolah yang baik, maksudnya pembelajarannya bagus, maka tingkat
penguasaannya terhadap kurikulum juga baik.
Sebaliknya siswa yang bersekolah di sekolah yang kurang baik, maka
penguasaan terhadap kurikulum juga akan kurang baik. Jika ada dua siswa yang memiliki “kecerdasan
sama”, yang satu bersekolah di sekolah yang baik dan satunya bersekolah di
sekolah yang kurang baik, maka tingkat penguasaan terhadap kurikulum akan
berbeda. Yang bersekolah di sekolah yang
baik akan lebih tinggi penguasaannya terhadap kurikulum.
TPA
merupakan tes psikologi yang mengukur potensi akademik peserta. Dalam bahasa sederhana mengukur kemampuan
bernalar. Oleh karena itu TPA tidak
dikaitkan dengan materi kurikulum sekolah, melainkan dengan tingkat
perkembangan kognitif anak, yang itu terkait dengan usia. Soal TPA untuk anak SMP berbeda dengan untuk
calon mahasiswa S2. Namun anak SMA dan
SMK yang mengikuti TPA akan mengerjakan soal yang sama.
Karena
tidak terkait dengan kurikulum, maka TPA tidak dipengaruhi oleh dimana peserta
bersekolah. Secara prinsip, anak yang
bersekolah di SMP yang bagus dan anak yang bersekolah di SMP yang kurang bagus,
akan memperoleh skor TPA sama, asal kemampuan bernalarnya sama. Anak SMA dan SMK akan memperoleh skor TPA yang
sama, kalau kemampuan bernalarnya sama.
Ibarat
pisau, TPA mengukur kualitas besi bahan yang digunakan untuk membuat
pisau. Sedangkan UN mengukur ketajaman
pisau, yang disamping dipengaruhi oleh besi bahannya juga dipengaruhi apakah
pisau tersebut sering diasah atau tidak.
Tes
TPA banyak digunakan untuk masuk ke program S2/S3, masuk ke Akabri (AMN, AAL,
AAU), masuk sekolah penerbang dan seterusnya.
Penggunaan TPA didasarkan pada pertimbangan mereka berasal dari lulusan
sekolah/perguruan tinggi yang berbeda-beda dan juga jurusan yang berbeda-beda. Oleh karena itu sulit mendapatkan satu jenis
tes yang adil diberlakukan untuk mereka.
Jika kepada mereka diberikan tes yang sesuai dengan asal
sekolah/jurusan, juga akan kesulitan untuk membandingkan satu dengan lainnya. Dengan menggunakan TPA akan adil, namun
seakan-akan apa yang dipelajari di sekolah/perguruan tinggi tidak “dihargai”.
Bagaimana
dengan penggunaan TPA untuk masuk ke SMA?
Tergantung bagaimana kita melihatnya dan dari sudut pandang mana kita
menilainya. Dengan analogi pisau tadi, kalau kita
mengutamakan pisau yang bahannya bagus, dengan asumsi nanti akan diasah lebih
lanjut, maka TPA akan lebih prediktif.
Namun jika kita berasumsi, toh kondisi sekolah tidak jauh berbeda,
sehingga kecerdasan sudah dapat diwakili oleh nilai UN. Dan kita juga harus
menghargai anak-anak yang sudah kerja keras, walaupun “besinya” kurang bagus,
maka penggunaan UN lebih tepat. Jika
memang keduanya dipertimbangkan, maka gabungan TPA dan UN secara proporsional juga
dapat diterapkan.
Namun
juga harus dipertimbangkan sisi lain, yaitu biaya dan kesiapan anak. Walaupun secara teoritik TPA tidak perlu
dipelajari, namun dalam prakteknya anak yang sudah latihan akan lebih baik
hasilnya dibanding yang tidak pernah latihan.
Mengapa? Paling tidak mereka yang
sering latihan sudah mengenal bentuk-bentuk soalnya, sehingga tidak grogi dan
lebih cepat menyesuaikan diri. Dari sisi
biaya TPA memerlukan biaya yang lumayan besar, karena merupakan tes standar
yang biasanya hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berkompeten. Biasanya para psikolog. Semoga kita arif menyikapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar