Bulan Desember ini tampaknya
merupakan bulan sangat sibuk di Indonesia.
Dalam bulan ini saya beberapa kali diundang oleh Kemendikbud, Kemen
Ristek-Dikti, provinsi dan kabupaten/kota untuk kegiatan yang terkait dengan
pendidikan. Umumnya kegiatan dilakukan
di hotel, sehingga hotel banyak yang penuh.
Bahkan dalam waktu bersamaan seringkali ada beberapa lembaga yang mengadakan
kegiatan di hotel yang sama, sehingga suatu saat ada yang berkomentar
“bagaimana kalau digabung saja”.
Ketika di Bandung ada seminar
dan sarapan pagi bersama, seorang teman dari suatu kementerian bercerita
bagaimana dia harus pontang-panting meningkatkan daya serap. Karena adanya perubahan struktur di kementerian,
maka kegiatan tidak dapat dilaksanakan pada awal tahun karena harus menunggu
struktur baru selesai dan semua jabatan penting terisi. Nah, kegiatan real baru dapat dimulai sekitar
bulan Agustus, sehingga sekarang mereka harus pontang-panting menyerap
anggaran, karena daya serap merupakan salah satu indikator penting pekerjaan
mereka.
Ketika teman tadi
bercerita dengan semangat, teman lain memotong.
“Nggak usah cerita gituan pada Pak Muchlas”. “Pak Muchlas sudah ngalami
semua, sudah pernah jadi konsultan, pernah jadi direktur dan pernah jadi rektor”. “Pokoknya sudah mengalami semua deh”. Keduanya tertawa ngakak dan sayapun juga ikut
ketawa. Sampai-sampai teman lain yang
duduk di meja sebelah menoleh.
Memang sedikit banyak
saya tahu kalau daya serap menjadi salah satu indikator prestasi kerja pejabat. Ketika masih “menjabat” dulu, setiap mendekati
akhir tahun saya juga dibingungkan untuk menyerap anggaran yang tersisa. Pejabat yang daya serapnya rendah akan
diolokkan “menghabiskan anggaran saja tidak bisa, apalagi kalau disuruh mencari
anggaran”. Ketika tahun anggaran ditutup dan setiap unit
dipampangkan daya serapnya, unit kerja yang daya serapnya rendah jadi tidak
enak.
Apalagi dari
pengalaman, unit kerja yang daya serapnya rendah seringkali pada tahun
berikutnya anggarannya diturunkan karena dianggap tidak mampu melaksanakan
program kerja yang telah disusun. Kalaupun
prestasi kerja unit tersebut bagus dan semua kegiatan telah berjalan baik, akan
dikatakan prestasi itu dapat dicapai dengan anggaran tidak sebesar tahun lalu,
sehingga sebenarnya anggaran tahun lalu itu terlalu besar.
Jadi mereka yang
terdorong untuk meningkatkan daya serap juga tidak salah. Hanya saja, dorongan seperti itu seringkali
mengalahkan logika untuk memastikan apakah kegiatan yang dilaksanakan itu
benar-benar penting dan jika penting apakah kegiatan itu berjalan dengan baik,
sehingga sararannya tercapai. Oleh
karena itu tidak perlu heran apalagi membantah tanpa dasar yang jelas, ketika
ada yang mengatakan “tidak ada korelasi antara daya serap dengan ketercapaian
sasaran kerja”. Maksudnya belum tentu
unit kerja yang daya serapnya tinggi itu, mencapai sasaran kerja yang telah
dicanangkan dan juga sebaliknya. Dengan
kata lain, belum tentu unit kerja yang daya serapnya tinggi pekerjaannya
efektif. Sebaliknya belum tentu unit
kerja yang daya serapnya tidak tinggi pekerjaannya tidak tercapai.
Ketika daya serap
menjadi primadona, biasanya masalah efisiensi tidak menjadi perhatian. Unit kerja yang mampu mencapai target dan
bahkan berprestasi dengan anggaran kecil bukan diberi apresiasi tetapi malah
dihukum karena dianggap mengajukan anggaran yang dibesar-besarkan. Sebaliknya unit kerja yang daya serapnya
tinggi dipuji tanpa ditanya apakah kegiatan yang dilaksanakan berjalan efektid
dan sasarannya tercapai.
Rasanya pola pikir
yang selama ini berjalan itu perlu segera diluruskan. Penyerapkan anggaran memang tetap haus
menjadi salah satu ukuran, tetapi harus ditempatkan dibawah pencapaikan sasaran
kinerja yang biasanya disebut dengan IKU (indikator kinerja utama) yang dalam
bahasa Inggris disebut dengan KPI (key performance indicator). Maksudnya yang dilihat lebih dahulu adalah
capaian IKU. IKU juga harus berupa out
put dan bukan proses. Misanya output
tidak boleh “terlaksananya pelatihan guru selama 5 hari dengan peserta 300
orang”, tetapi harus menunjuk pada hasil, misalnya “terjadi peningkatan
kompetensi sebanyak 300 guru yang ikut pelatihan”.
Gambar diatas dapat
digunakan untuk menelaah kinerja sebuah unit kerja. Kalau IKU tercapai atau
mendekati tercapai dan anggaran terserap habis, berarti unit kerja itu bekerja
dengan baik tetapi biasa-biasa saja dan bukan istimewa. Kalau IKU tercapai atau hampir tercapai,
tetapi anggaran tersisa banyak, justru itulahu unit kerja yang hebat karena
mampu menerapkan efisiensi. Buktinya
kegiatan berjalan dan IKU tercapai, tetapi anggarannya tersisa banyak. Kalau anggaran habis atau hampir habis
sehingga daya serapnya tinggi tetapi IKU tidak tercapai berarti unit kerja itu
boros. Buktinya anggaran habis tetapi
IKUnya tidak tercapai. Nah, kalau
anggaran tersisa banyak dan IKU tidak tercapai, unit kerja itu memang tidak
bisa bekerja.
Dengan pola pikir itu,
penyerapan anggaran memang tetap menjadi upaya tetapi tujuannya bukan untuk
sekedar menghabiskan angaran, tetapi agar kegiatan yang telah direncanakan
berjalan dan itupun harus berjalan dengan baik sehingga IKU tercapai. Syukur mampu melaksanakan itu secara efisien,
sehingga anggaran tidak perlu dihabiskan, karena yang penting IKUnya yang dapat
dicapai atau bahkan melebihinya. Semoga.