Tanggal
15 Juni 2013, Unesa kedatangan tamu dari Bappenas. Semula direncanakan beliau-beliau akan datang
pada Jum’at 14 Juni, sesudah sholat Jum’at.
Namun karena hari Jum’at rombongan harus ke Madura, maka jadwal ke Unesa
diundur hari Sabtu pagi.
Rombongan
yang ke Unesa sebanyak 7 orang dipimpin
oleh Ibu Nina Sardjunani, Deputi Meneg PPN/Bappenas Bidang Sumberdaya
Manusia. Ikut dalam rombongan, Direktur
Pendidikan, Direktur Kesehatan dan beberapa staf lainnya. Bu Nina adalah teman lama dan saya sering
menyebutnya sebagai “dewa penolong”
ketika Unesa mengajukan bantuan IDB.
Tanpa bantuan Bu Nina, bantuan IDB yang sudah dirintis sejak 2004 akan
“hilang”.
Karena
beliau adalah perancang utama dalam bidang pengembangan sumberdaya manusia, termasuk
bidang pendidikan, maka saya berpesan agar Bu Nina memberi pencerahan tentang
kondisi mutakhir pendidikan di Indonsia secara makro, program apa yang sedang
berjalan dan program apa yang sedang dipersiapkan untuk tahun-tahun
mendatang. Gambaran seperti itu penting
bagi Unesa, agar dapat melakukan antisipasi terhadap perkembangan mendatang.
Bagian
presentasi yang sangat mengagetkan saya adalah gambaran kohor peserta didik
yang dibagi menjadi lima kelompok (quintile)
menurut kemampuan ekonomi orangtuanya. Dari 100% anak Indonesia yang masuk ke SD,
ternyata hanya 94,1% yang tamat. Jadi
ada 6% yang drop out (DO). Dari grafik
tampak bahwa DO mulai signifikan pada kelas 4.
Artinya mulai kelas 4 SD anak mulai rawan DO. Perlu dicari penjelasan
mengapa begitu, karena sampai kelas 3 DO sangat kecil.
Dari
94% anak yang lulus SD itu hanya 72,4% yang melanjutkan ke SMP. Jadi ada 21,7% anak yang lulus SD tetapi
tidak melanjutkan ke SMP. Dari 72,4%
anak yang masuk ke SMP hanya 71,2% yang lulus SMP. Berarti ada 1,2% yang DO. Rendahnya angka transisi dari SD ke SMP perlu
mendapat perhatian, karena SD dan SMP adalah wajib belajar. Seharusnya seluruh atau paling tidak
sebagian besar lulusan SD melanjutkan ke SMP. Mungkinkah jarak antara lokasi SMO dengan
tempat tinggal penduduk menjadi kendala? Atau ada kendala lain, misalnya biaya untuk
buku, seragam dan sebagainya? Atau ada
masalah budaya?
Dari
71,2% anak lulus SMP hanya 49% yang masuk SLTA.
Jadi ada 22,2% yang tidak melanjutkan ke SLTA. Dari 49% anak yang masuk SLTA hanya 46% yang
lulus. Jadi ada 3% yang DO. Besarnya proporsi lulusan SMP yang tidak
melanjutkan ke SLTA dapat difahami, karena SLTA bukan wajib belajar sehingga
siswa harus membayar. Apalagi SLTA pada
umumnya berada di kabupaten atau minimal di ibukota kecamatan yang jaraknya
mungkin jauh dari lokasi tempat tinggal anak-anak.
Gambaran di atas menjadi lebih buram saat
dicermati dalam setiap quintile. Pada kelompok seperlima anak-anak dari
keluarga paling miskin, hanya 87,8% yang tamat SD. Dari 87,8% hanya 49,7% yang
melanjutkan ke SMP. Dan akhirnya hanya
48,2% yang tamat SMP. Dari angka itu
hanya 21% yang masuk SLTA dan hanya 19,1% yang tamat.
Jadi
anak-anak keluarga miskin hanya 48% yang tamat SMP dan hanya 19% yang tamat
SLTA. Sebuah gambaran yang tidak menggembirakan. Kita dapat membayangkan anak-anak dari
keluarga miskin dan banya tamat SD (sebanyak 52%), lantas apa yang dapat
diperbuat? Hanya tamat SMP (sebanyak
27%), lantas apa yang dapat diperbuat?
Ungkapan
tersebut di atas bukan untuk merendahkan kemampuan anak-anak dari keluarga
kurang mampu yang pendidikan formalnya terbatas. Namun untuk mendorong kita memikirkan nasib
anak-anak tersebut. Dengan keyakinan
bahwa pendidikan yang baik dapat berperan sebagai pemotong lingkaran
kemiskinan, maka kita harus memikirkan bagaimana anak-anak dari keluarga kurang
mampu memperoleh pendidikan yang baik dan akhirnya dapat terentas dari
kemiskinan.
Seperti
pemikiran yang kami sampaikan terdahulu, bagaimana dana BOS dapat berfungsi
untuk mendekatkan perolehan pendidikan antara keluarga kaya dan keluarga
miskin. Data yang disajikan Bu Nina
menunjukkan 72,5% anak keluarga kaya dapat menyelesaikan pendidikan SLTA,
sementara anak-anak keluarga miskin hanya 19,1%. Itu belum melihat kualitas SLTA-nya. Sangat
mungkin anak keluarga kaya bersekolah di sekolah yang relatif bagus, sebaliknya
anak keluarga miskin menempuh SLTA dengan mutu seadanya. Semoga data tadi menggugah empati kita untuk
ikut memikirkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar