Ni
Kadek Vani Apriyanti, siswa SMA 4 Denpasar yang meraih Nilai Ebtanas tertinggi
tahun 2012/2013, juga sering menjuarai Lomba Karya Ilmiah (LKI). Membaca berita tersebut, serorang teman
berkomentar: “kalau ini juara beneran”. Maksudnya pandai beneran, buktinya dalam
Ujian Nasional memperoleh nilai terbaik dan dalam Lomba Karya Ilmiah juga
sering menang. Jadi pantas kalau ada
beberapa universitas ternama menawari masuk tanpa tes.
Apakah
tidak seharusnya memang begitu? Apakah
tidak seharusnya mereka yang sering mememangkan LKI memperoleh NEM tertinggi
saat Ujian Nasional? Apakah mahasiswa
yang sering memenangkan Lomba Karya Ilmiah tidak seharusnya menjadi lulusan
pemuncak karena memiliki IPK tertinggi? Kalau dibalik, apakah tidak seharusnya mereka
yang mendapatkan NEM tertinggi juga memenangkan Lomba Karya Ilmiah?
Kenyataannya
tidak selalu begitu. Kalau ada yang
begitu jumlahnya tidak banyak. Memang,
para pemenang Lomba Karya Ilmiah biasanya tidak terlalu jelek nilai ujian dan
atau nilai rapornya. Namun pada umumnya
juga bukan juara sekolah, peraih NEM tertinggi atau wisudawan dengan IPK
tertinggi. Mengapa ya? Apa yang salah dalam penilaian kita? Bukankah keduanya menunjukkan anak yang
pandai?
Paling
tidak ada dua penyebab utama. Pertama, di sekolah atau perguruan
tinggi matapelajaran/matakuliah dipelajari secara terpisah. Guru atau dosennya berbeda, jadwal
pelajaran/kuliah berbeda dan seakan-akan tidak terkait antara satu dengan
lainnya. Isinya juga sangat “teoritik
keilmuan” yaitu untuk memahami konsep dan teori di dalam disiplin ilmu
tersebut. Jarang sekali menyentuh aspek
pemecahan masalah kehidupan keseharian.
Jarang atau hampir tidak pernah siswa/mahasiswa memperoleh kesempatan
(by design) untuk menggabungkan berbagai teori yang dipelajari dari berbagai
matapelajaran/ matakuliah. Kalau ada,
biasanya di akhir kuliah yaitu saat mengerjakan skripsi atau tugas akhir.
Sementara
itu dalam Lomba Karya Ilmiah yang menjadi awal adalah kejelian mengamati
fenomena alam dan lingkungan untuk menemukan ide. Dalam konteks itu yang menjadi modal bukanlah
penguasaan teori, tetapi kejelian melakukan observasi atau menangkap bahan
bacaan. Setelah itu diperlukan
kreativitas untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Nah, dalam mencari solusi itu baru dituntut
penguasaan teori yang relevan. Jadi modal yang
diperlukan untuk memperoleh nilai bagus di perkuliahan dan untuk memenangkan
Lomba Karya Ilmiah memang berbeda.
Dalam
bahasa lain, pembalajaran di sekolah maupun di universitas menggunakan
pendekatan scientific based approach dan disciplinary mind paradigm.
Sementara dalam Lomba Karya Ilmiah atau lomba sejenis itu menggunakan problem based approach dan synthesizing mind paradigm atau bahkan creative mind paradigm. Anak yang pandai memahami dan mencerna
matapelajaran secara terpisah belum tentu pandai mensintesakan menjadi suatu
keutuhan. Apalagi jika dituntut untuk secara kreatif menggunakannya untuk
memecahkan masalah.
Sebaliknya
anak-anak yang pandai mensintesakan pengetahuan yang dia peroleh dan kreatif
menggunakannya untuk memecahkan masalah, juga tidak selalu paling pandai dalam
memahami. Disciplinary mind cenderung menggunakan pola pikir linier dengan
memanfaatkan otak kiri, sedangkan synthesizing
dan creative mind cenderung
menggunakan pola pikir holistic dengan mengoptimalkan peran otak kanan.
Perlu
dicatat antara keduanya bukanlah sesuatu yang pilah secara mutual exclusive, tetapi sesuatu yang overlapping dengan bagian terpisah cukup signifikan. Memang keduanya memiliki bagian irisan yang
cukup banyak, yaitu berupa kepandaian yang memadai. Memang ada kesamaan, tetapi perbedaannya juga
cukup signifikan.
Faktor
kedua, adalah pola dan standar
penilaian yang berbeda antara keduanya. Pada ujian matapelajaran dan matakuliah
penilaian didasarkan atas tingkat penguasaan materi. Jika toh sampai jenjang analisis atau bahkan
sintesis-nya Bloom, tetap saja sintesis untuk konsep dan teori dalam satu
disiplin ilmu. Sementara itu, untuk
Lomba Karya Ilmiah, penilaian didasarkan pada manfaat temuan yang
diajukan. Orisinalitas dan daya manfaat
biasanya menjadi aspek penilaian yang punya bobot besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar