Saya
berkunjung ke Challenger Institute of
Technology (CIT) di Perth Australia Barat sebenarnya mengantar dan menjembatani
Pemkot Bontang untuk membuka akademi komunitas dalam bidang pertambangan. Sejak tahun 2011, Unesa diminta membantu
Pemkot Bontang untuk mengembangkan Bontang Technopark (BTP) yang isinya semacam
akademi komunitas. Saat itu saya usulkan
memilih bidang pertambangan. Alasannya,
karena Bontang memiliki banyak industri besar yang terkait dengan pertambangan
dan Bontang dikelilingi oleh kabupaten lain yang kaya akan potensi
tambang. Akan sangat baik kalau akademi
komunitas yang dikembangkan menjadi Pusat Pendidikan dan Pelatihan tenaga kerja
tingkat menengah bagi industri pertambangan di Kalimantan Timur.
Ketika
diskusi, saya usul juga dipikirkan kenyataan bahwa industri pertambangan pada
umumnya padat teknologi dan juga padat
modal. Oleh karena itu industri
pertambangan yang besar biasanya merupakan perusahaan multinasional. Standar teknologi yang digunakan juga standar
internasional. Kompetensi tenaga kerja
juga menggunakan standar internasional.
Dengan demikian jika ingin mengembangkan akademi komunitas bidang
pertambangan, harus memenuhi standar internasional, agar lulusannya dapat
diserap oleh industri pertambangan besar.
Kedua
usul tersebut di atas disetujui.
Selanjutnya saya mengajukan fenomena waralaba. Rumah makan, toko dan kursus banyak yang
menggunakan pola waralaba. Apakah
namanya McDonald, Giant, English First dan sebagainya. Dengan pola itu, proses produksi, layanan dan
kualitas produknya menggunakan standar perusahaan induknya, yang biasanya sudah
bagus. Oleh karena itu produknya juga
mudah diterima masyarakat. Nah, jika
pola itu diterapkan maka Akademi Komunitas (AK) di BTP Bontang harus mencari
lembaga sejenis di negara maju yang sudah punya reputasi di bidang
pertambangan. Mungkin bentuknya bukan
seperti waralaba, tetapi kerjasama penjaminan mutu.
Setelah
mencari informasi ke berbagai pihak dan juga membuka web berbagai lembaga,
dipilihlah bentuk TAFE (Technical and
Further Education) di Australia. Program di TAFE sangat berorientasi kepada
kebutuhan dunia kerja dan sangat luwes. Karena yang memiliki pengalaman bidang
pertambangan adalah TAFE di Australia Barat, kemudian dicari TAFE di Australia
Barat yang memiliki program pertambangan dan berkualitas bagus. Dapatlah Challenger Institute of Technology
(CIT) yang menurut informasi bagus dan sudah punya pengalaman “membuka” program
di negara lain.
Sejak
tahun lalu istilah TAFE tampaknya ingin “dibuang” dan diganti dengan Education and Training Institute (ETI). Konon alasannya lulusan TAFE sangat bagus
kualitasnya dan mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dibanding lulusan S1. Bahkan banyak lulusan S1 yang kemudian belajar
di TAFE untuk mendapatkan keahlian tertentu. Oleh karena itu akan lebih bergengsi jika
disebut ETI. Dan sejak tahun 2011 konon
Challenger TAFE berubah menjadi Challanger Institute of Technology (CIT).
Kami
datang di CIT sekitar pukul 11 dan diterima oleh Ibu Alex Elibank Murray (Director, International Relations), Greg
Guppy (Director, Training Services), dua
staf dan ditemani oleh Prof. Stephen
Hall (Director, Western Australia School
of Mines). Semula saya mengira Alex
adalah laki-laki, ternyata perempuan berusia sekitar 35 tahun dan sedang
hamil. Orangnya ramah dan tampak sekali
menguasai pekerjaan. Dialah yang
memimpin pertemuan dan menjelaskan berbagai hal tentang CIT.
Stephen
Hall saya kenal di Jakarta beberapa bulan lalu.
Waktu itu, Steve panggilan dia, sedang mengikuti konferensi tentang
pertambangan. Kami ngobrol, diskusi
sambil sarapan pagi. Karena yang
diperlukan program diploma, sementara di WASM hanya memiliki program S1, S2 dan
S3, dia menyarankan agar bekerjasama dengan TAFE. Dia sanggup untuk
menjembatani dengan CIT. Itulah sebabnya
dia hadir di pertemuan pagi itu.
Kami
mendapat penjelasan singkat tentang CIT, program yang dimiliki dan
sebagainya. Misalnya bahwa CIT memiliki
17 kampus dengan berbagai program keahlian, mulai dari yang “berat/keras”
seperti teknologi proses dan pertambangan, sampai yang “lunak/lembut” seperti
tata rias dan keperawatan.
CIT
mempunyai kerjasama yang erat dengan berbagai industri. CIT ternyata telah
bekerjasama dengan perusahaan minyak di NTB dan telah membuka program di Uni
Emirat Arab. CIT juga memiliki kerjasama erat dengan universitas, sehingga
banyak lulusan CIT yang kemudian melanjutkan ke universitas. Namun, seperti dijelaskan oleh Greg Guppy,
tujuan utama pendidikan di TAFE adalah menyiapkan mahasiswa untuk masuk ke
dunia kerja. Namun banyak lulusan yang
setelah bekerja dan hidup mapan, terus melanjutkan ke universitas untuk
memperoleh S1, bahkan S2.
Setelah
itu kami diajak meninjau workshopnya.
Karena kampus yang kami kunjungi adalah untuk bidang keahlian proses
operator, maka memiliki workshop dan
plant teknologi proses. Kampusnya kecil,
hanya sekitar 1 ha. Workshopnya juga kecil, tidak sebesar SMK Negeri yang mapan
di Surabaya. Plant mini yang dijadikan tempat praktek juga kecil, hanya seluas
sekitar 20 x 30 meter.
Workhop
tampak rapid dan bersih. Instruktur yang
mengantar kami (saya lupa namanya) menjelaskan bahwa pelatihan berjalan sangat
ketat dan disiplin. Peralatan yang
digunakan juga mutakhir. Di setiap
kelas, ada berbagai peralatan bekas yang dibelah, sehingga mahasiswa dapat
mengetahui bentuk dalamnya. Konon,
setiap saat mahasiswa dapat menggunakan sarana yang ada di kampus, tetapi
setelah itu harus dibersihkan dan dikembalikan seperti semula. Dapat dimengerti kalau workhop tampak bersih
dan semua peralatan dan benda contoh tertata rapi di tempatnya.
Ketika
meninjau workshop dan plant, saya melihat rombongan praktek yang memakai
seragam berlogo BP (British Petroleum).
Ternyata mereka karyawan BP yang sedang training. BP memang bekerjasama dengan CIT untuk
pelatihan karyawan. Mereka memiliki
program pelatihan khusus, yang tidak dicampur dengan peserta reguler. Sangat menarik CIT dipercaya oleh perusahaan
minyak sekelas BP untuk melaksanakan pelatihan.
Dapat dipastikan fasilitas yang dimiliki cukup baik dan programnya juga
bermutu. Oleh karena itu wajar jika CIT
dipercaya membuka pelatihan di Uni Emirat Arab, Lombok dan Papua Nugini.
Di
dinding workshop ada papan magnit yang memuat nama-nama mahasiswa dan
instruktur yang sedang kerja/praktek.
Dari nama-nama mereka, terlihat peserta dari berbagai negara. Ana nama-nama China, India, Timur Tengah dan
Indonesia. Ada nama Adi Nugroho dan
ternyata memang dari Indonesia. Kalau
selesai praktek atau mengajar, nama tersebut diambil. Dengan begitu ketahuan siapa yang saat itu
berada di workshop.
Pada
ruangan control terdapat papan berlabel Honeywell, perusahaan besar dalam
bidang instrumentasi perminyakaan. Kami
mendapat penjelasan bahwa CIT memiliki kerjasama erat dan mendapat bantuan
peralatan mutakhir dari perusahaan besar dalam bidang yang terkait. Sebagai kompensasinya, perusahaan tersebut
dapat meminta CIT untuk melakukan pelatihan karyawan, dengan program-program
khusus.
Melihat
fasilitas dan pola pelatihan yang dilaksanakan, saya mengerti mengapa CIT
menjadi salah satu TAFE yang ternama dan bidang keahlian pertambangan. Tidak terlalu besar, tetapi memiliki
fasilitas pelatihan mutakhir, instrukturnya memiliki pengalaman kerja di
industri, program pelatihan sangat menekankan kepada kompetensi praktek, serta
menerapkan disiplin ketat. Dari daftar
nama peserta pelatihan maupun saat bertemu di workshop, saya meyakini mereka
berasal dari berbagai negara. Wajah
orang Asia, Timur Tengah dan Eropa, semua terlihat di workshop. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman
mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar