Kamis, 20 Juni 2013

CHALLENGER INSTITUTE OF TECHNOLOGY

Saya berkunjung ke Challenger  Institute of Technology (CIT) di Perth Australia Barat sebenarnya mengantar dan menjembatani Pemkot Bontang untuk membuka akademi komunitas dalam bidang pertambangan.  Sejak tahun 2011, Unesa diminta membantu Pemkot Bontang untuk mengembangkan Bontang Technopark (BTP) yang isinya semacam akademi komunitas.  Saat itu saya usulkan memilih bidang pertambangan.  Alasannya, karena Bontang memiliki banyak industri besar yang terkait dengan pertambangan dan Bontang dikelilingi oleh kabupaten lain yang kaya akan potensi tambang.  Akan sangat baik kalau akademi komunitas yang dikembangkan menjadi Pusat Pendidikan dan Pelatihan tenaga kerja tingkat menengah bagi industri pertambangan di Kalimantan Timur. 

Ketika diskusi, saya usul juga dipikirkan kenyataan bahwa industri pertambangan pada umumnya padat  teknologi dan juga padat modal.  Oleh karena itu industri pertambangan yang besar biasanya merupakan perusahaan multinasional.  Standar teknologi yang digunakan juga standar internasional.  Kompetensi tenaga kerja juga menggunakan standar internasional.  Dengan demikian jika ingin mengembangkan akademi komunitas bidang pertambangan, harus memenuhi standar internasional, agar lulusannya dapat diserap oleh industri pertambangan besar.

Kedua usul tersebut di atas disetujui.  Selanjutnya saya mengajukan fenomena waralaba.  Rumah makan, toko dan kursus banyak yang menggunakan pola waralaba.  Apakah namanya McDonald, Giant, English First dan sebagainya.  Dengan pola itu, proses produksi, layanan dan kualitas produknya menggunakan standar perusahaan induknya, yang biasanya sudah bagus.  Oleh karena itu produknya juga mudah diterima masyarakat.  Nah, jika pola itu diterapkan maka Akademi Komunitas (AK) di BTP Bontang harus mencari lembaga sejenis di negara maju yang sudah punya reputasi di bidang pertambangan.  Mungkin bentuknya bukan seperti waralaba, tetapi kerjasama penjaminan mutu.

Setelah mencari informasi ke berbagai pihak dan juga membuka web berbagai lembaga, dipilihlah bentuk TAFE (Technical and Further Education) di Australia.  Program di TAFE sangat berorientasi kepada kebutuhan dunia kerja dan sangat luwes.  Karena yang memiliki pengalaman bidang pertambangan adalah TAFE di Australia Barat, kemudian dicari TAFE di Australia Barat yang memiliki program pertambangan dan berkualitas bagus.  Dapatlah Challenger Institute of Technology (CIT) yang menurut informasi bagus dan sudah punya pengalaman “membuka” program di negara lain.

Sejak tahun lalu istilah TAFE tampaknya ingin “dibuang” dan diganti dengan Education and Training Institute (ETI).  Konon alasannya lulusan TAFE sangat bagus kualitasnya dan mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dibanding lulusan S1.  Bahkan banyak lulusan S1 yang kemudian belajar di TAFE untuk mendapatkan keahlian tertentu.  Oleh karena itu akan lebih bergengsi jika disebut ETI.  Dan sejak tahun 2011 konon Challenger TAFE berubah menjadi Challanger Institute of Technology (CIT).

Kami datang di CIT sekitar pukul 11 dan diterima oleh Ibu Alex Elibank Murray (Director, International Relations), Greg Guppy (Director, Training Services), dua staf dan ditemani oleh Prof.  Stephen Hall (Director, Western Australia School of Mines).  Semula saya mengira Alex adalah laki-laki, ternyata perempuan berusia sekitar 35 tahun dan sedang hamil.  Orangnya ramah dan tampak sekali menguasai pekerjaan.  Dialah yang memimpin pertemuan dan menjelaskan berbagai hal tentang CIT.

Stephen Hall saya kenal di Jakarta beberapa bulan lalu.  Waktu itu, Steve panggilan dia, sedang mengikuti konferensi tentang pertambangan.  Kami ngobrol, diskusi sambil sarapan pagi.  Karena yang diperlukan program diploma, sementara di WASM hanya memiliki program S1, S2 dan S3, dia menyarankan agar bekerjasama dengan TAFE. Dia sanggup untuk menjembatani dengan CIT.  Itulah sebabnya dia hadir di pertemuan pagi itu.

Kami mendapat penjelasan singkat tentang CIT, program yang dimiliki dan sebagainya.  Misalnya bahwa CIT memiliki 17 kampus dengan berbagai program keahlian, mulai dari yang “berat/keras” seperti teknologi proses dan pertambangan, sampai yang “lunak/lembut” seperti tata rias dan keperawatan.

CIT mempunyai kerjasama yang erat dengan berbagai industri. CIT ternyata telah bekerjasama dengan perusahaan minyak di NTB dan telah membuka program di Uni Emirat Arab. CIT juga memiliki kerjasama erat dengan universitas, sehingga banyak lulusan CIT yang kemudian melanjutkan ke universitas.  Namun, seperti dijelaskan oleh Greg Guppy, tujuan utama pendidikan di TAFE adalah menyiapkan mahasiswa untuk masuk ke dunia kerja.  Namun banyak lulusan yang setelah bekerja dan hidup mapan, terus melanjutkan ke universitas untuk memperoleh S1, bahkan S2.

Setelah itu kami diajak meninjau workshopnya.  Karena kampus yang kami kunjungi adalah untuk bidang keahlian proses operator, maka memiliki workshop  dan plant teknologi proses.  Kampusnya kecil, hanya sekitar 1 ha. Workshopnya juga kecil, tidak sebesar SMK Negeri yang mapan di Surabaya.  Plant mini yang dijadikan tempat praktek juga kecil, hanya seluas sekitar 20 x 30 meter.

Workhop tampak rapid dan bersih.  Instruktur yang mengantar kami (saya lupa namanya) menjelaskan bahwa pelatihan berjalan sangat ketat dan disiplin.  Peralatan yang digunakan juga mutakhir.  Di setiap kelas, ada berbagai peralatan bekas yang dibelah, sehingga mahasiswa dapat mengetahui bentuk dalamnya.  Konon, setiap saat mahasiswa dapat menggunakan sarana yang ada di kampus, tetapi setelah itu harus dibersihkan dan dikembalikan seperti semula.  Dapat dimengerti kalau workhop tampak bersih dan semua peralatan dan benda contoh tertata rapi di tempatnya.

Ketika meninjau workshop dan plant, saya melihat rombongan praktek yang memakai seragam berlogo BP (British Petroleum).  Ternyata mereka karyawan BP yang sedang training.  BP memang bekerjasama dengan CIT untuk pelatihan karyawan.  Mereka memiliki program pelatihan khusus, yang tidak dicampur dengan peserta reguler.  Sangat menarik CIT dipercaya oleh perusahaan minyak sekelas BP untuk melaksanakan pelatihan.  Dapat dipastikan fasilitas yang dimiliki cukup baik dan programnya juga bermutu.  Oleh karena itu wajar jika CIT dipercaya membuka pelatihan di Uni Emirat Arab, Lombok dan Papua Nugini.

Di dinding workshop ada papan magnit yang memuat nama-nama mahasiswa dan instruktur yang sedang kerja/praktek.  Dari nama-nama mereka, terlihat peserta dari berbagai negara.  Ana nama-nama China, India, Timur Tengah dan Indonesia.  Ada nama Adi Nugroho dan ternyata memang dari Indonesia.  Kalau selesai praktek atau mengajar, nama tersebut diambil.  Dengan begitu ketahuan siapa yang saat itu berada di workshop.

Pada ruangan control terdapat papan berlabel Honeywell, perusahaan besar dalam bidang instrumentasi perminyakaan.  Kami mendapat penjelasan bahwa CIT memiliki kerjasama erat dan mendapat bantuan peralatan mutakhir dari perusahaan besar dalam bidang yang terkait.  Sebagai kompensasinya, perusahaan tersebut dapat meminta CIT untuk melakukan pelatihan karyawan, dengan program-program khusus.


Melihat fasilitas dan pola pelatihan yang dilaksanakan, saya mengerti mengapa CIT menjadi salah satu TAFE yang ternama dan bidang keahlian pertambangan.  Tidak terlalu besar, tetapi memiliki fasilitas pelatihan mutakhir, instrukturnya memiliki pengalaman kerja di industri, program pelatihan sangat menekankan kepada kompetensi praktek, serta menerapkan disiplin ketat.  Dari daftar nama peserta pelatihan maupun saat bertemu di workshop, saya meyakini mereka berasal dari berbagai negara.  Wajah orang Asia, Timur Tengah dan Eropa, semua terlihat di workshop.  Semoga kita dapat belajar dari pengalaman mereka.

Tidak ada komentar: